METROPOP
"Pakaian saya lalu diganti pula. Yang dipakai di pesantren dihadiahkan kepada santri buta."
Foto: dok. Indonesia Fashion Week via Instagram
Rambut Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dicukur hampir botak oleh Ratu Salehah, ibundanya. Sang ibu lalu memberinya baju putih yang tidak berkerah dan sarung yang agak kasar.
Pangeran Aria kemudian mengenakan pakaian tersebut. Sarung kasar membungkus badannya dari pinggang hingga mata kaki. Sebuah peci lantas ditutupkan ke rambutnya yang sudah hampir habis.
Pakaian Jawa kuno dengan sarungan seperti itu biasa dikenakan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat sebelum pergi ke pesantren. Pada saat itu, tahun 1883, ketika Aria belajar agama di pesantren di Banten, pakaian tradisional sarungan lazim dikenakan. Penduduk pribumi biasa menggunakan pakaian jenis ini, apalagi di kalangan santri pesantren. Maklum, pada saat itu masyarakat belum banyak terpengaruh oleh pakaian ala Eropa yang dibawa Belanda.
Jika dihitung dari tahun 1800 sampai awal abad ke-20, ada 112 perlawanan dari kalangan pesantren yang dipimpin kiai dan pemimpin tarekat Islam.”
Cara berpakaian Pangeran Ali kemudian berubah ketika dipindahkan ke sekolah yang menggunakan model pendidikan Eropa. Pakaian tradisional sarung, yang dulu dibelikan ibunya, disumbangkan kepada seorang santri buta. Pangeran Aria bertransformasi mengenakan celana dan baju ala orang Belanda.
“Pakaian saja laloe diganti poela. Jang dipakai di pesantren dihadiahkan kepada santri boeta. Boeat pengganti pakaian itoe, saja diberi pakaian tjara anak-anak Eropah dengan kopiah beledoe hitam...”, ujar Pangeran Aria dalam buku memoarnya, Kenang-kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, terbitan Balai Poestaka, Kolff-Buning, Jakarta, 1936.
* * *
Sarung masih lekat dengan masyarakat muslim tradisional Indonesia untuk bersembahyang.
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Jauh sebelum penggambaran yang dituliskan Pangeran Aria, pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan aturan khusus tentang pakaian pada tahun 1854. Aturan ini tertuang dalam Regering Regement (RR) atau Konstitusi Kolonial. Dalam konstitusi tersebut, ada pasal khusus yang menyebutkan soal bagaimana berpakaian sesuai dengan stratifikasi penduduk Hindia Belanda.
Konstitusi Kolonial ini kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra. Di kalangan pribumi, kaum priayi yang dekat dengan penguasa mendapatkan keistimewaan berpakaian dan mendapatkan pendidikan khas Belanda. Namun, di satu sisi, aturan berpakaian ini kemudian menimbulkan perlawanan. Pakaian seperti jubah, sarung, kopiah, dan sorban dijadikan simbol perlawanan terhadap kolonial dari kalangan pribumi.
Sampai pada masa kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, ada 112 pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan pesantren. Rata-rata perlawanan ini dipimpin oleh kiai atau pemimpin tarekat, yang notabene berpakaian jubah, sorban, dan sarung. Sebut saja perlawanan Ronggo Prawirodirejo di Madiun, Jawa Timur, perlawanan Pangeran Diponegoro, sampai perlawanan H Wasid di Cilegon, Banten, pada 1888. Tokoh ini melawan bukan hanya karena ada kolonialisme di bumi Nusantara, tetapi juga melawan simbol kolonial, seperti pakaian dan tradisi Belanda.
“Jika dihitung dari tahun 1800 sampai awal abad ke-20, ada 112 perlawanan dari kalangan pesantren yang dipimpin kiai dan pemimpin tarekat Islam,” ujar Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama Agus Sunyoto saat berbincang dengan detikX.
Lebih lanjut ia menceritakan, perlawanan kaum pesantren atau kelompok sarungan ini tentunya membuat jengah pemerintahan Hindia Belanda. Berbagai perlawanan yang dilakukan kaum pesantren membuat pemerintah Hindia Belanda kewalahan.
Namun kemudian, atas saran Snouck Hurgronje, seorang sarjana budaya Islam dan oriental untuk pemerintah kolonial, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis. Strategi ini digunakan untuk meredam fanatisme dan perlawanan kaum pesantren.
Salah satu akibat penerapan politik etis, muncullah tokoh-tokoh nasionalis yang menempuh pendidikan ala Eropa. Sebut saja Tjokroaminoto, Dr Sutomo, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan tokoh lain di era kebangkitan nasional. Tokoh tersebut, meskipun telah menempuh pendidikan ala Belanda, di kemudian waktu menentang kolonialisme.
Puncak dari perlawanan cara berpakaian tradisional pesantren atau kaum sarungan terhadap pakaian ala Belanda muncul ketika Muktamar NU Ke-2 pada 1927 di Surabaya. Sebagai organisasi yang baru berumur 2 tahun, NU melakukan perlawanan kebudayaan terhadap pemerintah kolonial. Para petinggi NU waktu itu mengeluarkan fatwa yang disebut tasabbuh (adopsi). Fatwa ini berdasarkan sebuah hadis, yang menyatakan bahwa barang siapa meniru perilaku suatu kaum, maka dia termasuk pada golongan itu.
Jemaah haji Indonesia di Jeddah pada abad ke-19
Foto: Snouck Hurgronje
“Fatwa tasabbuh dikeluarkan ketika ada usaha Belanda mengendalikan fanatisme pesantren dengan bersekolah ala kolonial,” ujar Agus Sunyoto.
Lalu, pada sekitar tahun 1937, muncullah KH Wahid Hasyim, yang mulai terbiasa mengenakan pakaian ala Belanda. Dalam momen-momen penting NU, Wahid Hasyim menggunakan celana panjang, jas, dan berdasi dipadukan dengan kopiah hitam. Bahkan, pada saat Muktamar NU tahun 1936 di depan para ulama, KH Wahid Hasyim berpakaian ala Belanda seperti itu.
Ada beberapa ulama waktu itu yang merasa KH Wahid Hasyim telah melanggar tasabbuh. Namun kebanyakan dari mereka segan karena beliau adalah anak pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Selain itu, KH Wahid Hasyim beralasan seseorang tidak mesti terus-menerus menolak cara berpakaian. Sebab, menurut dia, yang lebih penting adalah cara berpikir.
Aneka kreasi sarung dipertunjukkan dalam pameran fashion Indonesia Fashion Week.
Foto: dok. Indonesia Fashion Week via Instagram
Menjelang kemerdekaan, berpakaian ala Belanda sudah tidak dapat dibendung. Tokoh-tokoh nasional terbiasa mengenakan setelah jas dan sepatu mengkilat. Meski demikian, kelompok pesantren masih mengenakan sarung sebagai identitas yang melekat. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok sarungan. Kelompok yang diidentifikasi melakukan proses belajar di pesantren.
Pada akhirnya, meskipun sudah dianggap tradisional dan kalah gengsi dibandingkan dengan pakaian Belanda, sarung masih memiliki kewibawaan khusus. Berpakaian tradisional dengan sarung ini, meskipun santai, memiliki ciri khas serta kewibawaan. Khususnya pada momen salat berjemaah atau momen hari raya.
Selain itu, ada tokoh-tokoh nasional, seperti Ki Mangunsarkoro, yang semasa hidupnya selalu bersarung. Bahkan ia kemudian dikenal sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan julukan Ki Mangunsarungan. Juga ada Kiai Wahab Chasbullah, salah satu pendiri dan Rois Aam Nahdatul Ulama yang selalu bersarung, bahkan ketika harus bertemu dengan Presiden Indonesia di Istana. Lalu ada Kiai Bisri Syansuri, yang menggunakan sarung saat memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1978.
Kini para desainer banyak memodernkan sarung. Sarung tidak hanya dipakai laki-laki, tapi juga perempuan. Tampilannya tidak lagi sederhana seperti saat untuk salat, namun lebih modis untuk dipadupadankan dengan baju ataupun aksesori yang elegan.
Reporter/Penulis: Bahtiar Rifai
Editor: Iin Yumiyanti
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.