INVESTIGASI

Melihat Residu Pemilu Cebong Vs Kampret Bekerja

Polarisasi pada Pilpres 2019 dan Pilgub DKI Jakarta 2017 membuat iklim demokrasi di Indonesia kian menyedihkan. Sebutan Cebong, Kampret, PKI, dan Kadrun bernuansa kebencian masih gaduh didengungkan di jagat maya sampai sekarang.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 9 Mei 2022

Tak ada foto Anies Baswedan di kertas suara pilgub yang Nana pegang di tempat pemungutan suara sekitar kompleks perumahannya, 15 Februari 2017. Yang ada hanya foto Wahidin Halim-Andika Hazrumy dan Atut Chosiyah-Rano Karno. Padahal, waktu itu, Nana ingin sekali bisa memilih Anies sebagai gubernur.

“Tapi nggak bisa milih karena sejak 2013 atau 2014 saya jadi warga Tangsel (Tangerang Selatan),” kata Nana kepada reporter detikX pekan lalu.

Meski tidak bisa memilih secara langsung, Nana tetap menebarkan dukungan terhadap Anies. Dukungan itu terang benderang Nana tunjukkan di lini masa. Melalui akun Twitter-nya @ronavioleta, Nana kerap mencuitkan narasi mempromosikan Anies. Itu Nana lakukan tanpa dibayar sepeser pun.

Ismail Fahmi dalam program Blak-blakan 20detik, Jumat (15/4/2022).
Foto : 20detik

Hal yang sama Nana lakukan ketika mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 dan 2019. Tidak jarang ibu rumah tangga yang juga merupakan influencer di Twitter ini meladeni twitwar para simpatisan Presiden Joko Widodo yang kerap mengkritik Prabowo. Sampai-sampai Nana pun punya julukan khusus bagi para simpatisan Jokowi, yaitu Cebong.

Tapi dituduh Kadrun dan Kampret itu agak aneh. Karena awal-awalnya Kadrun kan untuk kelompok-kelompok yang politisasi agama, which I’m not (saya tidak). Saya justru termasuk yang kencang menolak itu.”

“Saya pakai istilah Cebong karena Jokowi pelihara kodok dan punya kolam cebong. Jadi pengikutnya atau pendukungnya saya sebut Cebong,” kata Nana.

Dengan jumlah pengikut lebih dari 75 ribu, cuitan Nana tentang Cebong membuat julukan bagi simpatisan Jokowi itu kian populer. Sejak 1 Juli 2015 hingga 16 April 2022, cuitan Nana yang mengandung kata Cebong telah mendapat total 25.380 retweet dan 4.405 reply atau balasan.

Dalam studi Drone Emprit bertajuk “Sejarah Polarisasi Netizen di Indonesia”, akun @ronavioleta pun masuk dalam daftar top influencer paling berperan mempopulerkan istilah Cebong. Bersama Nana, ada 59 akun lainnya. Lima di antaranya akun @RestyCayah, @RajaPurwa, @TanYoana, @AnonLokal, dan @ekowBoy.

Kelima akun ini memiliki banyak pengikut di Twitter sehingga cuitan mereka yang mengandung kata Cebong pun teramplifikasi cukup luas. Cuitan kata Cebong dari kelima akun itu mendapatkan total 231.463 retweet dan reply.

Meski demikian, penelusuran detikX menemukan bahwa sebetulnya para pendengung ini bukanlah orang yang pertama kali mencuitkan kata Cebong di Twitter. Istilah Cebong pertama kali dicuitkan oleh akun @imasundariii pada 22 Juli 2014. Dalam cuitan itu, @imasundariii menyandingkan istilah “Cebong” dengan kata “Jokodok”, yang juga kerap digunakan sebagai bentuk cibiran terhadap Jokowi.

Istilah Cebong kemudian kian populer ketika Kaesang Pangarep, anak kedua Jokowi, melalui akun Twitter @kaesangp turut mencuitkan kata “kecebong” pada 1 Januari 2016. Analis media sosial dari Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengungkapkan cuitan Kaesang ini seolah mengafirmasi istilah Cebong bagi para pendukung Jokowi. Ditambah lagi, dua hari setelahnya, media massa memberitakan aktivitas Jokowi yang sedang melepas kodok di Istana Bogor.

“Begitu Pak Jokowi lepasin kodoknya, makin cocok,” tutur Ismail Fahmi saat ditemui reporter detikX di kediamannya di Jakarta Selatan, Rabu, 27 April 2022.

Sampai sekarang, istilah Cebong masih sering didengungkan netizen Indonesia. Data Drone Emprit menunjukkan, dalam setahun terakhir, istilah Cebong masih mendapat total 198.577 retweet. Hanya, kali ini, aktor pendengungnya berbeda. Sebab, tiga dari lima akun yang menjadi top influencer Cebong, yakni @RestyCayah, @RajaPurwa, dan @TanYoana, sudah ditangguhkan secara permanen oleh Twitter. Kini muncul akun baru, seperti @HukumDan dan @Anonymous_2024.

Ini, kata Fahmi, membuktikan bahwa polarisasi yang terjadi akibat Pemilu 2019 masih ada. Indikasi polarisasi ini terlihat juga dari data Drone Emprit, yang menunjukkan penggunaan istilah Kampret masih banyak digunakan sampai sekarang. Setahun terakhir, istilah Kampret di Twitter telah mendapat 92.398 retweet dengan mayoritas pendengungnya adalah orang-orang yang pro-Jokowi.

Istilah Kampret pertama kali dicuitkan oleh akun @Orangdesa123 pada 9 September 2014. Dalam cuitannya, @Orangdesa123 menyandingkan kata Kampret dengan akronim Koalisi Merah Putih. Jadi Kampret sebetulnya merupakan bentuk cibiran terhadap akronim partai yang mendukung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014 itu.

Selain istilah Cebong dan Kampret, ada juga istilah lain yang menunjukkan betapa polarisasi masih tajam di masyarakat. Istilah itu adalah Kadrun alias “kadal gurun” dan PKI akronim dari Partai Komunis Indonesia.

Dalam hasil riset Drone Emprit bertajuk “Memetakan Polarisasi Kadrun Vs PKI”, kata “Kadrun” dan “PKI” kerap digunakan untuk saling sindir di media sosial. Setahun terakhir, ada setidaknya 53.974 akun Twitter yang mencuitkan kata “PKI”, sementara “Kadrun” dicuitkan oleh 66.623 akun.

Pendengung kata PKI adalah akun @LurahIstana, yang memiliki sekitar 20 ribu pengikut, dan @OposisiCerdas dengan total 158 ribu pengikut. Sedangkan pendengung “Kadrun” adalah @ChusnulCh__ dengan total 154 ribu pengikut dan @DennySiregar7, yang memiliki pengikut sebanyak 1,2 juta.

Kayu Bakar Kebencian

Awalnya, sebutan PKI hanya diidentikkan dengan simpatisan Jokowi yang dirumorkan berpaham komunis. Sedangkan Kadrun digunakan sebagai simbolisasi bagi para pendukung Prabowo dan Anies Baswedan, yang dinilai intoleran. Namun kini kedua istilah itu mulai mengalami peyorasi. Seolah-olah setiap orang yang mengkritik kebijakan pemerintah adalah Kadrun. Sebaliknya, orang yang setuju dengan kebijakan pemerintah dituduh PKI.

Pergeseran makna ini juga terjadi pada istilah Cebong dan Kampret. Cebong sama dengan propemerintah. Sedangkan Kampret berarti tidak propemerintah.

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, barangkali adalah salah satu orang yang sudah cukup kenyang dengan sebutan-sebutan itu. Dia kerap dibilang Kampret, Kadrun, PKI, ataupun Cebong.

Sewaktu Alissa berbicara soal toleransi di Twitter, dia diserang disebut Cebong dan PKI. Sementara itu, saat dia mencuitkan kritik kepada pemerintahan Jokowi—misalnya soal pendekatan pemerintah dalam isu penggusuran tanah masyarakat Wadas, Jawa Tengah—dia disebut Kadrun dan Kampret.

Alissa mengaku masih bisa memahami kalau disebut Cebong. Sebab, mungkin, kata dia, masih banyak orang yang keliru membedakan Alissa dengan adiknya, Yenny Wahid. Yenny memang diketahui sebagai pendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Potrait Alissa Wahid, Kamis (21/4/2022).
Foto : Herianto Batubara/detikcom

“Tapi dituduh Kadrun dan Kampret itu agak aneh. Karena awal-awalnya Kadrun kan untuk kelompok-kelompok yang politisasi agama, which I’m not (saya tidak). Saya justru termasuk yang kencang menolak itu,” tutur Alissa kepada reporter detikX pekan lalu.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut apa yang terjadi pada Alissa ini sebagai bentuk penyangkalan dari para simpatisan Prabowo, Jokowi, maupun Anies, yang menolak berdamai meski pemilu sudah selesai. Bentuk penyangkalan ini membuat mereka bakal menyerang siapa pun yang dianggap bertentangan dengan mereka. Sebab, bagi orang-orang ini, kata Adi, politik adalah tentang kebencian dan permusuhan semata.

Padahal, jika mereka menyadari, tambah Adi lagi, mereka hanyalah korban dari para elite politik Indonesia yang menghalalkan segala cara untuk dapat merebut kekuasaan. Kebencian mereka itu sengaja terus dipupuk oleh kelompok-kelompok tertentu untuk bisa dimanfaatkan lagi pada pemilu mendatang. Mereka hanya dijadikan kayu bakar untuk membenci sekaligus memuja setengah mati tokoh atau partai tertentu.

Mirisnya, dari kebencian dan permusuhan ini, mereka tidak pernah mendapat apa-apa kecuali permusuhan yang tidak berkesudahan. “Sementara itu, elite politik, yang jelas-jelas membelah mereka, saat ini sedang menikmati indahnya kekuasaan politik,” pungkas Adi kepada reporter detikX pekan lalu.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Syailendra Hafiz Wiratama
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE