INTERMESO
Meski penganut Kristen, Friedrich Silaban terpilih sebagai arsitek Masjid Istiqlal. Ada pihak yang mendatangkan syekh dari Arab Saudi untuk menganulir karya Silaban.
Foto: Agung Pambudhy/detikX
Senin, 21 Maret 2016“Marilah kita membuat masjid yang tahan menghadapi cakaran masa, sehingga ia dapat bertahan seribu, dua ribu, bahkan tiga ribu tahun.” Presiden Sukarno mengungkapkan hal itu setelah melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Istiqlal pada 24 Agustus 1961.
Agar masjid bisa tahan hingga ribuan tahun, menurut Sukarno, seperti dilaporkan harian Bintang Timur keesokan harinya, seluruh bahan baku yang digunakan terbuat dari beton dan baja. Dengan begitu, bangunan masjid tak hanya akan tahan lama, tapi juga tampak kokoh. Setiap orang yang datang ke masjid itu nanti akan berkata, “Wah alangkah hebatnya masjid ini dan sudah tentu dibangun oleh bangsa yang besar jiwanya.”
Pembangunan masjid itu dibuka melalui sayembara pembuatan desain yang dimuat sejumlah media pada 22 Februari 1953. Friedrich Silaban Ompu Ni Maya termasuk yang tergoda untuk mengikuti sayembara. Hanya, dia ragu, apakah dirinya yang penganut Kristen dimungkinkan untuk ikut serta. Di tengah rasa galau, dia menemui Uskup Bogor Monseigneur Geisse untuk meminta nasihat. Juga menemui beberapa kiai yang menjadi teman dekatnya.
“Bapak Uskup menasihati Papi agar mewujudkan niatnya itu. Bila Tuhan berkehendak, niscaya Papi akan bisa membuatnya,” kata Panogu Silaban, putra keenam Friedrich Silaban, saat ditemui detikX di Jalan Gedong Sawah II Nomor 19, Bogor, pada Sabtu, 27 Februari 2016.
Interior Masjid Istiqlal dilihat secara 360 derajat.
360: DCIMAJI
Sayembara yang digelar Yayasan Masjid Istiqlal tersebut antara lain mensyaratkan masjid menunjukkan keindonesiaan, bukan seperti masjid tradisional yang tersebar di banyak daerah. Salah satu syarat utamanya adalah adanya kubah dan menara.
Berbekal restu sang uskup dan dorongan sejumlah kiai, Silaban memantapkan hati mengikuti sayembara. Setiap akhir pekan, dia menelusuri masjid-masjid di pelosok Bogor, bahkan hingga Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat. Setiap pukul 4 pagi hingga sebelum berangkat ke kantornya di Dinas Pekerjaan Umum Bogor, lelaki kelahiran Bonan Dolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, itu mengurung diri di kamar kerjanya untuk membuat desain Istiqlal.
“Biasanya, kalau sedang menggambar, Papi selalu memutar musik klasik karya (Ludwig van) Beethoven,” ujar Panogu.
Total ada 30 peserta yang mengikuti sayembara. Tapi, dari jumlah itu, cuma 22 orang yang lulus. Tim juri dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno, yang juga dikenal sebagai arsitek. Anggotanya terdiri atas Prof Ir Rooseno, Ir H Djuanda, Prof Ir Suwardi, Hamka, H Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.
Dalam sidang yang digelar di Istana Bogor, juri memutuskan desain bertema Ketuhanan sebagai pemenang pertama. Empat pemenang berikutnya adalah R. Oetoyo, yang mengusung desain bertema Istigfar, Hans Groenewegen (Salam), lima mahasiswa Institut Teknologi Bandung (Ilham), dan tiga mahasiswa ITB lainnya mengusung tajuk Khatulistiwa.
“Lazimnya, setiap lomba desain di kalangan arsitek tak pernah mencantumkan nama, tapi hanya sandi-sandi atau tema desain rancangannya. Kalau dari semula desain ditulisi nama, saya tak tahu apakah Papi akan dipilih menjadi pemenangnya,” kata Panogu.
Dari cerita sang ayah, Poltak Silaban, putra ketiga Friedrich Silaban, menambahkan, banyak pihak tercengang saat mengetahui pemenang desain Istiqlal seorang Batak beragama Kristen. Ada pihak-pihak tertentu yang tak puas dan mencoba mengusik keputusan juri. Salah satu caranya adalah mendatangkan seorang ulama besar dari Arab Saudi. Sang ulama diharapkan memberikan fatwa bahwa pembuatan desain Masjid Istiqlal oleh seorang Kristen tidak patut.
“Tapi yang terjadi sebaliknya, ulama besar yang datang itu justru memuji karya Papi. Apalagi begitu beliau melihat kediaman kami di Bogor ini, yang kala itu amat sederhana,” tutur Poltak.
Suasana di dalam bangunan utama Masjid Istiqlal.
Foto: dok. Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal
Rangka menara Istiqlal lebih dulu dibangun ketimbang bagian lainnya.
Foto: dok. Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal
Sertifikat warga negara kehormatan New Orleans untuk Friedrich Silaban.
Foto: Sudrajat/detikX
* * *
Menurut Panogu, lulusan Fakultas Arsitektur ITB, dalam mendesain Istiqlal, Silaban menerapkan filosofi tropis. Hal itu dapat dikenali dari penggunaan atap-atap lebar dan koridor besar. Tujuannya tak lain agar hawa di dalam masjid sejuk meski tanpa alat penyejuk udara. Selain itu, Silaban sengaja menata ruangan terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar untuk memudahkan sirkulasi udara dan menjadi penerangan alami.
“Papi berpendapat, bukan cuma atap yang menaungi manusia dari iklim, tetapi juga dinding bangunan. Karena itu, banyak karyanya yang beratap lebar,” ujarnya.
Khusus untuk pembuatan kubah, ia melanjutkan, desain awal Silaban mengusulkan delapan tiang. Namun insinyur di lapangan meminta 16 tiang dengan ukuran yang lebih kecil. Setelah melalui perdebatan, akhirnya disepakati menjadi 12 tiang seperti sekarang. “Katanya itu sesuai dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad, tapi Papi kan Kristen, enggak mengerti. Itu dicocok-cocokkan kemudian sepertinya,” ujar Panogu seraya tersenyum.
Masih terkait dengan pilar penyangga kubah, menurut Poltak, Silaban tak setuju ukurannya diperkecil meski jumlahnya diperbanyak. Sebab, dalam perhitungan Silaban, perubahan itu tak akan mampu menyangga kubah dengan garis tengah 45 meter, yang total beratnya lebih dari 80 ton. Karena tak tercapai kata titik temu, akhirnya masalah ini dibawa ke seorang profesor di Universitas Darmstadt, Jerman Barat.
Katanya itu sesuai dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad, tapi Papi kan Kristen, enggak mengerti. Itu dicocok-cocokkan kemudian sepertinya."
Panogu SilabanSemula si profesor sependapat bahwa pilar penyangga yang diperkecil akan mampu menyangga kubah rancangan Silaban dengan teknologi mutakhir. Tapi, begitu dilakukan uji simulasi di laboratorium, kubah itu ambruk. “Dari situ, si profesor memuji kecermatan Papi. Dia kemudian menjadi sahabat Papi dan pernah beberapa kali main ke rumah ini,” ujar Poltak. Selain itu, untuk mengapresiasi Friedrich Silaban, Universitas Darmstadt menyebut kubah hasil rancangannya itu dengan nama Silaban Dome.
Sedangkan dari Presiden Sukarno, Silaban mendapat tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan pada 1962. Juga mendapat penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. “Untuk yang dari New Orleans, saya tidak tahu persis kenapa bisa dapat. Setahu saya, Papi lebih suka (musik) klasik ketimbang jazz, he-he-he…,” ujar Panogu.
* * *
Menurut Wakil Presiden Mohammad Hatta, pembangunan sebuah masjid raya dan dibanggakan merupakan keinginan segenap umat Islam di Jakarta. Sebab, di Ibu Kota waktu itu baru ada masjid-masjid kecil, yang lokasinya kebanyakan di perkampungan. Sedangkan gereja justru berada di beberapa pusat kota dan di pinggir-pinggir jalan.
Soal lokasi, menurut Jayadi, salah satu staf protokoler dan humas Masjid Istiqlal, Hatta mengusulkan lokasi yang paling cocok adalah di Jalan M.H. Thamrin, yang kemudian menjadi Hotel Indonesia. Kala itu, lokasi tersebut masih berupa lahan kosong berupa kebun dan dekat dengan perkampungan masyarakat muslim.
Hatta tidak setuju Istiqlal dibangun di Wilhelmina Park (sekarang Taman Kusuma Wijaya) karena di sekitarnya merupakan daerah pertokoan dan perkantoran. Juga akan boros dari segi dana karena harus membongkar Benteng Citadel (Prins Frederik Hendrik).
“Tapi Presiden Sukarno justru menilai lebih tepat di bekas taman itu sebagai simbol penghancuran terhadap sisa-sisa kolonialisme. Juga simbol toleransi karena berdampingan dengan Katedral,” kata Jayadi.
Setelah 17 tahun sejak konstruksi pertama dilakukan pada 24 Agustus 1961, Masjid Istiqlal diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.
Reporter: Pasti Liberti Mappapa
Penulis/Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan
kekinian.