Lebih lanjut, Hasyim menjelaskan aspek ketiga ialah aspek sosiologis. Menurutnya, jika mantan koruptor menjadi caleg, akan menimbulkan keresahan pada sejumlah pihak.
"Arti sosiologis, pada waktu Pilkada 2018, pencalonannya itu dari tanggal 8-10 Januari 2018, kemudian setelah penetapan calon, tidak lama dari situ, ada sejumlah calon kepala daerah ditetapkan jadi tersangka dan kemudian ditahan. Inikan kemudian menimbulkan keresahan beberapa pihak," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasyim kemudian menyinggung Pilkada tahun 2018 lalu. Pada saat itu ada 2 kepala daerah yang menang pemilu tetapi juga ditahan karena kasus pidana.
"Yang pertama partai politik, mereka pada bertanya ke KPU, 'mas sesungguhnya kalau ada calon kena pidana, statusnya tersangka lalu ditahan, boleh diganti nggak? Karena kami ya malu mau meneruskan pencalonan ini, bisa jadi profil partai kami jadi menurun karena calonnya kena masalah'. Lalu teman-teman masyarakat sipil, organisasi kemasyarakatan juga bertanya, 'mas bisa diganti nggak? Kita kan mau punya calon yang seperti ini'," sambungnya.
"Dan faktanya setelah coblosan, 27 Juni 2018, ada dua tempat calon kepala daerah yang sudah ditahan, menang dalam Pilkada Tulung Agung dan Provinsi Maluku Utara. Pertanyaannya, apakah dengan begitu Pilkada tercapai, kalau yang terpilih adalah orang yang sudah kena persoalan hukum? Jawabannya jelas tujuan pilkadanya tidak tercapai karena yang terpilih adalah orang yang kena menyandang di kantor-kantor penegak hukum. Secara sosiologis seperti itu," tuturnya.
(lir/lir)