Ilustrator: Edi Wahyono
Selasa, 22 Januari 2016
Banyak dari kita barangkali cuma mengenal Sutomo alias Bung Tomo sebagai ikon Pertempuran Surabaya pada November 1945. Lewat pidato-pidatonya yang berapi-api, dengan slogan “merdeka atau mati” berikut pekik “Allahu akbar” yang menggetarkan arek-arek Suroboyo dalam menghadapi tentara Sekutu.
Sebuah rumah di Jalan Mawar 10, Surabaya, menjadi salah satu saksi bisu aktivitas Bung Tomo membakar semangat massa Surabaya lewat corong radio. Ya, rumah itu disulap menjadi stasiun radio sekaligus tempat persembunyian Bung Tomo. Orang menyebutnya radio Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia.
Selain Bung Tomo, ada Muriel Stuart Walker atau populer dengan nama K'tut Tantri yang bersiaran di sana. Perempuan asal Amerika Serikat yang kemudian menjadi penulis pidato Presiden Sukarno itu berjasa menyiarkan perjuangan Indonesia ke luar negeri menggunakan bahasa Inggris. Radio tersebut akhirnya diketahui oleh musuh, yang memaksa Bung Tomo memindahkannya ke Jalan Biliton.
Bu Rin enggak sering ke sini. Yang pasti, rumah ini dulu milik orang tua Bu Rin."
Pemerintah Kota Surabaya menjadikan rumah tersebut sebagai bangunan cagar budaya lewat SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/004/402 1 04/1998. Sebuah pelat seng berwarna keemasan tertempel pada depan tembok teras. Halaman depan rumah itu cukup luas dengan pohon peneduh, seperti jati, jambu air, dan berbagai tanaman perdu, yang terawat.
Menurut Martin, penjaga rumah, rumah tersebut sekarang dimiliki oleh Narindrani, salah satu anak Amin, kelahiran 1935. Tapi Narindrani lebih sering berada di Malang, Jawa Timur. "Bu Rin enggak sering ke sini. Yang pasti, rumah ini dulu milik orang tua Bu Rin," kata Martin. Rumah yang kini difungsikan sebagai tempat kos itu, ujarnya, biasa dikunjungi para pencinta sejarah dan wartawan begitu memasuki bulan November.
Rumah Bung Tomo (Imam Wahyudiyanta/detikX)
Prasasti bangunan sebagai cagar budaya (Imam Wahyudiyanta/detikX)
Bung Tomo mengawali kariernya sebagai wartawan pada usia 17 tahun. Media tempatnya bekerja antara lain harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Bung Tomo pernah menjabat wakil pemimpin redaksi kantor berita pendudukan Jepang, Domei, dan pemimpin redaksi kantor berita Antara di Surabaya
Dengan jam terbangnya itu, tidak aneh bila lelaki kelahiran Surabaya, 3 Oktober 1920, tersebut sangat terusik ketika pada 1956 pemerintah Sukarno lewat sayap militer menerbitkan aturan yang dianggapnya akan mengebiri kebebasan pers. Persoalan bermula ketika harian Pedoman terbitan 8 September 1956 memuat berita utama di halaman depan berjudul “Korupsi Lebih Satu Djuta”. Kasus itu melibatkan Direktur Jenderal Percetakan Negara Piet De Queljoe dan wakilnya, Lie Hok Thay. Mereka diduga kuat menyelewengkan dana pencetakan kertas kartu pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Rencana pemeriksaan atas Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani juga disinggung.
Laporan itu berkaitan dengan peristiwa 13 Agustus 1956, yakni ketika Polisi Militer menangkap Syamsudin Sutan Makmur, Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, dan Piet De Queljoe. Lie Hok Thay, yang lebih dulu ditahan, mengaku memberikan uang kepada Menteri Ruslan. Tapi Ruslan urung ditangkap karena keburu diselamatkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Bung Tomo dan para wartawan di Surabaya pada 1950. (foto: dok. Perpustakaan Nasional)
Ali juga diduga main mata dengan Mayor Jenderal A.H. Nasution, yang
kemudian menerbitkan aturan yang melarang pers untuk mencetak,
menerbitkan, dan menyiarkan hal-hal yang mengandung kecaman,
persangkaan, atau penghinaan kepada pemerintah.
Bung Tomo menilai peraturan tersebut mengingatkan masyarakat pada pembatasan kemerdekaan pers di zaman kolonial dan bertentangan dengan hak demokrasi yang dijunjung tinggi. Mengerahkan kekuatan militer dalam permasalahan nonmiliter, menurut Bung Tomo, menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin tidak dapat mengatasi keadaan.
Prinsip Bung Tomo, kesewenang-wenangan tidak bisa didiamkan. Dengan cara apa pun, sesuatu yang tidak benar harus dilawan."
Disokong Siauw Giok Tjhan, anggota DPR dari Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia, Bung Tomo, yang berasal dari Partai Rakyat
Indonesia, mengajukan hak interpelasi terhadap pemerintah terkait aturan
tersebut.
"Buat saya, biar pers itu memaki-maki asalkan saja ia tidak menyebut kata-kata: ‘Ini pemerintah bobrok, marilah kita berontak.’ Kalau mereka berkata demikian, inilah yang dapat kita katakan melanggar kemerdekaan pers,” ujar Bung Tomo dengan lantang dalam persidangan DPR yang dipimpin Zainul Arifin Pohan dari Partai Nahdlatul Ulama pada 31 Oktober 1956.
Pemerintah, Bung Tomo melanjutkan, seharusnya melawan pers bukan dengan peraturan yang bersifat karet. Tapi dengan menunjukkan bukti bahwa yang dituduhkan koran-koran itu tidak benar. “Di sinilah letak kemaslahatan dalam demokrasi," ujar Bung Tomo seperti tertuang dalam buku Bung Tomo, Vokalis DPR 1956-1959. Buku yang disunting Siti Zainab Luxfiati tersebut berisi risalah sidang DPR kala itu.
Selain menggugat kebebasan pers, Bung Tomo pernah menggugat Presiden Sukarno karena membubarkan DPR. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960. Tapi hakim Rochjani Su’ud menolak gugatan Bung Tomo. Menurut hakim, pembubaran DPR oleh Presiden Sukarno merupakan soal politik.
“Menurut Bapak (Bung Tomo), yang dilakukan Bung Karno itu mencederai demokrasi dan kedaulatan rakyat, mengapa hasil pemilu yang sah dibubarkan,” kata Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo.
“Untuk Tanah Air tiada pengorbanan yang terlalu besar.”
Foto: dok. Perpustakaan Nasional
Reporter: Kustiah | Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Selasa, 22 Januari 2016Bung Tomo, seorang pahlawan, ternyata pernah dipenjarakan oleh Soeharto. Orator yang membakar semangat arek-arek dalam Pertempuran Surabaya yang bersejarah itu dibui karena memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.
Ceritanya, pada 1978 itu, Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto, sedang sibuk merancang pembangunan TMII. Bung Tomo mendapat informasi bahwa Bu Tien meminta para pengusaha memberikan 10 persen keuntungan usahanya untuk pembangunan TMII. Lalu Bung Tomo menyampaikan informasi itu dan mengkritik pembangunan TMII itu dalam setiap pidatonya.
Pada 11 April 1978, Bung Tomo pun ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Ia dikerangkeng tanpa proses pengadilan di Penjara Nirbaya, Pondok Gede. Turut mendekam dalam jeruji di sana, pakar hukum tata negara Ismail Sunny yang juga dikenal kritis terhadap Orde Baru.
“Bu Tien dan Pak Soeharto sepertinya tersinggung dan menangkap Bung Tomo,” kata Sulistina, istri Bung Tomo, saat ditemui detikX.
Kritik Bung Tomo terhadap Soeharto sejatinya bukan cuma soal TMII. Sebelumnya, ia mengritik keras peran asisten pribadi (Ali Moertopo dan Sudjono Humardani) dan keluarga Presiden Soeharto. Juga praktek cukongisme sebagai realisasi nepotisme dan klik, melalui peran ekonomi yang berlebihan dari pengusaha nonpribumi.
Menjelang Hari Pahlawan 1972, majalah Panji Masyarakat Nomor 855 Tahun XIII memuat wawancara dengan Bung Tomo dengan judul “Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati”. Artikel ini berisi kritik Bung Tomo kepada Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog, yang seolah-olah menganakemaskan etnis Tionghoa.
Gara-gara TMII, Bung Tomo harus mendekam di dalam sel tahanan selama satu tahun, pada 1978-1979. Sulistina tentu saja tak terima sang suami diperlakukan secara tidak adil oleh rezim Soeharto. Perempuan yang pada saat perang kemerdekaan itu ikut aktif dalam Palang Merah Indonesia itu marah dan mengirim surat protes kepada Soeharto. Dalam surat yang ditulis pada 6 Juli 1978 itu, Sulistina mengatakan, orang yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri.
Beliau langsung memeluk dan menggendong saya di depan umum di kantor kejaksaan.”
Bung Tomo memang telah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk Indonesia. Jasanya sedemikian besar. Pidato Bung Tomo dengan pekikan khas "Allahu akbar" yang disiarkan di radio-radio menjadi energi yang menggerakkanarek-arek Suroboyomelawan Belanda yang ingin menjajah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertempuran Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November tidak bisa dilepaskan dari peran Sutomo.
”Nyatanya, tuduhan yang ditujukan kepada Bung Tomo dengan memenjara selama setahun tidak terbukti,” kisah nenek yang kini berusia 90 tahun itu. Keluar dari penjara, Bung Tomo tidak sungkan langsung menunjukkan rasa cintanya pada Sulistina. “Beliau langsung memeluk dan menggendong saya di depan umum di kantor kejaksaan.”
Tentang pemenjaraan dirinya itu, Bung Tomo menganggapnya sebagai risiko perjuangan. Risiko seorang Angkatan 45 yang ingin membela nama baik Angkatan 45-nya, dan ingin membela nama baik TNI yang ia ikut mendirikannya. Ia tidak mendendam. “Untuk semua itu, untuk Tanah Air, tiada pengorbanan yang terlalu besar. Itulah pendirian saya,” tulisnya dalam buku Romantisme Bung Tomo: Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan, yang diterbitkan Yayasan Bung Tomo, 2006.
Kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo dan Jaksa Agung Ali Said, Bung Tomo pernah menulis surat terkait penahanannya. Ia berjanji, setelah keluar dari tempatnya ditahan, baik benar-benar dibebaskan maupun dalam status tahanan luar, “Saya tidak akan berbicara lagi mengenai hal-hal yang sensitif dan dapat mengeruhkan suasana (misalnya perihal Presiden RI) sekarang ini.”
Sekeluar dari penjara setahun kemudian, Bung Tomo terbukti lebih mencurahkan perhatiannya untuk merawat dan mendidik keempat anaknya. Pada 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal saat tengah menunaikan ibadah haji di Padang Arafah, Arab Saudi.
Bung Tomo pernah meminta agar 2 juta orang Tionghoa di Indonesia ditarik kembali ke Cina.
Foto: dok. Perpustakaan Nasional
Reporter: Imam Wahyudiyanta | Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Benarkah Pahlawan Nasional Bung Tomo sebetulnya orang yang rasialis dan sangat membenci warga Tionghoa di Indonesia? Pertanyaan ataupun kesimpulan demikian sempat berembus dalam gunjingan di masyarakat kita. Bila cuma sepintas mendengarkan pidato-pidato Bung Tomo pada masa revolusi kemerdekaan 1945 atau tulisan-tulisannya pada masa awal Orde Baru, memang akan muncul kesan seperti itu. Pada 17 Maret 1973, misalnya, ia menulis surat terbuka kepada pemimpin Republik Rakyat Cina Mao Zedong dan pemimpin Taiwan Chiang Kai-shek. Intinya, dia meminta perhatian kedua pemimpin itu untuk membantu menarik sekitar 2 juta warga Tionghoa dari Indonesia kembali ke negara masing-masing.
“Apakah Tuan-tuan tidak malu bangsa Tuan-tuan diberi nama julukan parasit-parasit demikian itu? Saya rasa Tuan-tuan pun malu. Oleh karena itu, demi nama baik kita semua, saya usulkan agar Tuan-tuan suka memikirkan kemungkinan untuk mengadakan repatriasi bagi orang-orang Cina asing di Indonesia.”
Sebagai pejuang revolusi kemerdekaan, Bung Tomo menilai ada banyak orang Tionghoa di Indonesia yang sikap dan perilakunya jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Hidup dan mencari makan di Indonesia, tapi sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi perjuangan bangsa. Sikap dan perilaku seperti itu diperlihatkan sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, menurut Bung Tomo, banyak orang Tionghoa pada masa kolonial yang menjadi kepanjangan tangan Belanda untuk menindas rakyat Indonesia.
Berilah orang-orang Cina itu makan di negeri Cina sendiri."
Memang, tulis Bung Tomo, kalau di suatu daerah sedang ada penguasa Indonesia, mereka menunjukkan loyalitasnya kepada Republik. Tapi, begitu kekuasaan Belanda menduduki daerah RI, segera Cina-cina (warga Tionghoa) itu membantu tuannya yang lama. “Hanya seorang atau dua saja dari seribu orang Cina di Indonesia yang benar-benar membantu perjuangan kita dengan konsekuen selama kita melawan kolonialisme. Itulah kenyataan. Dan itu mereka teruskan sampai sekarang.”
Bila Mao dan Chiang dapat melaksanakan pemulangan 2 juta warga itu ke RRC atau Taiwan, tulis Bung Tomo, kedua tokoh itu niscaya bakal tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh Asia yang berhasil melenyapkan kolonialisme di Indonesia. “Berilah orang-orang Cina itu makan di negeri Cina sendiri.”
Pada masa perang kemerdekaan, November 1945, lewat corong radio, Bung Tomo juga kerap melontarkan pidato yang dinilai bersikap rasialis karena anti-Tionghoa. Tema-tema anti-Tionghoa dalam pidatonya itu, menurut Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik, yang diterbitkan Komunitas Bambu, sudah tentu menumbuhkan sentimen anti-Tionghoa di kalangan masyarakat Jawa Timur.
Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai juru bicara Angkatan Muda Tionghoa, berpidato dengan menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa, melainkan Belanda. Ia menyatakan etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda. Selanjutnya Siauw Giok Tjhan, tokoh masyarakat Tionghoa yang kemudian menjadi menteri, anggota Majelis Konstituante, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung, menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya. “Namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar etnis Tionghoa pro-Belanda,” tulis Benny.
Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo serta tokoh-tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Soemarsono dan Soedisman, di Nangka Jajar, sebuah kota kecil antara Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa pemuda-pemuda Tionghoa akan bergabung dengan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia pimpinan Bung Tomo dan Pesindo.
Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djoko Suryo, menilai sikap yang diperlihatkan Bung Tomo sejatinya bukan rasialis dan anti-Tionghoa. Sebagai pejuang, Bung Tomo hanya ingin agar segenap orang berprinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Karena itu, ketika ada kebijakan penataan kewarganegaraan dengan strategi hukum pada 1950-an, Bung Tomo termasuk yang mendesak pemerintah menyatakan secara tegas kepada siapa pun supaya memilih, tidak peduli itu Tionghoa, India, atau Arab. “Kalau berada di Indonesia, ya harus memiliki patriotisme, nasionalisme, dan kecintaan pada Tanah Air. Jadi posisi Bung Tomo ini menegaskan dan mendukung kebijakan pemerintah,” kata Djoko.
Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo, juga menegaskan ayahnya semasa hidup punya banyak sahabat orang Tionghoa. Apa yang disampaikan dalam pidato dan surat terbuka itu, kata Bambang, maksudnya agar keturunan mana pun yang tinggal dan menjadi warga Indonesia harus menjunjung dan memiliki nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah Air, dan patriotisme kepada negeri ini.
“Jangan mendua. Dulu, pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia kan terbelah-belah. Ada yang diprioritaskan dan mendapat perlakuan berbeda, seperti warga Eropa, keturunan orang Timur Tengah. Dan masyarakat Indonesia disebut pribumi. Yang diharapkan Bung Tomo, kalau sudah berada di Indonesia, ya tidak boleh mendua, apalagi mendukung penjajah,” ujarnya.
Bung Tomo sangat membenci kebohongan. Ia sangat keras kepada anak. Sang istri sangat dimanja.
Bung Tomo menggendong Megawati Sukarnoputri disaksikan Sulistina, istrinya
foto: dok. Perpustakaan Nasional
Foto: dok. Perpustakaan Nasional
Jumat, 22 Januari 2016
Sulistina tersipu-sipu sendiri. Nenek 90 tahun yang masih menyisakan guratan kecantikannya di masa muda itu terkenang sang suami, Bung Tomo. Pahlawan yang menjadi bintang dalam Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, itu, sangat romantis dan mencintainya habis. Bung Tomo dan Sulistina bertemu ketika zaman sedang bergolak. Keduanya sama-sama berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bung Tomo berjuang lewat pidato-pidatonya di radio untuk membakar semangat arek-arek Suroboyo melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui tentara NICA. Sulistina bergabung dalam Palang Merah Indonesia, yang bertugas menolong para pejuang yang terluka karena perang. Suatu ketika keduanya bertemu dalam sebuah rapat.
Bung Tomo sebagai sosok yang terkenal memiliki banyak pengagum perempuan. Para gadis berebut mendapatkan perhatian agar bisa dekat dengan pria yang selalu berpenampilan rapi jali ini. Namun Sulistina sangat berbeda dengan para gadis itu. Gadis cantik itu cuek saja ketika Bung Tomo datang. Ia tidak sadar Sang Jenderal Kancil, demikian julukan Bung Tomo, jatuh cinta pada pandangan pertama kepada dirinya. Begitu bertemu dengan Sulistina, Bung Tomo tidak bisa lagi berpaling.
"Saya sering diledekin teman-teman. 'Lis (panggilan Sulistina), lihat tatapan Bung Tomo. Dia selalu melihat ke arahmu,'" cerita Sulistina saat ditemui detikX. “Tapi saya waktu itu masih tidak percaya, sampai kemudian Bung Tomo benar-benar menyatakan cintanya kepada saya.” Bung Tomo dan Sulistina menikah pada 19 Juni 1947. Mereka dikaruniai lima anak. Menjadi teman hidupnya, Sulistina mengetahui Bung Tomo yang terkenal dengan pekikan "Allahu akbar" dalam pidatonya yang menggelora itu sangat religius. Ia selalu berusaha menjalankan perintah agama sebaik mungkin. Setiap hari ia mengajari anak-anaknya berdisiplin menjalankan salat, puasa, dan tidak boleh bohong, seperti yang diperintahkan agama.
Bung Tomo saat menikah dengan Sulistina
Foto: dok. Perpustakaan Nasional
Dalam mendidik anak-anaknya, Bung Tomo sangat keras. Ada prinsip hidup yang harus dipegang oleh anak-anaknya, yakni kejujuran. Anak-anaknya tidak boleh bohong. Jika sekali saja kedapatan bohong, jangan tanya hukumannya, sangat keras. Salah satu hukuman Bung Tomo kepada anak-anaknya jika ketahuan berbohong adalah berpidato di jalan.
“Disuruh pidato, 'Saya, berdiri di sini, dihukum Bapak karena sudah berbohong, bla-bla-bla,'” kata Bambang Sulistomo, anak kedua Bung Tomo.
Meski keras terhadap anak-anak, Bung Tomo tidak pernah sekali pun galak terhadap istri. Setelah menikah, perlakuan Bung Tomo pada Sulistina pun tetap sama seperti ketika masa pacaran. Sang pahlawan kerap menatapnya dalam-dalam. Ia juga punya banyak panggilan sayang untuk Sulistina. Dalam setiap surat, Bung Tomo selalu memanggil Sulistina dengan panggilan "Tiengke". Kadang dikombinasikan dengan “Tieng adikku sayang”, “Tieng bojoku sing denok debleng”, dan “Tieng istri pujaanku”.
Semasa hidup, saking cintanya pada istri, setiap mendengar musik di televisi, Bung Tomo selalu mengajak saya berdansa."
“Semasa hidup, saking cintanya pada istri, setiap mendengar musik di televisi, Bung Tomo selalu mengajak saya berdansa,” tutur Sulistina. Bung Tomo juga selalu membukakan pintu mobil untuk Sulistina. Ia pun selalu mengajak Sulistina ke mana pun ia pergi. Pernah Bung Tomo diundang menghadiri sidang veteran di Nairobi, Kenya. Tapi ia menolak berangkat karena Sulistina tidak bisa ikut menyertai lantaran alasan biaya.
Akhirnya undangan yang diperuntukkan bagi satu orang itu diberikan kepada kawannya. Kepada kawannya itu, Bung Tomo meminta supaya pesan dan catatannya disampaikan dalam sidang.
Kecintaan yang mendalam kepada istrinya juga ditunjukkan Bung Tomo, yang di mana-mana selalu menyampaikan tentang sosok perempuan dengan ungkapan “put your wife on a pedestal”. Kalau diartikan “manjakanlah istrimu”. Bung Tomo juga tidak setuju dengan poligami.
“Kalau soal hubungan dengan perempuan, Bung Tomo sudah jelas sikapnya, tidak suka melihat laki-laki menduakan istri,” kata Sulistina. “Bung Tomo sangat menghargai perasaan perempuan, mencintai istri dan keluarganya.”
Sama seperti Bung Tomo, Sulistina menolak keras poligami. Ia bahkan melarang Bung Tomo menghadiri rapat dengan Presiden Sukarno bila di dalam rapat itu ada Hartini, istri ketiga Sukarno. Gara-gara Hartini, Ibu Negara Fatmawati memilih meninggalkan Istana Negara karena tidak mau dimadu oleh Sukarno.
Sulistina sangat terharu atas semua cinta dan perhatian Bung Tomo. “Yang membuat saya terharu dan menangis adalah ketika membuka dompet Bung Tomo setelah kepergiannya untuk selama-lamanya. Di dompet itu, Bung Tomo masih menaruh foto saya,” cerita Sulistina. Di bawah foto Sulistina yang tersenyum itu, ada tulisan “iki bojoku” (ini istriku). Pada foto lain tertulis “Tien istri Tomo”.
Bung Tomo meninggal saat melaksanakan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Jenazahnya dibawa pulang ke Tanah Air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya, Jawa Timur. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2008.
Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin menawari Bung Tomo, mau jadi jenderal atau memilih pidato. Ia pilih pidato.
Sulistina Sutomo
Foto: dok. keluarga
Jumat, 22 Januari 2016
Pada usia 90 tahun, kondisi kesehatan Sulistina Sutomo memang tidak lagi fit. Toh, ia masih sering memaksakan diri bepergian ke luar rumah. Pada Jumat, 6 November 2015, misalnya, perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, 25 Oktober 1925, itu meluncur dari kediamannya di Kota Wisata, Cibubur, ke arah Pasar Pramuka, Jakarta Timur, untuk membeli obat. Sayang, sebelum sampai ke tujuan, sedan Toyota Vios warna perak yang ditumpanginya mogok dan harus masuk bengkel di Cibubur Point Automotive Center. "Saya sudah tua, tidak se-fit tahun-tahun lalu," kata Sulis kepada detikX.
Ia duduk lemah bersandar bantal putih di jok belakang. Meski kelihatan rapuh, garis kecantikan istri Pahlawan Nasional Bung Tomo itu masih membekas. Enam tahun lalu, Sulistina masih sanggup menyalin surat-surat maupun sajak-sajak pribadi Bung Tomo ke komputer jinjing milik cucunya. Tapi kini nenek 11 cucu dan 4 cicit itu sering kali meminta jeda untuk mengingat-ingat momen bersejarah yang dialami bersama sang suami.
Bagaimana Ibu mengenang sosok Bung Tomo?
Bung Tomo itu sosok pemberani. Saat tahu Belanda akan masuk Indonesia, beliau segera datang ke anak-anak dan keluarganya, bilang bahwa tindakan Belanda tidak bisa dibiarkan, karena kemerdekaan sudah diproklamasikan. Artinya, Indonesia sudah merdeka. Bung Tomo lalu mendatangi orang-orang tua di pemerintahan untuk konsultasi.
Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri.”
Oleh mereka, Bung Tomo ditanya, “Mau pakai apa kalau melawan. Kita berhadapan dengan musuh pemenang Perang Dunia II. Kita tidak punya apa-apa untuk melawan.” Namun Bung Tomo tidak kecil hati. Meski tidak bersenjata canggih seperti musuhnya, Bung Tomo pantang menyerah. Beliau punya ide untuk mengobarkan semangat para pemuda melalui pidato. Bung Tomo diizinkan gubernur dan dikasih corong, padahal Belanda saat itu sudah masuk dan nembak-nembak.
Sampai akhirnya Bung Tomo tetap memilih pidato dari satu tempat ke tempat lain ketimbang menjadi jenderal. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin pernah menawari Bung Tomo, mau jadi jenderal atau memilih pidato. Bung Tomo memilih menjadi seorang orator dan berpidato di mana-mana.
Apa yang membuat Bung Tomo punya keberanian seperti itu?
Prinsip Bung Tomo, kesewenang-wenangan tidak bisa didiamkan. Dengan cara apa pun, sesuatu yang tidak benar harus dilawan. Meski tidak memiliki senjata, beliau merasa tetap harus melakukan sesuatu. Tidak boleh diam dan membiarkan.
Saking beraninya, di kemudian hari Bung Tomo juga kerap melawan Bung Karno?
Bung Tomo dekat dengan Bung Karno. Namun, di kemudian hari, hubungan menjadi renggang karena perbedaan politik. Pertama tentang informasi yang didapat Bung Tomo bahwa Rusia memasok senjata untuk Partai Komunis Indonesia. Bung Tomo menyampaikan informasi itu, tapi Bung Karno tidak percaya. Juga beberapa sikap politik Bung Karno yang berseberangan dengan Bung Tomo. Misalnya kasus Irian. Bung Tomo menganggap Irian sebagai bagian dari Indonesia. Tapi kabinet waktu itu menyatakan Irian bukan bagian dari Indonesia, melainkan bagian dari Belanda. Karena perbedaan pandangan ini, Bung Tomo sampai berdiri dan menggebrak meja.
Bung Tomo pernah dipenjara pada masa Orde Baru. Apa sebabnya?
Saat itu Bu Tien Soeharto sedang sibuk merancang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Bung Tomo mendengar informasi bahwa Bu Tien meminta para pengusaha memberikan 10 persen keuntungan usahanya untuk pembangunan TMII. Lalu Bung Tomo menyampaikan informasi itu dalam setiap pidatonya. Bu Tien dan Pak Soeharto sepertinya tersinggung dan menangkap Bung Tomo dengan alasan Bung Tomo telah melakukan upaya subversif dalam setiap pidatonya.
Selama Bung Tomo setahun dipenjara (1978-1979), tidak ditemukan bukti upaya subversif seperti yang dituduhkan. Dan beliau mengatakan kepada saya bahwa ia yakin akan segera keluar dari penjara. Begitu keluar, beliau langsung memeluk dan menggendong saya di depan umum di kantor kejaksaan.
Bung Tomo dendam kepada Soeharto?
Bung Tomo tidak mendendam. Justru saya yang marah. Saat Bung Tomo ditahan, saya mengirim surat protes kepada Pak Harto. Saya sampaikan, “Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri.” Nyatanya, tuduhan yang ditujukan kepada Bung Tomo dengan memenjara selama setahun tidak terbukti.
Reporter: Imam Wahyudiyanta, Kustiah
Penulis: Pasti Liberti Mappapa, Iin Yumiyanti
Editor: Sudrajat
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.