INTERMESO

Prajurit KNIL
di Pucuk TNI

Sejumlah pemimpin TNI di awal kemerdekaan merupakan mantan prajurit KNIL. Ada juga yang kemudian menjadi konglomerat, seperti Julius Tahija.

Jenderal Nasution, Jenderal Ahmad Yani, dan Letnan Kolonel Soeharto

Ilustrasi: Luthfy Syahban

Jumat, 24 Juni 2016

Sebuah tragedi terjadi di gedung Staf Kwartir, Jalan Oudhospitalweg Nomor 38, Bandung, pada 23 Januari 1950. Pagi itu Letnan Kolonel Adolf Gustaaf Lembong, yang pernah menjadi tentara bayaran Belanda, Koninklijkk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), justru tewas bersimbah darah diberondong tentara pro-Belanda. Ia baru saja tiba di Kota Bandung untuk menunaikan tugas sebagai Kepala Pendidikan Angkatan Darat.

Begitu Lembong memasuki halaman gedung untuk menghadap Komandan Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin, gerombolan yang menyebut diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) menyambutnya dengan berondongan peluru. Ajudan yang menemani Lembong, Letnan Satu Leo Kailola, tersungkur seketika. Terhadap Lembong yang sudah terkapar, gerombolan itu masih mengoyaknya dengan pedang dan bayonet.

Saat Soeharto menjadi presiden, Kapten Dryber, yang pernah menjadi atasan Soeharto di KNIL, menyuratinya dan menanyakan, apakah benar Soeharto menjadi Presiden Indonesia.”

“Pokoknya sadis sekali perlakuan pasukan Westerling terhadap Pak Lembong. Wajah beliau rusak,” ujar petugas Museum Mandala Wangsit Siliwangi beberapa waktu lalu, sambil menunjukkan sejumlah foto korban kekejaman APRA.

Kini, di halaman depan gedung Staf Kwartir, yang menjadi Museum Mandala Wangsit, berdiri patung Lembong. Jalan Oudhospitalweg diganti menjadi Jalan Lembong untuk mengabadikan jasanya.

Petrik Matanasi, yang menulis buku Pribumi Jadi Perwira KNIL, menyebut Lembong sebagai “Gerilyawan Empat Bendera” karena pernah ikut berjuang sebagai tentara KNIL untuk empat negara. Lembong pernah bergerilya melawan Jepang di Filipina bersama Amerika, kemudian membela Indonesia saat melawan Belanda.

Perwira TNI yang pernah menjadi petinggi di Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka adalah mantan perwira PETA di Jawa Tengah, di antaranya Soeharto, Ahmad Yani, dan Gatot Soebroto.
Foto: repro. buku Pribumi jadi Letnan KNIL

Meski demikian, menurut kesaksian Ventje H.N. Sumual, mantan Panglima Indonesia Timur, Lembong masih sering dicurigai sebagai mata-mata Belanda. Hingga suatu hari Ventje mengusulkan kepada para pemimpin Angkatan Darat, yang bermarkas di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, agar mengangkat Lembong sebagai Kepala Pendidikan Angkatan Darat, yang kelak dikembangkan menjadi Pendidikan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat.

“Tapi dia, yang mantan tentara Belanda, justru dibunuh oleh tentara pro-Belanda karena menjadi pemimpin pendidikan militer Indonesia. Sungguh ironis sekali,” ujar Ventje dalam memoar terbitan Bina Insani, 2009.

Selain Adolf Gustaaf Lembong, ada banyak mantan perwira KNIL yang kemudian bergabung dengan TNI. Sebut saja Soeharto, A.H. Nasution, Oerip Soemohardjo, T.B. Simatupang, Didi Kartasasmita, A.E. Kawilarang, dan Julius Tahija. Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. pada 1982, Soeharto mengaku masuk ikatan dinas pendek Kortverband dan berlatih di Gombong, Jawa Tengah.

Oerip Soemohardjo (kanan) semasa menjadi kadet Inlandsche Officieren School
Foto: dok. buku Pribumi Jadi Letnan KNIL

“Saya lulus sebagai yang terbaik. Lalu saya disuruh berpraktek di Batalion XIII di Rampal, dekat Malang, sebagai wakil komandan regu,” ujar Soeharto, yang kemudian memimpin Indonesia selama 32 tahun. Ia bersama Sudirman dan Nasution kemudian dianugerahi pangkat jenderal besar oleh Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung pada 1 Oktober 1997.

Saat Soeharto menjadi presiden—dia mengaku bekas komandan kompi di KNIL—Kapten Dryber pernah menulis surat dan menanyakan, apakah benar Soeharto yang bersamanya dalam kompinya yang menjadi Presiden Indonesia sekarang. “Saya menyuruh menjawabnya dengan menyatakan ‘ya’. Tetapi entah, apa surat balasan dari saya itu sampai kepadanya atau tidak, saya tidak tahu.”

Menurut Petrik, dari sekian orang pribumi di KNIL, cuma Julius Tahija yang meraih penghargaan tertinggi karena keberaniannya memasuki Saumlaki, Kepulauan Maluku, pada masa pendudukan Jepang. Ia salah satu serdadu KNIL yang ikut juga menyingkir ke Australia sebelum Jepang memasuki Indonesia pada 1942. Julius sebagai pimpinan mendapatkan Militaire Willems Orde kelas atas—bintang jasa tertinggi yang tidak pernah didapat serdadu KNIL pribumi lainnya.

Sekolah Militer di Jakarta
Foto: repro buku Pribumi Jadi Letnan KNIL

“Pangkat Julius waktu itu adalah sersan. Dia kembali ke Indonesia sebagai kapten dan pernah menjadi penasihat Jenderal Spoor,” tulis Petrik dalam Pribumi Jadi Perwira KNIL. Julius lalu masuk TNI dengan pangkat letnan kolonel. Tapi kemudian keluar dan memilih berbisnis di bidang perminyakan.

* * *

Banyak alasan mengapa seorang pemuda berpendidikan zaman kolonial masih mau bergabung dalam KNIL. Hal utama adalah penghasilan. Tingginya gaji serdadu, apalagi perwira KNIL, dibandingkan dengan gaji prajurit TNI sekarang, menjadi pendorong utama orang-orang desa menjadi prajurit rendahan KNIL.

Jadi mereka menjadi alat pemerintah kolonial bukan karena alasan ideologi, tapi sekadar untuk memenuhi kebutuhan perut. “Prajurit KNIL biasanya berasal dari daerah miskin,” ujar Petrik.

Patung Letnan Kolonel Adolf Gustaaf Lembong
Foto: Sudrajat/detikX

Petrik Matanasi, penulis buku Pribumi Jadi Perwira KNIL
Foto: dok. pribadi

Sementara itu, calon perwira yang belajar di Breda rupanya tak semua bersedia menjadi perwira di KNIL setelah lulus. Soebiakto, Sultan Hamid II, dan Soerio Sentoso di antaranya. Rupanya Soebiakto ingin disamakan dengan orang-orang Belanda. Karena itu, dia menempuh Gelijkgesteld (menyamakan status hukum agar sama dengan orang-orang Belanda). Dia ingin mengabdi langsung kepada Ratu Belanda dalam tentara Kerajaan Belanda yang lebih Eropasentris, lalu mengubah namanya menjadi Mansveld.

“Soerio Sentoso menolak ketika dicalonkan menjadi Menteri Pertahanan RI pertama. Dia lebih loyal kepada pemerintah kolonial. Beberapa bulan sebelum KNIL bubar, 26 Juni 1950, ia berhubungan dengan Sultan Hamid II dalam rangkaian peristiwa APRA Westerling di Bandung dan Jakarta,” ujar Petrik.




Reporter: Pasti Liberti Mappapa
Penulis/Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.