- - Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 menuai protes dan penolakan khususnya dari kalangan serikat pekerja dan serikat buruh. Pekerja dan buruh menilai revisi tersebut hanya pro-bisnis dan mengejar investasi dengan mengorbankan kesejahteraan pekerja/buruh.Untuk mengetahui alasan dibalik penolakan dari berbagai serikat pekerja/buruh, wartawan Investor Daily Agnes Okvanni dan Hari Widowati mewawancarai Ketua Umum Partai Buruh dan Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Mukhtar Pakpahan, di Jakarta, Sabtu (1/4). Berikut kutipannya.
Mengapa para buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan No 13/2003?Sejak awal pola pikir Pemerintah keliru. Seharusnya titik tolak pemikiran adalah bagaimana membuka lapangan kerja, di antaranya dengan investasi. Tapi sekarang terbalik, Pemerintah berpikir kalau investasi masuk akan membuka lapangan kerja. Oleh karena itu, investasi diutamakan.
Untuk membukan lapangan kerja, alternatif apa yang dapat dilakukan di luar investasi?Justru cara yang sederhana, yaitu memberdayakan petani yang dapat kita lakukan sendiri. Misalnya, dengan Rp 10 juta kita bisa membuat perkebunan kelapa sawit dan dapat menyerap puluhan tenaga kerja. Masih banyak tanah yang dapat kita pergunakan. Tapi pemerintah malah merevisi UU 13/2003.
Lalu bagaimana sikap Partai Buruh atas revisi UU No 13/2003?Cabut UU Nomor 13/2003. Lalu kita duduk kembali dalam tripartit nasional, tidak hanya UU 13/2003, tetapi juga UU Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja, dan UU Nomor 3/1992 tentang Jamsostek.
Apa yang paling dikeluhkan dalam revisi itu?Dua hal yang paling ditakuti pekerja/buruh yaitu PHK dan outsourcing. Kami pernah menangani kasus seorang buruh di PT Caltex yang telah bekerja selama 20 tahun, tapi statusnya tetap buruh outsourcing. Kami gugat ke MA (Mahmakah Agung, red) dimenangkan, tapi setelah kehadiran UU 13/2003 itu, kami kalah. Kalau dulu saja saya tidak pernah setuju dengan disahkannya Undang-Undang itu, apalagi sekarang dengan revisinya. Dalam revisi itu, pengusaha tidak lagi harus bertanggung jawab atas kesejahteraan pekerja/buruh. Lalu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja, red) tidak dapat pesangon untuk pekerja/buruh yang penghasilannya diatas PTKP (penghasilan tidak kena pajak, red), yaitu Rp 1,1 juta. Saya pikir dalam dua-tiga tahun ke depan Upah Minimum Regional (UMR) kita akan mencapai lebih dari Rp 1,1 juta. Berarti, semua pekerja/buruh tidak ada yang mendapatkan pesangon lagi. Kemudian outsourcing, dalam UU 13/2003 outsourcing dibatasi pada jenis dan waktu tertentu, tapi dalam revisi justru dibebaskan sama sekali tanpa batasan jenis dan waktu pekerjaan. Selain itu PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu, red) maksimal dua tahun. Namun, praktiknya seringkali pekerja/buruh dikontrak selama tiga tahun lalu di-PHK begitu saja, lalu di-hire pekerja baru. Apalagi nanti, dalam revisi diusulkan maksimal lima tahun. Entah siapa legal drafter-nya, dia sengaja merencanakan kesengsaraan rakyat. Jadi harus dilawan.
Menurut Anda, PKWT dan outsourcing jadi cara pengusaha menghindari membayar pesangon?Ya. Misalnya, pengusaha mengatakan itu biaya training pekerja baru. Kalau dia mempraktikkan itu, biasanya biaya training tidak lebih mahal dari biaya pesangon dan jaminan pensiun.
Bukankah ada Jamsostek?Memang perusahaan membayar premi Jamsostek untuk jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK), dan dana peningkatan kesejahteraan pekerja (DPKP). Selain itu, juga harus membayar pesangon. Memang berat bagi pengusaha.
Jadi, harusnya bagaimana agar keduabelah pihak tidak dirugikan?Pekerja/buruh membutuhkan jaminan dan pesangon, karena Jamsostek tidak dapat diandalkan. Jamsostek adalah jaminan sosial yang paling lucu sedunia, uang buruh ditaruh di BUMN lalu hak negara menguasai, mengelola, dan dikorupsi lagi. Buruh hanya dapat mengambil sedikit manfaat dari Jamsostek itu, justru yang banyak mengambil manfaatnya adalah organisasi-organisasi yang tidak ada hubungannya dengan perburuhan.
Reformasi Jamsostek diperlukan?Iya. Saya mengusulkan PT Jamsostek diubah dari BUMN menjadi wali amanah dan dikelola secara tripartit, yaitu oleh pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Tidak ada kewenangan menteri BUMN di dalamnya, tetapi negara juga tetap ikut bertanggung jawab.
Programnya juga harus direformasi?Iya, saya juga mengusulkan tidak perlu empat program, cukup jaminan kesehatan seumur hidup, jaminan pensiun, dan jaminan pengangguran.
Di mana tanggung jawab pemerintah?Misalnya, perusahaan bangkrut dan terpaksa tutup, berarti mem-PHK pekerjanya. Peran pemerintah adalah menanggung buruh yang mengganggur sambil mencari pekerjaan baru dengan memberikan tunjangan menganggur. Memang berarti premi harus ditingkatkan, tetapi harus fixed cost. Sekarang ini kan premi Jamsostek merupakan unpredictable cost yang memberatkan pengusaha, termasuk pesangon. Tapi kalau fixed cost sekalipun preminya dinaikkan, pengusaha juga tidak akan keberatan. Oleh karena itu, Jamsostek perlu direformasi dengan merevisi Undang-Undangnya, yaitu UU Nomor 3/1992 tentang Jamsostek.
Pemerintah memberikan jaminan, kalau UU 13/2003 direvisi, investasi akan masuk ke Indonesia?Tidak mungkin. Mana mau investor datang kalau buruhnya demo terus.
Menurut Anda apakah ada campur tangan asing dalam revisi ini?Memang ada yang minta (revisi), tapi itu pun tidak signifikan. Umumnya perusahaan pertambangan atau perusahaan transnasional yang minta, tapi sekali lagi tidak signifikan.
(/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini