INTERMESO
Melissa Sunjaya menyelipkan kutipan puisi Chairil Anwar pada setiap karya sablonnya. Baru bisa terbaca setelah menggunakan lensa merah.
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Evawani Alissa terpaku sekejap di depan pintu ruang pamer Galeri Seni Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Memandang potret besar seniman visual Melissa Sunjaya berwarna merah yang juga penyelenggara ekshibisi “Bio Fantasy: A Tribute to Chairil Anwar”, yang berlangsung pada 14-28 Agustus 2016. Eva, yang berada di atas kursi roda, lalu menempatkan sebuah lensa merah di depan matanya. "Kok ada gambar ayah saya, Chairil, di balik wajah Melissa," kata dia dengan takjub kepada Melissa, Sabtu, 13 Agustus 2016, malam.
Menelusuri ruang pamer, pengunjung akan menemukan 45 kaligrafi puisi Chairil Anwar yang tersembunyi di balik karya visual abstrak Melissa. Sebagai pembuka, dari sebelah kanan, ada kutipan karya Chairil yang ditulis pada Oktober 1942 berjudul Nisan. Sajak ini dianggap sebagai karya Chairil yang pertama. Pameran itu juga memampangkan puisi-puisi ikonik Chairil, seperti Aku dan Karawang Bekasi. "Pameran ini memang didedikasikan untuk pujangga kenamaan Chairil Anwar," ujar Melissa.
Namun, seperti foto Chairil yang tersembunyi di balik potret Melissa, kaligrafi kutipan puisi Chairil hanya bisa terbaca jelas melalui lensa merah. Lensa ini sebagai medium interaksi pembaca dengan kaligrafi sajak-sajak. "Menjadikan para pembaca bagian dari instalasi dari seni tersebut," kata perempuan kelahiran Jakarta, 1974, itu.
Penggabungan teknik itu tak lepas dari kecintaan Melissa terhadap dunia sains. Setiap sel yang pernah dilihatnya lewat mikroskop dicatatnya, lalu digambar layaknya sebuah sketsa di buku berukuran kecil. Ketika Melissa mulai menggandrungi puisi Chairil Anwar, ia pun mencoba bereksperimen menggabungkan sketsa sel-sel dengan kaligrafi kutipan-kutipan Chairil. Awalnya, Melissa menuliskan kaligrafi di atas kanvas putih, lalu menimpanya dengan sketsa sel-sel. "Ada teknik khusus sehingga hanya bisa dilihat pakai lensa merah."
Pengerjaan proyek Bio Fantasy tak berlangsung singkat. Dimulai dari observasi Melissa tentang kecenderungan kehidupan manusia di era digital. Derasnya perkembangan teknologi membuat interaksi manusia modern mengalami perubahan. Dia prihatin terhadap penggunaan bahasa oleh generasi media sosial saat ini, yang dia nilai sedikit sekali menggunakan empati. "Kita melupakan cara interaksi secara natural saat menyapa sesama dengan senyuman tulus yang sebenarnya."
Sebelumnya, saya kenal Chairil itu melalui mitosnya sebagai pujangga legendaris yang memiliki sifat-sifat rock star.
Padahal, kata alumnus Art Center College of Design, Pasadena, California, Amerika Serikat, itu, hubungan antarmanusia merupakan tujuan keberadaan manusia di bumi. "Ini mendorong saya membuat seni visual yang mencerminkan hubungan antarmanusia. Tapi visual ini abstrak," katanya. Untuk menyederhanakan seni visual itu, dibutuhkan sebuah bahasa. Sebab, bahasa juga merupakan faktor terpenting dalam hubungan antarmanusia.
Melissa kemudian menyelami sejarah bahasa Indonesia. Mulai bahasa Melayu, yang menurutnya penuh dengan sisi dekoratif, sampai muncul sebuah gerakan modernisasi bahasa Indonesia. Ternyata dia menemukan modernisasi bahasa dimulai oleh sosok Chairil Anwar. “Sebelumnya, saya kenal Chairil itu melalui mitosnya sebagai pujangga legendaris yang memiliki sifat-sifat rock star," ujarnya. Ia menilai Chairil terpengaruh gerakan modernisasi dunia, yang dimulai pada dekade 1920 lewat karya-karya yang dibacanya.
Melissa sedang membuat kaligrafi sajak-sajak Chairil Anwar
Foto: dok. pribadi Melissa
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Ketertarikan Melissa terhadap Chairil Anwar pun mulai muncul. Ia berusaha mencari karya-karyanya di sejumlah toko buku sampai ke toko buku bekas. Tak mendapatkan apa yang diinginkan, akhirnya dia berselancar di jejaring dunia maya. Dari situ Melissa menemukan buku terjemahan karya-karya Chairil dalam bahasa Inggris karya Burton Raffel. Judulnya The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar. "Saya dapatnya di Amazon, harganya US$ 125. Terjemahan dalam bahasa Prancis dan Belanda bahkan lebih mahal, 500 euro," ujar Melissa.
Tak puas hanya membeli bukunya, ia pun mencoba menghubungi Burton Raffel, yang masih aktif menulis di blog. Pada awal Maret 2015, Raffel, yang mengidap alzheimer, merespons dan mempersilakan Melissa datang ke kediamannya di Louisiana, Amerika Serikat. Raffel mahir berbahasa Indonesia karena tinggal di Makassar pada 1953 hingga 1955.
Guru besar sastra di University of Louisiana itu melukiskan Chairil sebagai orang biasa yang berani bereksperimen dalam segala hal. Tidak hanya dalam hal kesusastraan, tapi juga cara dalam pergaulan dan interaksi sosialnya. Raffel, seperti yang diungkapkan kepada Melissa, kesulitan menembus apa yang dieksplorasi Chairil Anwar terhadap bahasa Indonesia. "Bagi dia, antitesis bunyi dan arti puisi Chairil hanya bisa terjadi dalam bahasa Indonesia," ujar Melissa.
Video: Tri Aljumanto dan Muhammad Abdurrasyid/20detik.com
Dari penjelasan Raffel pula ia menjadi maklum betapa Chairil Anwar begitu diagungkan di luar negeri. Puisi-puisinya diajarkan dan ditelaah oleh para mahasiswa sastra di University of Louisiana at Lafayette. “Saya sungguh berterima kasih atas pertemuan itu. Tak lama setelah itu, Raffel meninggal pada usia 87 tahun,” kata Melissa.
Kurator Galeri Seni Salihara, Asikin Aksan, menilai apa yang dikerjakan Melissa bisa dikategorikan seni media. Berbasis pada eksplorasi medium dan penelitian. Ungkapan-ungkapan yang dihadirkan beragam. "Kita bisa melihat teks Chairil dan eksplorasi Melissa sendiri dalam medium visual abstrak. Melissa bekerja keras untuk mengekspresikan apa yang dia rasakan dan itu tanda dia terpesona pada Chairil," ujar Asikin.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan
kekinian.