Foto: Thinkstock

Jumat, 22 Januari 2016

Alkisah, ketika Jembatan Suramadu akan dibangun, terjadi perdebatan alot antara pimpinan proyek dan warga Madura. Si pimpinan proyek berkeras akan membangun jembatan yang menghubungkan Madura dengan Surabaya itu dari beton bertulang. Alasannya, agar bisa tahan hingga 50-an tahun. Rencana ini ditolak mentah-mentah warga. Mereka minta jembatan dibuat dari besi seluruh

“Kalau dibuat dari besi, setelah 50 tahun kan jadi besi tua, bisa dipotong-potong dan dijual kiloan, Pak,” begitu alasan mereka kepada si pimpinan proyek. 

Terlepas dari benar-tidaknya peristiwa yang disampaikan H Musa, MBA, dalam buku Humor Madura terbitan Kelompok Gema Insani pada 2006 itu, yang pasti, citra orang Madura sebagai pedagang besi tua memang melekat begitu kuat.

Bagi orang Madura, segala jenis logam adalah uang. Tak peduli besar atau kecil logam itu, pabrik peleburan besi pasti menerimanya. Namun yang paling menguntungkan adalah menjual besi-besi kapal bekas, yang beratnya ribuan ton. Selain kapal bekas, pabrik-pabrik tua yang sudah tidak berproduksi lagi menjadi salah satu obyek incaran mereka. 

Kayu-kayu bekas packing mesin-mesin berat itu paling banyak dicari orang karena kualitas pasti bagus.”

Sebetulnya bukan cuma besi tua. Banyak orang Madura yang juga menekuni usaha penjualan kayu-kayu bekas dan barang-barang rongsokan lainnya. Di sepanjang pinggir Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta ruas Kembangan, Jakarta Barat, atau sepanjang Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur, misalnya. Di sana banyak orang Madura yang menjual aneka bahan bekas, seperti drum bekas bahan kimia, tong bekas wadah cat, jeriken, dan wadah-wadah plastik lainnya.

“Kayu-kayu bekas packing mesin-mesin berat itu paling banyak dicari orang karena kualitas pasti bagus,” kata Mas Soleh, 58 tahun, pedagang kayu bekas di Klender. Selain kayu bekas packing, ia banyak menjual kayu dari bongkaran rumah. Khusus pada kayu bekas packing biasanya terdapat paku-paku baja berbagai ukuran, yang bisa dijual lagi ke pabrik peleburan. 

Dari puluhan kios besi tua dan kayu bekas di Klender, sebagian pedagang ada yang mengolahnya kembali menjadi meja-kursi atau rak untuk di dapur. Sedangkan besi dan pelat bekas ada yang dibuat rak display untuk di toko-toko. “Kami sudah ada pemesannya. Ini cuma sebagian yang dijual di sini,” ujar Yahya, 37 tahun, pedagang barang bekas di Klender. 

Pekerja merapikan karet bekas. (Agung Pambudhy/detikX)

Pekerja sibuk dengan aktivitasnya. (Agung Pambudhy/detikX)

Karet bekas dipilah untuk dikirimkan ke tempat peleburan. (Agung Pambudhy/detikX)

Seorang anak kecil diajak orang tuanya ke tempat pengolahan barang bekas di Klender, Jakarta Timur. (Agung Pambudhy/detikX)

Menurut Ketua Umum Ikatan Keluarga Madura Muhammad Rawi, awalnya orang Madura banyak bermukim di Tanah Abang, Jakarta Pusat, lalu ke Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, komunitas orang Madura paling banyak bermukim di kawasan Jakarta Timur seiring dengan terus tumbuhnya kawasan industri.

“Tanah Abang itu wilayahnya tukang sate, sedangkan Tanjung Priok biasanya para pedagang pelabuhan. Pasar Ular (di Plumpang, Jakarta Utara) itu cikal-bakalnya Madura. Terus ada Pasar Mambo (Tanjung Priok) tempat barang-barang antik dari Cina,” ujar Rawi.

Orang-orang Madura di Jakarta membentuk banyak organisasi. Ada Ikatan Masyarakat Madura, yang biasanya beranggotakan tukang sate serta tukang besi dan barang rongsokan. Ada juga kelompok Rampak Naong untuk kalangan pejabat dan Potre Koneng untuk pedagang ikan.

Ketua Umum Ikatan Keluarga Madura Muhammad Rawi. (Pasti Liberti Mappapa/detikX)

Rawi sendiri mengaku hijrah ke Jakarta saat masih belia pada awal 1970-an. Dengan hanya berbekal ijazah sekolah dasar, ia bekerja serabutan. Menjadi pengepul limbah di belakang kantor Astra, Bintang Tujuh, dan Krama Yudha pernah dilakoninya, selain menjadi pedagang sate. Tapi kehidupannya mulai mekar ketika ia menjadi tukang parkir di kampus Jayabaya pada 1978-1984. “Di antara mahasiswa itu, ada saja yang bolos. Buku-bukunya dititipkan ke saya dan saya baca-baca saat senggang,” Rawi mengenang.

Lelaki kelahiran Sumuragung, Bangkalan, itu kemudian menjalin hubungan simbiosis dengan para pedagang keliling agar mangkal di pinggiran kampus. Tapi Rawi melarang para penjual bakso, nasi goreng, gado-gado, dan aneka jajanan lainnya menyiapkan air minum. “Dari Senin sampai Jumat saya bisa jual 700 kerat minuman botol,” ujarnya tersenyum bangga

Keuntungan dari monopoli penjualan minuman membuat pundi-pundi Rawi menumpuk cepat. Pembawaannya yang supel membuat dia tetap disenangi para pedagang hingga kemudian ditunjuk sebagai ketua pedagang kaki lima se-Jakarta Pusat. Seiring dengan itu, jaringan pertemanannya kian luas. Rawi pun mulai merambah bisnis jual-beli besi bekas.

Menurut Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama Masduki Baidlowi, orang Madura mulai banyak yang hijrah ke Jakarta pada 1960-an. Di Ibu Kota, mereka bekerja serabutan demi mempertahankan hidup. Maklum, kondisi alam di kampung halaman, khususnya daerah Sampang dan Bangkalan, sangat kering dan bekal pendidikan mereka kurang.

Orang Madura, kata dia, punya prinsip akar kar nyolpek. Artinya, ayam tiap bangun tidur langsung menggunakan cakarnya untuk mengurai tanah. Orang Madura pun harus demikian bila mau bertahan hidup. “Jadilah mereka kemudian berbisnis limbah atau barang bekas, besi tua, yang oleh orang lain tak dianggap berarti,” kata lelaki kelahiran Bangkalan pada 1958 itu. 

Masduki menyebut kehadiran orang-orang Madura di bisnis sektor ini sebetulnya sangat berarti bagi kalangan industri. Dalam ekosistem industri, mereka berperan sebagai pengurai dan pemasok bahan mentah sekaligus. “Ini berjasa menjaga kebersihan lingkungan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan dan memutar roda ekonomi masyarakat,” katanya. 


Tamatan SMA Bisa Bikin RS

Cuma berbekal ijazah SMA, Muchaji menjelma menjadi juragan besi tua. Ia juga mendirikan rumah sakit untuk anaknya yang menjadi dokter.

Foto: Pasti Liberti Mappapa/detikX

Jumat, 22 Januari 2016

Rongsokan kapal dan kapal karam hingga pabrik-pabrik tua yang tak beroperasi lagi menjadi incaran utama Haji Muchaji, 65 tahun, sejak 1976. Karena pergaulan dengan teman-temannya, ia memilih menekuni usaha di bidang tersebut ketimbang berbisnis barang antik seperti orang tuanya.

"Ah, saya enggak perlu mencuat (terkenal)," kata lelaki asal Bangkalan, Madura, itu sambil tertawa saat ditemui detikX, Jumat, 13 November 2015. Meski sudah hampir 40 tahun menetap di Ibu Kota, logat Madura saat ia berbicara masih kental. Seiring dengan kian berkembangnya usaha, ia tak perlu lagi sering-sering berada di antara tumpukan rongsokan. Sehari-hari Muchaji mengontrol bisnisnya dari kantornya yang nyaman di Jalan Pegangsaan Dua, Jakarta Utara.

Dari luar, kantor berlantai dua itu memang tak terlalu mentereng. Tapi ayah empat anak ini punya cita rasa seni yang lumayan. Semua perangkat mebel di ruang kerjanya buatan Jepara dengan ukiran yang indah. Begitupun dengan partisi di ruang kerjanya dan ruangan lainnya di lantai satu.

Saya pernah merugi ratusan juta rupiah karena salah perkiraan berat kapal yang ada di laut."

Muchaji merintis bisnisnya dengan menjadi pemasok besi tua untuk kawan-kawannya. Karena prospek usahanya semakin menjanjikan, ia mendirikan CV Victory pada 1980. Perusahaan ini memasok besi-besi langsung ke pabrik-pabrik peleburan di Jakarta, Surabaya, dan Medan.  Bisnis besi tua, kata Muchaji, tak memerlukan pendidikan tinggi. Ia mengaku hanya lulusan sekolah menengah atas di Surabaya. "Saya pakai feelingdan pengalaman saja," ujarnya.

Selain itu, ia membangun jejaring pertemanan dan rajin mencari informasi di lapangan melalui berbagai saluran guna mendapatkan bahan baku. Sering kali ia mengikuti tender pelelangan kapal-kapal atau pabrik tua.

Karena mengandalkan insting, ujar Muchaji, bisnis yang digelutinya berisiko sangat tinggi. Ia beberapa kali rugi karena salah menaksir berat sebuah kapal tua atau berat besi sebuah pabrik tua yang akan dibongkar. "Saya pernah merugi ratusan juta rupiah karena salah perkiraan berat kapal yang ada di laut," katanya. Setiap bulan ia mampu memasok sekitar 2.000 ton besi tua ke sejumlah pabrik peleburan di beberapa kota.

Selain Victory, ia kemudian mendirikan PT Satyadi Sindutama, yang berkaitan dengan kegiatan menyelam dan mengapungkan kapal tua yang lama karam. Sebab, aturan pemerintah mewajibkan pelaku bisnis di bidang ini memiliki izin menyelam. Selain itu, penyelamnya harus yang berpengalaman dan diasuransikan. "Kadang-kadang perusahaan lain pun ikut menggunakan jasa penyelaman ini," ujarnya.

RS. Mulya Sari
Foto : Pasti Liberty/detikX

Tak semua kapal bekas atau rusak yang ia beli dijadikan besi tua. Bila kondisinya masih memungkinkan direparasi, kapal akan ia pertahankan. Selain untuk dijual lagi, sebagian ada yang dioperasikan sendiri lewat bendera PT Bestindo Citra Samudra, yang didirikan pada 2000.

Muchaji juga merambah bisnis depot kontainer dengan membuat PT Bestindo Central Container. Sedangkan PT Bestindo Putra Perkasa merupakan badan usaha baru yang sebelumnya bernama CV Victory. "Saya mempekerjakan hampir 800 karyawan," katanya.

Namun tak satu pun dari empat anaknya yang tertarik menekuni bisnis besi tua seperti dirinya. Anak pertamanya memilih menjadi dokter. Muchaji pun mendirikan rumah sakit bagi anaknya di Jalan Plumpang Semper, Koja, Jakarta Utara, pada 7 Agustus 2010. Rumah sakit yang berdiri di atas lahan 3.500 meter persegi bekas rumahnya itu diberi nama Mulyasari. Nama ini diambil dari nama sang anak, Ira Mulyasari. Rumah sakit tiga lantai itu cukup mentereng. "Awalnya hanya mau buat klinik. Tapi, karena desakan banyak orang, ya sudah, sekalian rumah sakit saja," ujar Muchaji.

Selain karena punya anak dokter, ia mendirikan rumah sakit terutama karena kondisi masyarakat di sekitar rumahnya banyak yang kurang mampu. Ia melihat tetangga kanan-kirinya banyak yang tidak mendapatkan fasilitas kesehatan memadai. Bila mereka hendak berobat, rumah sakit terdekat ada di kawasan elite Kelapa Gading dengan biaya perawatan selangit. "Warga sekitar saya kan kurang mampu, makanya saya taruh rumah sakit di situ. Tidak mungkin mereka mau ke Kelapa Gading. Berapa biayanya," katanya. "Tapi di sini kamarnya enggak ada beda, harganya murah."

Mendirikan rumah sakit ternyata berimbas pada keuangan perusahaan. Tiga tahun pertama ia harus memberikan subsidi untuk biaya operasional dan gaji para dokter serta pegawai. "Setiap bulan harus di-support ratusan juta rupiah. Beruntung, tahun keempat sudah bisa mandiri," katanya.


Istana di balik Limbah

M. Rifai menekuni bisnis limbah sejak mahasiswa. Mitranya mulai Sariayu hingga Astra. Ia membangun rumah bak istana untuk keluarganya.

Foto: Agung Pambudhy/detikX

Jumat, 22 Januari 2016

Punya aset miliaran rupiah dan tinggal di rumah nan megah tak membuat H Muhamad Rifai jumawa. Ia tak jarang bercengkerama dan ngopi bersama para pegawai di halaman rumahnya. Penampilannya pun jauh dari kesan glamor. Sehari-hari ia lebih nyaman cuma mengenakan kaus oblong putih, sarung, dan sandal jepit.

Di kawasan Klender, Jakarta Timur, lelaki berdarah Madura itu dikenal sebagai juragan besi tua dan aneka barang bekas. Rifai juga mengoperasikan tiga kapal tongkang untuk mengangkut pasir hasil tambang miliknya di Lampung.

Lelaki kelahiran 5 Oktober 1972 itu mulai merintis usaha besi tua sejak masih kuliah di Universitas Jayabaya, Jakarta, pada awal 1990. Banyak teman dan tetangga sekitarnya yang memandang sebelah mata melihat apa yang dilakoninya. Ia pun pernah dianggap gembel karena banyak mengurusi limbah. Tapi Rifai tak peduli. “Buat saya, yang penting halal dan bisa untuk biaya kuliah, apa saja dijalani,” katanya saat ditemui detikX di rumahnya, Sabtu, 14 November 2015. Ia mengaku baru menamatkan kuliahnya di Jurusan Administrasi Negara Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, pada pertengahan 1990-an.

Kalau di gudang rumah saya ini, semua limbah kering dan aman."

Dengan modal awal Rp 500 ribu, ia mengajukan proposal untuk menangani limbah pabrik-pabrik di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Tapi yang merespons cuma Sariayu Martha Tilaar serta produsen sabun dan detergen merek Total. Setiap pekan, ia berhasil mengumpulkan 1-2 ton aneka rupa limbah. Mulai drum, kaleng, tripleks dan kayu bekas peti, hingga kardus dan plastik pembungkus. “Alhamdulillah, mereka masih mempercayai saya sampai sekarang,” kata Rifai.

Mulai akhir 1998, ia masuk kawasan industri di Cibitung, Bekasi. Beberapa pabrik besar, seperti Astra dan Sumitomo, menjadi mitranya. Untuk menangani volume limbah yang sangat besar, Rifai menjalin kerja sama dengan karang taruna dan koperasi. Ia juga membentuk badan usaha milik desa. “Sekarang sebetulnya bukan cuma orang Madura yang kayak saya. (Orang) Betawi, Sunda, Banten, Tionghoa juga ikut berburu limbah,” kata Rifai sambil terkekeh.

Mobil Rifai di garasi (Agung Pambudhy/detikX)



Untuk menjalankan usaha itu, sederet perizinan harus dipenuhi. Ia antara lain menyebut izin transporter dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Izin ini terkait jenis limbah yang akan diangkut apakah tergolong B3 (bahan berbahaya dan beracun) atau non-B3. Juga ada izin penampungan sementara dari Kementerian Lingkungan Hidup. “Kalau di gudang rumah saya ini, semua limbah kering dan aman. Abang enggak mencium bau zat kimia, kan?” ujarnya.

Hanya, dalam setahun terakhir, dunia bisnis besi bekas tengah lesu. Sebab, harga jual ke pabrik peleburan merosot dari semula Rp 5.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 3.000. Padahal ia harus membeli besi bekas dari pabrik rata-rata Rp 3.200-4.200 per kilogram. Sedangkan untuk karet, ia mengaku biasa membelinya seharga Rp 1,2 juta per truk.

Limbah besi, karet, kayu, dan kardus yang telah dipilah para pegawainya, bila masih bernilai ekonomis, selanjutnya dikirim ke perusahaan peleburan di Cakung dan Tangerang. Sedangkan limbah yang sudah tak bernilai ekonomis dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah di Burangkeng, Bekasi. “Total biayanya Rp 600 ribu per pikap,” ujarnya.

Namun, jika di antara limbah itu terdeteksi mengandung B3, ia harus kembali merogoh kocek 1.500 per kilogram untuk CV Lut. Perusahaan yang berlokasi di Tegal, Jawa Tengah, itu akan mengolahnya menjadi batako dan pot-pot bunga.

Rumah seluas 2.500 meter persegi di atas lahan 7.000 meter persegi itu dikelilingi tumpukan besi tua, kayu, karet, dan ratusan karung limbah. Juga truk-truk dan beberapa mobil pikap yang lalu-lalang menaikturunkan aneka limbah.

M. Rifai  (Reno HW/detikX)

Rumah bak istana itu bukan satu-satunya milik Rifai. Di sisi jalan I Gusti Ngurah Rai, tak jauh dari rumahnya, ia masih punya satu rumah yang dijadikan showroom mobil. Juga ada satu rumah besar di daerah Buaran, Jakarta Timur.

Tapi lelaki bertubuh tambun itu terlihat tidak nyaman saat diajak bicara soal aset-aset pribadinya. Apalagi ketika ia diminta berpose di dekat Jeep Rubicon dan Toyota Yaris yang terparkir di belakang rumah. “Aduh… janganlah, itu riya. Malu saya, kreditnya juga belum lunas,” ujarnya merendah.


DULU OB, KINI JURAGAN

Hasan menjadi juragan bagi 700 pedagang kopi keliling atau kopling. Dulu ia seorang office boy dan terlunta-lunta di Jakarta.


Foto: Hasan Alhabshy/detikX

Jumat, 22 Januari 2016

Baihaki, 19 tahun, cekatan merapikan puluhan renteng berbagai merek kopi siap saji yang dijejalkan pada setang sepedanya. Bagian belakang sepeda dipenuhi termos air panas, termos es, dan ratusan gelas plastik. Tampilan sepedanya jadi seperti kafe berjalan.

Bersama-sama sejumlah kawan yang tinggal kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, ia bersiap mengarungi jalan-jalan Jakarta. Bersaing dengan kendaraan-kendaraan bermotor menembus kemacetan petang kala para karyawan pulang kantor. Baihaki biasa mangkal di seputar Senayan dan Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang dibuka pada tengah malam untuk pedagang seperti dirinya.

Ia hijrah ke Jakarta pada 2010 dari wilayah Gunung Kesan di Kabupaten Sampang, Madura. Kemiskinan membuat Baihaki lebih tertarik menuruti ajakan kawannya mencari nafkah di Ibu Kota ketimbang menamatkan pendidikan di sebuah sekolah menengah pertama. Ia pun melupakan keinginannya menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi.

Haji Hasan (Pasti Liberti Mappapa/detikX)

“Anak-anak muda dari kampung kami maunya jadi polisi,” ujar Baihaki. Kawannya menimpali sambil menjentikkan jari dan tertawa lepas, “Tapi enggak ada ini (uang).”

Setiap hari Baihaki berdagang kopi seduh di kawasan Senayan sampai pukul 4 pagi. Pendapatannya tergolong lumayan. Ia mengaku bisa mengantongi rata-rata Rp 300 ribu. Namun musim hujan seperti saat ini menjadi momok baginya. “Kalau hujan dapat Rp 100 ribu saja sudah untung,” ujarnya. Meski demikian, ia tak melupakan kewajibannya sebagai anak dengan menyisihkan pendapatannya untuk dikirimkan kepada orang tuanya di Sampang.

Kawasan Jalan Prapatan Baru, Kwitang, menjadi salah satu markas besar bagi pedagang kopi keliling seperti Baihaki. Ratusan pedagang kopi keliling atau yang sering disebut “kopling” menetap berkelompok di pinggiran Kali Ciliwung belakang Hotel Aryaduta. Mayoritas dari mereka berasal dari Pulau Madura. Beberapa pengusaha menyediakan kamar untuk mereka. Pengusaha-pengusaha ini juga merupakan pemilik sepeda-sepeda yang dipakai pedagang kopi keliling itu. Salah satunya bernama Haji Hasan, 43 tahun.

Jualan apa yang bisa diminati dan dinikmati orang-orang di kawasan perkantoran. Roti kurang laku, akhirnya saya pikir kopi."

Hasan masuk bisnis kopi keliling pada 1999 setelah perusahaan tempatnya bekerja sebagai office boy (OB) tutup akibat krisis moneter. Ia kemudian menjadi pedagang kaki lima menjajakan minuman botol di kawasan Monas. Pedagang roti keliling yang menggunakan sepeda menjadi inspirasinya untuk berjualan kopi dengan sepeda.

“Saya pikir-pikir jualan apa yang bisa diminati dan dinikmati orang-orang di kawasan perkantoran. Roti kurang laku, akhirnya saya pikir kopi salah satunya,” katanya.

Ia berkeliling di kawasan perkantoran di bilangan Kuningan, Sudirman, dan Thamrin. Dalam setahun, usahanya berkembang pesat. Hasan kemudian mengajak saudara-saudaranya bergabung. Pada 2003, ia mulai mengajak pemuda-pemuda tetangganya di Sampang. “Kami cari lahan dan teman-teman yang mau kerja, dengan syarat bawa identitas diri,” ujarnya. “Saya membelikan sepeda, mereka bisa cicil.”

Baihaki (berkaus hijau) bercengkerama dengan sesama pedagang kopi keliling sebelum berangkat berjualan. (Hasan Alhabshy/detikX)

Penjual kopi keliling melayani pembeli di Taman Suropati, Jakarta Pusat. (Hasan Alhabshy/detikX)

Baihaki merapikan dagangan. (Hasan Alhabshy/detikX)

Penjaja kopi keliling melintas di ruas Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. (Hasan Alhabshy/detikX)

Penjual kopi keliling menuju tempat mangkal(Hasan Alhabshy/detikX)


Usaha Hasan terus berkembang. Dia tak lagi ikut berkeliling. Ia naik pangkat menjadi juragan, yang membuka toko dan memasok aneka bahan kebutuhan bagi para pedagang kopi keliling binaannya. Sebagai juragan yang meniti dari bawah, ia tak mau mengambil keuntungan terlalu besar. “Saya jual sama dengan harga di pasar. Untungnya ya dari harga distributor,” kata Hasan. Saat ini, sekitar 700 pedagang kopi keliling menjadi binaannya. Mereka tersebar di Jakarta dan Tangerang.

Hasan datang ke Jakarta 25 tahun lalu. Alasan mencari penghidupan lebih baik menjadi pemicunya. Namun ia justru terlunta-lunta di Ibu Kota. Maklum, bekal pendidikan yang dimiliki pas-pasan, modal rupiah pun nyaris nol. “Kala itu saya hanya bawa badan,” ujarnya mengenang.

Untuk bertahan hidup, Hasan bekerja serabutan. Menjadi kuli bangunan pernah dilakoninya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Tiga tahun kemudian, ia beralih menjadi pedagang koran di wilayah Sarinah, Jakarta Pusat. Ia berprinsip, sejauh bukan pekerjaan kriminal, apa pun siap dijalaninya. “Di Jakarta, kami tidak boleh nganggur. Selama (kerjaan) halal, ya dilakoni,” ujarnya.


Tukang Sate Naik Haji

Punya rumah mentereng, naik haji, dan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi menjadi ukuran sukses tukang sate asal Madura.

Foto: Rachman Haryanto/detikX

Jumat, 22 Januari 2016

Meski terlihat masih tangkas memanggang tumpukan sate daging kambing dan ayam di atas tungku, pada usia 63 tahun Madraji tahu diri. Ia mengibaskan kipas dengan irama, membuat arang yang semula hitam berubah menjadi merah membara. Asap yang mengepul menebar aroma daging panggang sungguh mengundang selera.

“Saya bantu bakar-bakar, tapi tidak seperti dulu. Jari-jari ini sering cekot-cekot,” kata lelaki asal Sampang, Madura, itu membuka percakapan diiringi tawa lepas. DetikX menemui Madraji di warungnya, di ujung Jalan Kwini, dekat Plaza Atrium, Senen, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Januari 2016. Lelaki kelahiran Cirebon pada 1953 itu membuka warung sate di sana sejak 1992.

Sebelumnya, ia berkeliling mendorong gerobak dari kontrakannya di Kramat Sentiong sampai Pasar Baru, yang berjarak sekitar 6 kilometer. “Mangkal di sini sejak 1992. Waktu itu Atrium baru dibangun, jadi daerah ini ramai,” tuturnya.

H Madraji di warungnya. (Rachman Haryanto/detikX)

Warung Madraji, yang sebelumnya bernama Warung Anda, tampak sederhana. Di sana cuma ada tiga meja untuk menampung sekitar 15 pembeli. Bila jam makan siang tiba, ruangan menjadi sesak. Maklum, Madraji juga harus berbagi ruang dengan penjual bakso di sebelahnya. Di balik kesederhanaan itu, sate buatan Madradji punya pelanggan istimewa. Bukan cuma para pekerja kantoran dan beberapa instansi pemerintah di kawasan Senen, salah satu restoran di Hotel Borobudur pun menjadi pelanggan tetapnya. “Sekali pesan bisa sampai 500 tusuk, bahkan bisa bertambah kalau ada acara khusus,” ujar pria yang menunaikan haji pada 2006 itu.

Sebelum berbincang, detikX sengaja datang sebagai pembeli biasa. Selain ukuran dagingnya yang tergolong besar, sate buatan Madraji terasa segar, empuk, dan tak bau amis. Bumbu kacangnya pun terasa segar. Tak ada rasa kacang yang gosong. Lontongnya pun kenyal, membuat perut terasa cepat penuh terisi.

Sebetulnya menjadi tukang sate bukanlah cita-cita Madraji. Menjadi hafiz atau penghafal Al-Quran adalah obsesinya. Tak aneh bila, sebelum lulus sekolah dasar, ia memilih mondok di pesantren milik KH Usman Ali di Surabaya. Tiga tahun di sana, ia hijrah ke Pondok Pesantren Buntet di Cirebon. “Ternyata saya enggak hafal-hafal juga,” ujarnya tertawa.

Sekali pesan bisa sampai 500 tusuk, bahkan bisa bertambah kalau ada acara khusus."

Lepas usia remaja, Madraji merantau ke Kuningan, Jawa Barat. Berbekal keahlian meracik bumbu sate dari orang tuanya, ia bertekad menjadi tukang sate keliling. Karena usahanya itu sepi, Sumedang menjadi tujuan berikutnya. Di kota tahu itu, ia menemukan hoki. Usahanya terbilang sukses, hingga ia bisa membeli rumah. Di kota ini pula Madraji memutuskan menikahi Maitun. Tapi perempuan yang terbilang masih kerabatnya itu tak betah dan meminta hijrah ke Jakarta pada 1978.

Ia manut. Rumahnya dijual untuk modal berbisnis besi tua, yang lazim ditekuni orang-orang Madura di pinggiran Ibu Kota. Tapi usaha ini bukan bidang Madradi. Ia bangkrut, lalu banting setir menjadi kuli bangunan. Ketika putra pertamanya lahir pada awal 1980, akhirnya ia kembali ke pekerjaan yang menjadi keahliannya: tukang sate!

H Abbas di depan gerobak satenya. (Rahman Haryanto/detikX)

Kini, setiap hari Madraji menghabiskan dua ekor kambing, 30 ekor ayam, dan 5 ekor bebek. Total sekitar 2.000 tusuk sate dibuatnya. Selain di seberang Mal Atrium Senen, tiga tahun lalu ia membuka warung sate di kompleks Apartemen Sunter Park View di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara. Soal keuntungan yang didapat, Madraji cuma tertawa saat ditanya. “Syukur tidak ngontrak lagi, anak-anak pun bisa dapat rumah satu-satu dan ada yang jadi sarjana,” ujarnya.

Secara terpisah, menurut H Abbas, 49 tahun, penjual sate asal Desa Galis, Bangkalan, hampir 90 persen warga di desanya menjadi penjual sate di berbagai daerah. Ia pribadi menekuni pekerjaan itu sejak 1989. Sebelum membuka dua warung di depan Wisma Tani dan Kebun Binatang Ragunan, ia menjajakan sate berkeliling kampung dengan gerobak. Keahlian membakar sate dan meracik bumbu biasanya diwariskan dalam keluarga. Dalam sehari sekarang ia bisa menjual hingga 1.500 tusuk sate. “Saya menggunakan arang batok kelapa. Kalau arang kayu cepat jadi abu,” ujarnya.

Sukses itu kan relatif. Saya amat mensyukuri apa yang sudah ada sekarang."

Para pedagang sate di Jakarta, kata Abbas, selain berkelompok berdasarkan asal desanya, membentuk komunitas berdasarkan pesantren tempat mereka menimba ilmu. Ia mencontohkan dirinya yang menjadi ketua perkumpulan tukang sate alumni pesantren Sumurnangka, Bangkalan. “Perkumpulan ini berdiri sejak 27 tahun lalu,” ujarnya saat ditemui detikX di rumahnya di Jatipadang Utara, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Januari.

Memiliki rumah mentereng dan menunaikan haji beberapa tahun lalu, ditambah keempat anaknya yang bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, menjadi sukses tersendiri bagi Abbas. “Sukses itu kan relatif. Saya amat mensyukuri apa yang sudah ada sekarang,” ujar lelaki yang cuma tamatan sekolah dasar itu.


Reporter: Kustiah
Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.