Ilustrasi: Edi Wahyono
Kamis, 24 Maret 2022“Saya tidak kenal dengan Presiden. Saya tidak bersalah kepada Presiden. Tapi saya bersalah kepada para korban saya dan keluarganya. Jadi, laksanakan saja eksekusi, saya pasrah,” ucap Usep kepada Koswara Purwasasmita, pengacaranya.
Usep menolak untuk melakukan banding, kasasi, bahkan mengajukan grasi kepada Presiden atas tindak kejahatannya. Pria kelahiran Lebak tahun 1968 itu yakin dan menerima putusan vonis hukuman mati dari majelis hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Lebak, Banten, pada 10 Maret 2008.
Di antara para bromocorah yang pernah divonis hukuman mati di Indonesia, mungkin Usep yang menerima keputusan itu dengan sikap legowo. Pria yang saat itu berusia 40 tahun dan memiliki nama asli Tubagus Maulana Yusuf menolak semua upaya hukum untuk membebaskannya dari jerat hukuman.
Proses eksekusi mati terhadap Usep tergolong paling cepat, empat bulan. Hal itu berbeda dengan para narapidana hukuman mati lainnya yang memerlukan waktu bertahun-tahun dari menerima putusan vonis hingga eksekusi mati dijalankan.
“Saya lebih baik mati daripada hidup di penjara,” begitu ucap Usep kepada mertuanya, Nur, yang tengah membesuknya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I, Kota Tangerang seperti dikutip Kompas, edisi 10 Juli 2008.
Sebelum dieksekusi, Usep mengajukan lima pesan sebagai wasiat kepada petugas Lapas. Pertama, meminta berkumpul dengan istri dan anaknya selama satu pekan penuh, siang hingga malam. Kedua, meminta pembimbing rohani yang menguasai kitab Mutfah Mawadah dan menguasai ilmu agama Islam selama tiga hari.
Tubagus Maulaya Yusuf alias Usep saat menjani persidangan
Foto : Dok YouTube
Ketiga, bila ada saudara yang mengunjunginya, ia meminta jangan diperlakukan seperti napi agar mereka tak bersedih. Keempat, meminta dikuburkan di samping kuburan ayahnya di Kampung Kandang, Kujangsari, Cileles, Lebak, dan diizinkan melakukan salat sunah dahulu. Kelima, meminta dihadirkan ibu kandungnya selama satu pekan di waktu siang hingga sore.
Jumat malam, 18 Juli 2008, Usep dibawa dari Lapas Tangerang menuju sebuah hutan yang masuk wilayah Kecamatan Cimarga, Lebak. Di hutan itu, di tengah dinginnya malam nan gelap, Usep dihadapkan pada regu tembak yang berjumlah 10 personel Brimob Polda Banten. Tepat pukul 22.30 WIB, tiga peluru tajam menghujam tubuh Usep tepat di sasaran: jantungnya.
Dalam hitungan detik, tubuh Usep terkulai. Tim medis yang memeriksanya menyatakan ia sudah tak bernyawa. Jasadnya segera dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Cimarga untuk diotopsi dan dimandikan. Lalu, jasadnya diserahkan kepada keluarga. Malam itu juga, jasad Usep dikuburkan di Kampung Kandang.
Usep memang terkesan heroik menerima hukuman matinya. Namun, bagi keluarga korban, lebih-lebih masyarakat Banten, ulah Usep memang tak bisa diampuni. Semua itu karena perbuatannya yang tega membunuh delapan orang warga Lebak dan Tangerang hanya demi uang.
Kedelapan orang yang dibunuhnya adalah Oon, Salikun, Imik Zamzani, Yudi dan Umron pada 17 Mei 2007. Kelimanya mati setelah meminum racun tikus dan dikuburkan dalam satu lubang di hutan Kampung Cipajar, Cileles. Tiga korban berikutnya adalah warga Tangerng, yaitu Anto, Samali dan Nasrun. Mereka juga tewas setelah minum racun dan dikubur bersama hutan Kampung Ciburuy, Cileles, pada 19 Juli 2007.
Ulah Usep diketahui polisi setelah Polres Lebak menerima laporan seorang wanita yang tak lain istri korban Anto, Dewi (30), Senin, 23 Juli 2007. Dewi yang ditemani anaknya datang mengadukan nasib suaminya yang tak kunjung pulang ke rumah selama tiga hari. Anto pergi bersama dua rekannya, Samali dan Nasrun, sejak 20 Juli 2007,
Kepada polisi, Dewi mengatakan, Anto pergi untuk menemui seorang dukun yang bisa menggandakan uang di Desa Cikareo, Cileles. Saat itu, Anto disebut tengah menggandakan uang sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 2 miliar kepada Usep. Dan usahanya itu sudah dilakukan dalam beberapa tahap, hingga semua harta bendanya habis dijual.
Hari itu juga, tim kepolisian Polres Lebak mendatangi kediaman sekaligus tempat praktik perdukunan Usep. Saat itu, polisi langsung membekuk Usep yang tengah menerima pasien. Polisi menduga, Usep menjalankan praktik perdukunan menggandakan uang secara gaib. Di hari yang sama, polisi pun menangkap Oyon, teman Usep di pangkalan ojek Pasar Saketi, Pandeglang.
Kuburan jenazah korban dukun Usep
Foto: Dok YouTube
Di ruang penyidikan, Usep dan Oyon diinterogasi secara maraton. Polisi menduga kedua orang ini sangat tahu keberadaan Anto, Samali, dan Nasrun yang dilaporkan hilang itu. Melalui teknik interogasi khusus, akhirnya polisi penyidik menemukan korelasi keterangan saksi dan pengakuan keduanya bahwa Anto, Samali, dan Nasrun menghilang dan telah mati dibunuh.
Usep sejatinya bukanlah orang pintar atau sakti. Usep hanya berpura-pura sebagai dukun yang bisa menggandakan uang. Ia bekerjasama dengan Oyon, yang beperan mencari pasien. Keduanya mendapatkan pasien yang berasal dari Jakarta, Bogor, Tangerang, hingga Bekasi. Semuanya rata-rata dimintai uang mahar sebagai syarat ritual mereka.
Hal yang sama dilakukan kepada Anto, Samali, dan Nasrun. Motif awalnya, Usep dan Oyon untuk menipu soal penggandaan uang, tapi diakhiri dengan pembunuhan. Nyawa mereka ditumpas, uang Rp 36 juta, dompet dan ponsel mereka dirampas keduanya.
Malam hari itu juga, Usep dan Oyon digelandang polisi untuk menuju sebuah hutan di kawasan Kampung Ciburuy, Desa Cikareo, Cileles. Mereka diminta polisi untuk menunjukan mereka mengubur ketiganya. Setelah menemukan kuburan itu, Usep dan Oyon diminta menggalinya. Tak lama, ditemukan jasad ketiga korban dalam satu lubang yang sama. Rata, jasad mereka sudah mulai rusak.
Dari pengakuan kedua tersangka itu, polisi pun akhirnya mendapatkan fakta baru. Usep dan Oyon ternyata sebelumnya sudah melakukan hal yang sama kepada Oon, Salikun, Imik Zamzani, Yudi, dan Umron pada 17 Mei 2007. Keesokan harinya, Selasa pagi, 24 Juli 2007, Usep dan Oyon kembali diminta menunjukan lokasi kuburan kelima korban itu.
Ternyata, lokasi pembunuhan pertama berjarak sekitar 1,5 kilometer. Kelima korban ini dikubur di dalam satu lubang berukuran 2 x 2 meter di tengah hutan Kampung Cipajar, Desa Cikareo, Cileles. Usep dan Oyon lah yang mencari dan menggali kuburan itu disaksikan sejumlah polisi. Polisi terkejut dengan apa yang ditemukan. Kelima jasad korban yang ditemukan nyaris sudah tak bisa dikenali lagi.
Semua jasad-jasad yang ditemukan itu langsung dibawa ke Kamar Mayat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Serang. Semua keluarga korban yang mengadukan anggota keluarganya berdatangan, termasuk keluarga Dewi. Keluarga itu histeris dan mengutuk perbuatan biadab Usep dan Oyon.
Oyon memang yang mengenalkan Anto, Samali, dan Nasrun kepada Usep. Sebelum dibunuh, masing-masing menyerahkan uang Rp 14 juta kepada Usep. Ketiganya pula yang diminta Usep untuk menggali lubang tanah sedalam 2 x 2 meter. Alasannya, lubang itu sebagai pintu gerbang gaib untuk menarik uang. Mereka percaya saja.
Berkas Keputusan Presian atas grasi yang diajukan Oyon
Foto: Dok detikX
Setelah lubang selesai digali, Usep meminta ketiga pasiennya itu untuk meminum air racikannya yang terlihat berwarna kehitaman. Ternyata air itu berisi potas alias racun tikus. Tentu saja, setelah lelah menggali lubang, setelah minum cairan racikan Abah Usep, begitu panggilan Usep, mereka langsung limbung dan pingsan.
Saat itulah, Usep dan Oyon malah merogoh semua saku celana dan baju ketika korbannya. Mereka mengambil dompet, ponsel dan sisa uang yang ada. Setelah itu, mereka menyeret tubuh ketiga pasiennya dan membuangnya ke dalam lubang yang mereka gali sendiri. Keesokan harinya Usep dan Oyon masih melakukan penipuan kepada orang lainnya hingga akhirnya mereka ditangkap.
Berbeda dengan Usep, Oyon yang juga divonis mati melalui keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung bernomor 178/Pid.B/2007/PN.Rkb tanggal 12 Maret 2007 hingga kini proses eksekusinya belum jelas kapan dilaksanakan. Ia sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Tapi melalui keputusannya bernomor 36/PID/2008/PT.BTN tanggal 10 Juni 2008, bandingnya ditolak.
Tak rela nyawanya akan direnggut tim eksekutor, Oyon mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi, pengajuan kasasinya ditolak oleh MA melalui surat bernomor 1731 K/Pid/2008 tanggal 21 Oktober 2008. Oyon mencoba upaya hukum terakhir. Ia mengajukan permohonan grasi ke presiden. Tapi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31/G Tahun 2015 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015, grasi Oyon ditolak.
Dalam Keppers itu, sebenarnya Jokowi tak hanya menolak grasi Oyon, tapi ada enam orang terpidana mati kasus lainnya, seperti Eddy Maulana Sampak (Eddy Sampak), Kusdarmanto, Rudi Siswanto (Lodek), Yudi Mulyadi (Bule), Yafonasa Laila dan Yulianto. Namun, hingga kini kapan eksekusi mati terhadap Oyon dijalankan, belum ada kejelasan.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho