INTERMESO
“Yang penting tembak saja. Kalian tak akan sempat memikirkannya karena kalian tak ingin mati.â€
Latihan prajurit perempuan Sawt al-Haqq di Aleppo, Suriah
Foto: Reuters
Selasa, 13 September 2016Ivana Hoffman lahir di Jerman dan mati di luar Kota Tal Tamr, barat laut Suriah. Lahir dari pasangan Afrika Selatan persis 21 tahun lalu, Ivana tumbuh besar di Jerman. Setahun lalu, bersama milisi perempuan asal Kurdistan, YPJ, Ivana terlibat baku tembak melawan milisi Negara Islam alias ISIS. Ivana kena tembak dan tewas.
Tak ada darah Suriah atau Irak mengalir dalam tubuh Ivana. Tapi dua tahun lalu, gadis asal Kota Duisburg, Jerman, itu datang secara sukarela menceburkan diri dalam kubangan perang di Suriah. Dia datang dengan membawa bendera Partai Komunis Marxis Leninis Turki (MLKP). Tak terang benar bagaimana Ivana bergabung dengan partai kiri di Turki ini.
Tak punya sangkut paut dengan Suriah, dalam video yang dia unggah ke YouTube, Ivana mengaku bertempur melawan ISIS “demi memperjuangkan kemerdekaan dan kemanusiaan†serta “mempertahankan revolusiâ€. Selama di Suriah, menurut Guardian, Ivana memakai nama samaran Avasin Tekosin Gunes.
“Kami tak pernah berpikir untuk pulang ke rumah.â€
Ivana bukan perempuan asing pertama di medan perang Suriah dan Irak yang bergabung dengan milisi anti-ISIS. Pada November 2014, Gill Rosenberg, mantan anggota staf di Pasukan Pertahanan Israel (IDF), menyeberang ke Suriah lewat Yordania. Perempuan kelahiran Kanada itu bergabung dengan milisi YPJ di Rojava, Suriah.
Kabar soal pembantaian massal keturunan Yazidi di Irak dan pemerkosaan perempuan-perempuan tawanan ISIS membuat Gill sukarela mempertaruhkan nyawa di Suriah.
Hanna Bohman
Foto: Merkur
“Bagiku, ada beda antara perang biasa dan genosida,†kata Gill kepada Times of Israel. Kendati dia seorang perempuan Yahudi, hal itu tak jadi soal bagi teman-temannya di Rojava. Gill tak perlu menyembunyikan identitasnya sebagai warga Israel. “Bagi orang-orang Kurdi, kedatangan relawan asing, apalagi seorang perempuan, menjadi suntikan moral bagi mereka…. Selama ini mereka merasa bertarung sendirian melawan ISIS.â€
Setelah berbulan-bulan bahu-membahu dengan milisi perempuan YPJ menggempur ISIS, pertengahan 2015 Gill pulang ke Israel. “Sebenarnya aku merasa sangat berat meninggalkan teman-temanku di sana…. Mereka orang yang baik, mereka juga saudara kita,†kata Gill kepada Ynet. Tapi makin kuatnya pengaruh Iran di lapangan membuat dia memutuskan pulang.
* * *
Di Kanada, namanya adalah Hanna Bohman, 46 tahun. Dia pernah bekerja sebagai fotomodel. Di Rojava, dia dikenal dengan nama Tiger Sun.
Hanna terbang ke Suriah dari Kanada pada awal 2014 untuk bergabung dengan milisi perempuan YPJ. “Tak ada kejadian khusus yang menarikku berangkat ke sana,†kata Hanna kepada National Post. Perjuangan orang-orang Kurdistan mempertahankan wilayahnya dari invasi ISIS-lah yang membuat dia memutuskan terbang ke Rojava. “Aku benar-benar percaya pada perjuangan mereka.â€
Shaelynn Jabs asal Alberta, Kanada
Foto: Edmonton Journal
Tanpa modal latihan militer, Hanna datang ke Rojava lewat Irak. Beberapa hari berlatih menggunakan senapan bersama YPJ jadi modalnya pergi ke medan tempur melawan ISIS. Sebagian hari-harinya di Rojava sebenarnya sangat membosankan dan tak menyeramkan.
“Aku biasa bangun pukul 5 pagi, kemudian sarapan bersama yang lain. Menunya sebagian besar vegetarian…. Mereka adalah prajurit petani. Sebagian besar makanan itu juga pemberian orang,†kata Hanna. “Kondisi di sini tak seperti yang dibayangkan orang…. Kami tak terus-menerus ada dalam kondisi antara hidup dan mati, hidup di tengah hujan peluru.â€
Hanya beberapa bulan di Rojava, berat badan Hanna susut lebih dari 15 kilogram. Makan tak beraturan dengan menu ala kadarnya serta kegiatan fisik yang lumayan berat menguras energi Hanna. Lantaran kondisi fisiknya kurang prima, dia memutuskan rehat sejenak dari perang di Suriah. Hanna sempat pulang kampung ke Vancouver, Kanada, selama beberapa bulan. Begitu kondisi fisiknya pulih, dia memilih kembali lagi ke Rojava.
Prajurit anggota milisi Kurdistan YPG berjaga di luar Kota Kobane, Suriah, pada Juni 2015.
Foto: Ahmet Sik/Getty Images
Kanada yang makmur dan aman tapi dengan ongkos hidup yang sangat mahal tak membuat Hanna betah. “Berperang melawan Negara Setan dan menjadi bagian dari revolusi di Rojava adalah mimpiku yang jadi kenyataan…. Bukan aku bermimpi untuk membunuh orang, tapi di sana aku merasa benar-benar berguna,†kata Hanna kepada Vice.
Mungkin ada ribuan orang asing yang bertempur di Suriah dan Irak. Mereka berperang di bawah bendera ISIS, Tentara Pembebasan Suriah, kelompok loyalis Presiden Suriah Bashar al-Assad, juga milisi Kurdistan, YPG. Tapi hanya ada segelintir perempuan asing yang berperang bersama YPJ, milisi perempuan di bawah payung YPG. Dua di antaranya perempuan Kanada, yakni Hanna dan Shaelynn Jabs.
Shaelynn masih duduk di bangku SMA di Drayton Valley, Negara Bagian Alberta, Kanada, saat dia membaca berita-berita seram soal polah prajurit ISIS di Suriah dan Irak. Walaupun kotanya berjarak ribuan kilometer dari Suriah, Shaelynn merasa tersedot berita-berita itu. “Hanya karena tak terjadi di negara kita, tak lantas berarti perang itu bukan perang kita,†kata Shaelynn kepada CBC beberapa bulan lalu.
Semula dia hanya berniat terbang ke Suriah atau Irak untuk merawat korban perang. Dua tahun terakhir di SMA, lewat Internet, gadis itu tekun mempelajari rupa-rupa cara untuk menangani korban perang. Hanya empat bulan setelah lulus SMA, diantar ibunya, Shaelynn terbang dari Edmonton, Kanada, dan mendarat di Erbil, ibu kota Kurdistan, pada akhir 2015. Dua tahun bertengkar dengan putrinya melawan niat pergi ke Irak tanpa hasil, Brenda Jabs, sang ibu, hanya bisa pasrah. Dia hanya bisa berdoa untuk keselamatan Shaelynn.
Anggota Batalion Ahbab al-Mustafa di Aleppo
Foto: Reuters
Setelah berhari-hari mencari penghubung, akhirnya Shaelynn bisa bergabung dengan YPG. Tapi apa boleh buat, rencana tinggal rencana. Di lapangan, gadis itu tak bisa pilih-pilih peran. Seorang perawat pun harus siap beralih peran menjadi prajurit. “Kalian harus bertempur dulu sebelum bisa merawat korban yang terluka,†kata Shaelynn.
Berkali-kali terjepit dalam baku tembak melawan milisi ISIS, kadang Shaelynn berpikir, maut hanya tinggal berjarak seujung jari. Mati-matian gadis itu mempertahankan selembar nyawanya. “Yang penting tembak saja. Kalian tak akan sempat memikirkannya, karena kalian tak ingin mati, juga tak ingin temanmu mati,†kata Shaelynn.
Dia berencana bakal lama berjuang bersama YPG. “Kami tak pernah berpikir untuk pulang ke rumah,†kata Shaelynn. Tapi suatu kali, kelompoknya disergap ISIS. Shaelynn terluka cukup parah. Gendang telinga kirinya rusak. Gadis itu terpaksa pulang ke Kanada pada April lalu.
Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan
kekinian.