INTERMESO
Sehari-hari dekat dengan Presiden Bung Karno, tapi gajinya cuma setara dengan tukang kebun. Di awal Orde Baru, sempat menyamar sebagai pengusaha roti.
Lim Wasim pada 2001 masih aktif melukis dan sempat membuat pameran.
Foto-foto: repro buku Lim Wasim Pelukis Istana Presiden
Dua tahun sudah Lim Wasim berkantor di lingkungan Istana Kepresidenan sebagai pelukis sejak diangkat secara resmi pada 1961. Sebuah profesi prestisius karena bisa dekat dan berinteraksi dengan Bung Karno. Di sisi lain, dia harus siap hidup dalam suasana protokoler, diikat jadwal kerja, dan level hierarki kekaryawanan yang rendah, yang otomatis bergaji kecil. Setiap bulan dia cuma menerima upah Rp 4.000.
Setelah dua tahun mengabdi, Lim Wasim alias Effendi Budiman memberanikan diri menghadap Menteri-Sekretaris Negara Suprapto Djamin untuk menanyakan kemungkinan adanya peningkatan gaji. Suprapto merespons Lim dengan menyarankan agar datang kembali kepadanya pada akhir bulan setelah membuka halaman pertama baris pertama buku gaji.
Begitu waktunya tiba, Lim pun mendatangi bagian keuangan untuk mengambil gaji. Diam-diam dia mengintip buku gaji halaman pertama. Di sana terbaca gaji Presiden Sukarno cuma Rp 20 ribu. Lim tersipu, lalu menghadap Suprapto keesokan harinya. “Pak, saya enggak jadi minta naik gaji,” ujarnya.
Suprapto tertawa mafhum. “Kita sama-sama miskin dan prihatin, Lim! Saya tahu kau di sini lebih banyak berkorban. Tapi itu perlu, karena itu artinya mengabdi,” ujarnya seperti ditulis Agus Dermawan T. dalam bukunya, Lim Wasim Pelukis Istana Presiden. Kelak gaji ini pulalah yang menyelamatkan hidup Lim.
* * *
Mendampingi Bung Karno sebelum sang presiden dijadikan model lukisan oleh Lee Man-fong.
Sebelum masuk ke lingkungan Istana, pelukis yang pernah berguru kepada Sudjana Kerton dan Mochtar Apin itu bekerja sebagai "seniman harian" di studio di kawasan Cideng Barat, Jakarta, milik Tjio Tek Djien. Djien, yang juga kawan Bung Karno, membayarnya Rp 1.000 per hari untuk memproduksi satu atau dua lukisan.
Kita sama-sama miskin dan prihatin, Lim! Saya tahu kau di sini lebih banyak berkorban. Tapi itu perlu, karena itu artinya mengabdi."
Lim mulai dikenal Bung Karno ketika sahabatnya, Lee Man-fong, yang juga seorang pelukis, diminta menciptakan lukisan dinding di Restoran Ramayana Hotel Indonesia pada 1960.
Lee bertanggung jawab menyelesaikan mural berukuran 4 x 11 meter dalam tempo 6 bulan. Tak mungkin memenuhi tenggat sendirian, ia pun melibatkan Lim, yang baru keluar dari studio Tjio Tek Djien.
Pria kelahiran Bandung, 9 Mei 1929, itu bertugas membuat cat dasar dan kemudian memindahkan gambar rencana yang dibuat Man-fong ke dinding. Setelah cat dasar selesai, barulah Man-fong menyempurnakannya. Pekerjaan ini sangat melelahkan dan membutuhkan kecermatan tinggi. Suasana kerja tegang tak pernah kendur karena Bung Karno acap kali melakukan kunjungan mendadak. Tak jarang pula si Bung meminta dilakukan perombakan kalau menemukan ide baru.
Suatu hari, Lim, yang sedang mengecat dinding bagian atas, tak sempat turun lazimnya dilakukan segenap pekerja ketika Presiden akan datang. Bung Karno terpana melihat orang yang tak dikenalnya itu dan menanyakan kualitas hasil kerjanya. Man-fong segera mempromosikan Lim sebagai alumnus Institut Seni Rupa Pusat, Beijing, Tiongkok, pada 1950 dan pernah mengajar seni lukis selama 3 tahun di Perguruan Seni Xian di Kota Xian. Karena itu, soal kualitas gambar buatannya tak perlu diragukan lagi. Termasuk lukisan Dunia Satwa dan Jagad Tetumbuhan di Restoran Ramayana itu pun akhirnya membuat kagum Bung Karno.
Mendampingi Lee Man-fong merestorasi sebuah lukisan koleksi Presiden Sukarno di Istana Negara
Lukisan Ibunda Presiden Sukarno karya Lim Wasim merupakan salah satu yang dikoleksi Bung Karno dan dibanggakannya
Wakil Presiden Megawati (baju biru), Kartika Sukarno (baju pink), serta Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin (batik cokelat) dalam peresmian pameran lukisan Lim Wasim, 2001.
Ketika memutuskan berhenti sebagai pelukis Istana, Dullah merekomendasikan kepada Bung Karno agar Man-fong ditunjuk untuk menggantikannya. Man-fong menerima dengan sejumlah syarat, antara lain Lim harus ikut sebagai asistennya. Bung Karno hanya tertawa mendengar syarat itu. "Saya sudah tahu isi pikiranmu, Fong," kata Bung Karno.
Dalam perjalanannya, sang asistenlah yang justru bertindak sebagai pelukis utama. Ia diberi tugas merawat lukisan, yang kala itu jumlahnya lebih dari 1.000 buah dan memperbaikinya jika ada yang rusak. Kemudian mengatur ulang susunan lukisan yang akan dipajang di ruang-ruang Istana. Uniknya, Bung Karno kadang memintanya mengubah lukisan yang dianggap kurang pas. Awalnya Lim menolak. Tapi hajat Bung Karno pantang dicegah.
Lim mengaku tidak pernah tahu golongan maupun jabatannya. Ia cuma menyebut gajinya yang Rp 4.000 itu."
Dullah, menurut Tedjabayu, anak sulung pelukis S. Sudjojono, pun pernah menghadapi situasi serupa. Dia pernah menolak mengubah sedikit lukisan Gunung Merapi karya Sudjojono karena tergolong melanggar hak cipta. Namun Bung Karno berkeras. Dullah akhirnya bersiasat hanya mengubahnya dengan memakai cat air. "Agar bisa dengan mudah dihapus, he-he-he…," ujar Tedjabayu mengenang saat ditemui detikX di kediamannya, kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu, 13 Juli.
Posisinya sebagai pelukis Istana membuat Lim mendapat tawaran masuk dalam organisasi kebudayaan dari beberapa partai. Tapi dia menolak karena mengaku tak paham politik. Baginya, berkesenian seharusnya tidak menganut paham politik. Sikap seperti ini juga dipegang Man-fong. Prinsip tersebut terbukti menyelamatkan kariernya setelah Gerakan 30 September 1965.
Man-fong bersama keluarganya memutuskan mengungsi ke Singapura menghindari pembersihan terhadap mereka yang dianggap Sukarnois. Lim tak terkecuali. Suatu hari tentara mengumpulkan seluruh pegawai Istana untuk apel. Mereka disaring terkait golongan, jabatan, dan besaran gaji yang diterimanya. Saat tiba gilirannya, Lim mengaku tidak pernah tahu golongan maupun jabatannya. Ia cuma menyebut gajinya yang Rp 4.000 itu.
Oleh para tentara yang memeriksanya, dia ternyata diminta bergabung dengan kelompok golongan A. Dari situ Lim baru menyadari posisinya, meski dekat dengan Bung Karno, hanya setingkat dengan tukang kebun dan pelayan. Lim tetap menerima gaji Rp 4.000 sampai meninggalkan Istana pada 1968 dengan status dikeluarkan tanpa uang pensiun.
Untuk hidup sehari-hari, ia sempat membuka usaha roti sambil sesekali melukis dan menitipkan kepada teman-temannya yang menggelar pameran. Lim baru benar-benar berani membuka jati dirinya setelah Soeharto lengser pada 1998. Pada 2001, ia menggelar pameran tunggal yang dihadiri Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Perdarahan otak membuatnya koma, lalu meninggal pada 28 Agustus 2004 di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Selama hidupnya, Lim meraih berbagai penghargaan dari luar negeri, seperti dari Inggris, Italia, Amerika Serikat, dan Cina. Namanya juga tercantum dalam buku International Who's Who of Contemporary Achievement edisi ke-3, 1996. Juga pernah dicantumkan dalam Dictionary of International Biography 1975, terbitan Melrose Press, Cambridge, London, Inggris.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan
kekinian.