Foto: Situasi lalu lintas di Jakarta saat pemberlakuan PPKM Darurat (Agung Pambudhy/detikcom)
Selasa, 6 Juli 2021Lonjakan jumlah kasus Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dan ancaman krisis tempat tidur di rumah sakit memaksa pemerintahan Joko Widodo menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Dikomandoi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, kebijakan ini ditujukan untuk mengatur masyarakat di Pulau Jawa dan Bali.
“Kita tahu kasus konfirmasi mengalami peningkatan tertinggi. Terakhir 21.800 kasus baru, dan kalau kita lihat, BOR (bed occupancy rate atau keterisian tempat tidur di rumah sakit) melebihi puncak pasca-Natal dan tahun baru,” kata Luhut saat mengumumkan pemberlakuan PPKM darurat di Jawa-Bali, Kamis, 1 Juli 2021.
Pemerintah menerapkan PPKM darurat Jawa-Bali selama 3-20 Juli 2021. Sejumlah aturan diberlakukan dalam kebijakan PPKM darurat. Beberapa di antaranya, kantor-kantor untuk sektor non-esensial harus kosong 100 persen, sedangkan untuk sektor esensial hanya boleh 50 persen, mal dan pusat perbelanjaan ditutup, serta perjalanan jarak jauh harus menunjukkan kartu vaksin, minimal vaksin dosis pertama, dan hasil tes polymerase chain reaction (PCR) H-2 perjalanan.
Baca Juga : Menteri 'Spesialis Darurat' Luhut
Luhut Binsar Pandjaitan
Foto: Anisa Indraini/detikcom
Kalau sistem kesehatannya lumpuh, dengan sendirinya perekonomian kita akan amburadul.”
Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat di wilayah Jawa-Bali ini pemerintah ambil dengan salah satu rujukannya adalah negara India. Dalam dokumen final berjudul ‘Intervensi Pemerintah dalam Penanganan COVID-19’ yang dikeluarkan kementerian Luhut, India disebut menolak lockdown secara nasional dan lebih memilih melakukannya secara wilayah. India dikatakan berhasil mengurangi jumlah kasus secara drastis selama 60 hari. Kebijakan itu, dalam pandangan Kemenko Marves, mirip dengan PPKM dengan pengetatan lebih tinggi dan pada skala geografis lebih besar.
Komisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi kesehatan menilai langkah PPKM darurat memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Wakil Ketua Komisi Bidang Kesehatan DPR Charles Honoris mengatakan keparahan kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia tidak hanya dapat dilihat berdasarkan data di atas kertas. Di Jakarta, misalnya, Charles mengatakan seluruh rumah sakit sudah penuh. Dia mengaku saat ini sangat kesulitan membantu warga yang memintanya mencarikan rumah sakit.
“Kalau kita lihat angka di atas kertas saja, angka bed occupancy rate di berbagai wilayah memang sudah tinggi sekali. Di atas 90 persen untuk wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan beberapa kota bahkan sudah 100 persen. Jadi memang kondisi di lapangan, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya sudah sangat penuh, sehingga tidak dapat lagi menampung pasien,” kata Charles kepada detikX, Jumat, 2 Juli 2021.
Bukan hanya mencari rumah sakit, dia mengklaim, saat ini mencari tempat pemakaman umum juga sulit. Charles menceritakan, dia baru saja membantu pemakaman salah satu pengurus puskesmas yang meninggal karena COVID-19. Namun jenazah pengurus puskesmas itu tidak diterima di pemakaman Tegal Alur. “Ditolak karena sudah penuh,” katanya.
Berdasarkan data Komite Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, ada 29 kabupaten/kota berisiko tinggi menambah kasus COVID-19 atau mendapat predikat zona merah. Sebanyak 23 di antaranya berada di Pulau Jawa, sementara sisanya di Pulau Sumatera dan Kepulauan Riau. Namun pemerintah hanya menerapkan PPKM darurat di wilayah Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Baca Juga : Rumah Sakit Akhirnya Stagnan
Rumah Sakit dr Sardjito Yogyakarta membangun tenda untuk menampung pasien COVID-19 yang membludak
Foto: Pius Erlangga/detikcom
Menurut Charles, penerapan PPKM darurat di Jawa-Bali adalah upaya pemerintah mencari keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan perekonomian. Karena itu, pemerintah hanya mendaruratkan dua pulau tersebut. Padahal, dia menilai, seharusnya pemerintah memprioritaskan sistem kesehatan terlebih dahulu sebelum memperhatikan perekonomian.
“Kalau sistem kesehatannya lumpuh, dengan sendirinya perekonomian kita akan amburadul,” kata Charles. “Ini sudah terjadi di beberapa negara. Di India, misalnya, ketika angka kasus COVID-19 naik tinggi sekali, daya beli masyarakat menjadi turun dan perekonomian terdampak besar.”
Implementasi PPKM darurat yang dikonsepkan pemerintah pun, menurut Charles, tidak jauh berbeda dengan PPKM sebelumnya. Yang paling membedakan, kata dia, adalah perjalanan jauh, termasuk ke luar Pulau Jawa. Dalam aturan PPKM darurat, orang yang ingin melakukan perjalanan jauh harus membawa kartu vaksin minimal dosis pertama dan hasil negatif tes PCR.
Menurut politikus PDIP itu, pemerintah seharusnya lebih memperketat aturan perjalanan ke luar Pulau Jawa. Sebab, hal tersebut berpotensi membuat daerah yang semula zona oranye atau zona hijau jadi ikut menjadi zona merah. Apalagi vaksin tidak menjamin seseorang akan terhindar dari infeksi COVID-19.
“Idealnya, aturan ke luar Pulau Jawa itu lebih diperketat,” kata dia. “Kapasitas dan kualitas kesehatan di setiap provinsi itu kan berbeda-beda. Di Pulau Jawa saja, yang terbaik di Indonesia, kondisinya sudah hampir lumpuh. Bisa dibayangkan kalau provinsi lain yang tidak memiliki faskes seperti Pulau Jawa mengalami kondisi serupa. Ini akan jauh lebih mengerikan dari yang kita lihat selama ini.”
“Aturan PPKM darurat juga seharusnya diterapkan di zona-zona merah di luar Jawa-Bali. Apabila tidak, kondisinya bisa memburuk dan merambah ke wilayah-wilayah lain yang berbatasan dengan zona-zona tersebut,” lanjutnya.
Berdasarkan data mingguan per 20 Juni yang dirilis Komite Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, ada 293 zona oranye di Indonesia. Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan wilayah-wilayah dengan risiko sedang itu harus benar-benar diperhatikan pemerintah karena rawan berubah menjadi zona merah dengan adanya COVID-19 varian Delta. Jika suatu saat angka kasus COVID wilayah tiba-tiba meningkat tajam, menurut Windhu, pemerintah harus segera mengambil kebijakan PPKM darurat di wilayah tersebut.
Baca Juga : Menggilanya Corona Varian Delta
Wakil Ketua Komisi Bidang Kesehatan DPR, Charles Honoris
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
“Memang Jawa-Bali ini yang paling penting karena mobilitasnya tinggi sekali. Ini memang paling berisiko. Namun pemerintah harus bergerak cepat jika tiba-tiba ada lonjakan kasus di suatu wilayah di luar Jawa-Bali. PPKM darurat harus bisa diperluas,” kata dia. “Makanya setiap saat harus dievaluasi. Bukan hanya memperluas wilayah PPKM darurat, tapi juga mengoreksi poin-poin aturan yang tidak membantu mengurangi kasus.”
Windhu menjelaskan aturan-aturan dalam PPKM darurat sebenarnya belum cukup untuk mengendalikan kasus COVID-19. Dia menilai kebijakan tersebut sebenarnya tidak membatasi mobilitas sama sekali. Pemerintah tetap membolehkan pergerakan orang meski memang ada persyaratan perjalanan. “Transportasi lokal masa diperbolehkan berisi 70 persen penumpang?” kata dia. “Mungkin nggak 70 persen penumpang itu menjaga jarak? Apalagi varian Delta ini tidak cukup menjaga jarak hanya 1-1,5 meter.”
Lebih dari itu, perjalanan jarak jauh juga diperbolehkan selama membawa kartu tanda sudah divaksinasi. “Para pemegang kebijakan nggak ngerti vaksin itu untuk apa. Vaksin itu tidak membuat orang menjadi tidak bisa tertular. Orang divaksinasi masih bisa terinfeksi dan menjadi penular,” kata Windhu. “Banyak tenaga kesehatan yang sudah divaksinasi dua dosis tetap tertular dan meninggal.”
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan PPKM darurat diterapkan di Jawa-Bali karena kasus COVID-19 sangat tinggi di zona-zona merah wilayah ini dan tingkat keterisian rumah sakitnya juga cenderung tinggi atau di atas 80 persen. Kendati demikian, dia menjelaskan pemerintah akan terus mengevaluasi pemberlakuan PPKM darurat sambil terus memantau daerah-daerah di luar Jawa-Bali.
“Tentunya evaluasi akan dilakukan sambil berjalan. Apakah PPKM darurat nanti akan ditambah (wilayahnya) atau diperpanjang (waktunya) di wilayah yang sama,” katanya.
Menurut Siti, daerah di luar Jawa-Bali tidak memiliki mobilitas sesibuk dua daerah ini. Karena itu, PPKM mikro saja sudah cukup tanpa perlu PPKM darurat. “Kalau untuk non-Jawa-Bali itu tidak seperti di Jawa-Bali, yang mobilitasnya lebih sedikit. Itu masih bisa dikendalikan dengan PPKM mikro,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Mengenai masih dimungkinkannya mobilitas orang di Jawa-Bali dalam PPKM mikro, Siti berdalih, pemerintah tidak bisa benar-benar menghentikan pergerakan orang secara menyeluruh. Sebab, pada saat bersamaan, pemerintah masih terus mengejar target vaksinasi.
“Vaksinasi itu kan salah satu upayakita untuk menekan laju penularan. Jadi, kalau (mobilitas) kita hentikan, ituakan kehilangan waktu. Tidak boleh (mobilitas) kita rem di masa seperti ini,”kata Siti. “Yang harus kita rem adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidakesensial. Terkait transportasi, memang harus ada yang berjalan untuk masyarakatke rumah sakit atau bekerja di sektor esensial. Nah, karena itu, transportasimenjadi tidak mungkin disetop.”
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban