INVESTIGASI

Ruang Gelap Penunjukan Penjabat

Tito Karnavian dituding mengabaikan amanat UUD 1945 dalam penunjukan penjabat kepala daerah menjelang Pemilu 2024. Berbagai polemik sempat muncul ketika Tito menolak usulan dari kepala daerah. Langkah Tito dianggap rawan mengabaikan otonomi daerah.

IIlustrasi : Edi Wahyono

Senin, 13 Juni 2022

Gubernur Maluku Utara (Malut) Abdul Gani Kasuba langsung merespons surat perintah Menteri Dalam Negeri, Jumat, 13 Mei 2022. Sesuai perintah Mendagri Tito Karnavian, Abdul Gani mengusulkan beberapa nama sebagai calon Penjabat Bupati Pulau Morotai menggantikan Benny Laos, yang masa jabatannya berakhir pada 22 Mei 2022.

Dalam suratnya, Abdul Gani menyampaikan tiga nama yang menurutnya cocok untuk menggantikan Benny. Mereka adalah Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Malut M Sukur Lila, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malut Samsudin Banyo, serta Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Pendapatan dan Aset Daerah Pemprov Malut Ahmad Purbaya. Ketiganya merupakan putra-putri asli Pulau Morotai.

“Obsesi beliau (Abdul Gani) bagaimana penjabat yang ditunjuk itu adalah lebih pada putra-putri daerah. Dengan pertimbangan, jika berhubungan dengan masyarakat, mereka lebih bisa berbaur,” kata Kepala Biro Administrasi Pimpinan Pemprov Malut Rahwan Suamba kepada reporter detikX pekan lalu.

Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba dan Al Yasin saat dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/5/2019). 
Foto : Rengga Sancaya/detikcom


Itu Pak Gubernur dan Pak Mendagri (yang tahu alasannya). Yang pasti, setelah konsultasi dengan Pak Mendagri, langsung dilantik, gitu.”

Surat itu direspons Mendagri Tito Karnavian dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor 131.82-1210 Tahun 2022 kepada Biro Pemerintahan Pemprov Malut pada 20 Mei 2022. Kala itu, kata Rahwan, tidak ada satu orang pun di Biro Pemerintahan Malut yang berani membuka surat tersebut. Sebab, desas-desus sudah terdengar bahwa yang ditunjuk sebagai Penjabat Bupati Pulau Morotai bukanlah yang diusulkan oleh Abdul Gani sebelumnya.

Abdul Gani pun emoh membuka surat itu lantaran sudah tahu bahwa yang ditunjuk Tito bukanlah nama yang diusungnya, melainkan justru Sekretaris Kabupaten Pulau Morotai M Umar Ali. Pelantikan Penjabat Bupati Pulau Morotai, yang semula direncanakan pada 23 Mei 2022—atau sehari setelah Benny turun dari jabatannya—pun harus tertunda. Abdul Gani ingin meminta penjelasan terlebih dahulu mengapa Kementerian Dalam Negeri menolak usulannya.

Atas penolakan ini, Tito pun mengutus tiga orang bawahannya untuk menjelaskan ihwal keputusannya itu kepada Abdul Gani. Mereka adalah Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro dan dua orang pejabat yang dekat dengan Abdul Gani. Namun, sampai saat ini, tidak ada yang tahu apa sebetulnya yang dijelaskan tiga utusan Tito itu kepada Abdul Gani. Hanya, yang pasti, setelah berkomunikasi dengan tiga utusan Tito ini, Abdul Gani langsung memerintahkan anak buahnya segera melantik Umar Ali.

“Itu yang nggak bisa kami tahu kan (alasannya). Tapi itulah level-level yang di luar jangkauan kami. Pokoknya, saya hanya diperintahkan untuk menyiapkan pelantikan,” beber Rahwan.

detikX sudah berupaya menghubungi Abdul Gani melalui sekretaris pribadinya untuk meminta waktu wawancara khusus. Namun, sampai artikel ini diterbitkan, pengajuan sesi wawancara kami belum juga mendapat jawaban.

Penolakan pelantikan penjabat ini juga sempat terjadi di beberapa daerah lainnya, salah satunya Sulawesi Tenggara. Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi sempat menunda pelantikan dua penjabat, yakni Penjabat Bupati Muna Barat dan Penjabat Bupati Buton Selatan, yang semula direncanakan pada 23 Mei 2022. Penyebabnya, dua nama yang ditunjuk sebagai penjabat di dua kabupaten ini tidak sesuai dengan usulan Ali kepada Kemendagri.

Ali sampai terbang langsung ke Jakarta untuk meminta penjelasan terkait nama-nama yang ditunjuk itu kepada Tito. Dua nama yang dimaksud adalah Direktur Perencanaan Keuangan Daerah Kemendagri Bahri sebagai Penjabat Bupati Muna Barat dan Sekretaris Daerah Buton Selatan La Ode Budiman sebagai Penjabat Bupati Buton Selatan.

“Pak Gubernur tahu, ketika ada masalah seperti ini, ya harus ke sana,” tutur Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Sultra Ridwan Badala kepada detikcom pada Selasa, 24 Mei 2022.

Setelah mengetahui alasan penunjukan penjabat yang tidak sesuai dengan usulannya itu, Ali pun kembali ke Sultra. Tiga hari setelah pertemuan Ali dengan Tito, dua nama calon penjabat itu dilantik di aula Merah Putih, rumah jabatan Gubernur Sultra, Kendari, pada 27 Mei 2022. Ridwan tidak tahu alasan apa yang dikemukakan Tito kepada Ali, sehingga dia pun manut melantik Bahri dan La Ode Budiman.

“Itu Pak Gubernur dan Pak Mendagri (yang tahu alasannya). Yang pasti, setelah konsultasi dengan Pak Mendagri, langsung dilantik, gitu,” jelas Ridwan kepada reporter detikX.

Tim detikX sudah berupaya menghubungi Ali Mazi melalui sekretaris pribadinya untuk mengetahui isi pembicaraannya dengan Tito Karnavian. Namun, sampai tenggat penerbitan naskah ini, Ali belum juga merespons permintaan wawancara kami.

Tito dalam keterangannya kepada awak media mengakui memang sempat berkomunikasi dengan Ali Mazi terkait persoalan tersebut. Dia bilang keputusannya menolak usulan dari Ali adalah untuk mencegah potensi konflik yang mungkin terjadi di Sultra. Karena itu, dia memilih satu di antara penjabat bupati di Sultra langsung dari kementeriannya sendiri.

“Kenapa dari Kemendagri? Kita pilih penjabat profesional dan kita yakinkan bahwa dia tidak memihak kepada politik praktis,” kata Tito, Selasa, 24 Mei 2022.

Dalam kesempatan yang sama, Tito juga meminta maaf kepada para gubernur yang merasa kecewa karena usulannya ditolak. Tito mengklaim hanya menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Aturan tersebut, kata Tito, memang tidak memberikan hak sepenuhnya kepada gubernur untuk memilih penjabat bupati maupun wali kota yang bakal dilantik. Sebaliknya, amanah dari UU ini hanyalah meminta para gubernur mengusulkan nama calon penjabat. Sedangkan penunjukan tetap berada di tangan Mendagri.

“Ini UU memberikan (hak) prerogatif kepada Bapak Presiden (Joko Widodo) untuk kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota,” ungkap Tito.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap klaim Tito tentang menjalankan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 ini bermasalah dan salah kaprah. Menurut Feri, UU ini justru telah mengamanatkan kepada Tito untuk memperhatikan dan mempertimbangkan usulan daerah.

Potret Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. 
Foto : Ari Saputra/detikcom

Pasal 174 beleid tersebut menyatakan, jika masa jabatan lebih dari 18 bulan, pemilihan bupati atau wali kota harus melalui mekanisme demokrasi yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lalu, jika masa jabatan kurang dari 18 bulan, barulah Mendagri diberi kewenangan memilih langsung penjabat setelah meminta usul gubernur.

Tito dianggap mengabaikan amanat UUini. Padahal, jika dihitung secara rentang waktu, masa jabatan para penjabatini masih jauh dari tahapan Pemilu 2024. Jarak waktunya masih ada sekitar 24bulan terhitung sejak Juni 2022 hingga Juni 2024.

“Saya bisa pastikan, kalau kita bicara konteks konstitusi, Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar, langkah-langkah yang dilakukan Pak Menteri itu bertentangan dengan UUD 1945,” tutur Feri kepada reporter detikX, Sabtu, 11 Juni 2022.

Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera memandang apa yang dilakukan Tito sekarang ini merupakan pengabaian terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, sebetulnya, dalam tiga putusan terkait penunjukan penjabat, Mahkamah Konstitusi telah meminta agar Mendagri melaksanakan proses penunjukan penjabat secara demokratis dan transparan. Demokratis yang dimaksud adalah turut mempertimbangkan usulan dari pemerintah daerah, baik itu gubernur maupun DPRD.

Sementara itu, kini, Tito justru membawa proses pertimbangan untuk penunjukan penjabat ke dalam ‘ruang gelap’ politik yang hanya segelintir orang tahu. Karena itu, kata Mardani, wajar jika ada yang berprasangka buruk terhadap proses penunjukan penjabat. Bahkan tidak salah jika orang menuding bahwa penunjukan penjabat yang tidak demokratis dan transparan ini sarat kepentingan politik untuk Pemilu 2024.

“Kalau teorinya setan itu paling banyak di ruang gelap. Makanya kita perlu transparansi biar lampunya banyak,” tutur Mardani kepada reporter detikX

Mardani menuturkan model penunjukan penjabat yang dilakukan Tito Karnavian ini terlalu sentralistik. Ini, kata dia, bakal berbahaya bagi jalannya roda pemerintahan daerah. Penyebabnya, para penjabat bupati maupun wali kota yang ditunjuk bukanlah merupakan pejabat definitif yang dipilih langsung oleh rakyat. Mereka tidak punya backup politik dalam menghadapi sejumlah situasi yang mungkin terjadi dalam setahun atau lebih masa jabatannya.

Tidak tertutup kemungkinan seluruh fraksi di DPRD juga nantinya bakal menjadi oposisi bagi pemerintahan yang diemban oleh penjabat pilihan Tito Karnavian. Kondisi ini bakal membuat proses pembuatan kebijakan terhambat.

Mendagri Tito Karnavian usai rapat dengan Komisi II DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2022). 
Foto : Firda Cynthia Anggrainy/detikcom

"Sehingga yang dirugikan ya masyarakat. Seharusnya masyarakat merasakan pembangunan, tapi karena proses pengambilan keputusannya terlambat, delivery kebijakannya jadi tertunda," tambah Mardani.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan menolak jika dikatakan bahwa penetapan penjabat kepala daerahdilakukan tidak demokratis dan transparan. Menurutnya, semua keputusan penunjukanpenjabat kepala daerah telah dipertimbangkan secara bersama-sama dengan tim penilaiakhir dari lintas kementerian dan lembaga.

Nama-nama calon penjabat bupati maupun wali kota yang diusulkan oleh gubernur juga dipertimbangkan dalam sidang yang digelar tim penilai akhir. Di sana usulan-usulan nama itu dikupas profil dan pengalamannya untuk dilihat kapabilitasnya memimpin sebuah kabupaten atau kota. Dari hasil pertimbangan tim penilai akhir inilah, nama-nama akhir sebagai calon penjabat disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan Tito Karnavian. Jokowi menunjuk gubernur, sedangkan Tito memutuskan nama wali kota dan bupati.

“Ini bisa dilihat sebagai salah satu bentuk penerapan nilai-nilai demokratis penunjukan atau penetapan penjabat,” pungkas Benni.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, May Rahmadi, Rani Rahayu
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE