Dijelaskan Wakil Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indardi, objek perkara adalah sebidang tanah di Jakarta Timur yang saat ini dimanfaatkan sebagai gedung Samsat Jakarta Timur. Pemprov DKI Jakarta mempunyai hak kepemilikan tanah tersebut melalui pembebasan tanah milik Johnny Harry Soetantyo di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, pada April 1985.
Kemudian tanah itu dibuatkan sertifikat atas nama Pemprov DKI Jakarta pada 24 September 1992 dan dibangun kantor Samsat Jaktim. Namun belakangan, muncul gugatan dari para tersangka yang mengatasnamakan ahli waris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemprov kemudian mengajukan banding atas putusan itu. Para penggugat juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan dokumen dalam gugatan di PN Jakarta Timur. Sengketa tanah di pengadilan masih berproses karena Pemprov DKI mengajukan banding.
"Kemudian dengan adanya laporan polisi yang kami terima, kami memproses kasus ini dan mengungkap bahwa tersangka S bersama-sama tujuh tersangka lainnya yang mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah ini, itu mereka menggunakan sertifikat palsu, kemudian menguasakan kepada kuasa hukum bersama dengan sertifikat palsu dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan tahun 2014 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur," papar dia.
Dalam perjalanan penyelidikan, polisi menemukan adanya dokumen-dokumen yang diduga palsu. Salah satunya ditemukan adanya dokumen yang menyebutkan para tersangka--yang mengaku sebagai ahli waris--seolah-olah telah bertransaksi dengan pemilik tanah pertama, yaitu Johnny.
"Jadi ini upaya mereka dengan membuat sertifikat palsu, akta jual-beli palsu, seolah-olah mereka terjadi transaksi dengan pemilik lama. Dijadikan dasar gugatan, menggugat Pemprov DKI Jakarta Rp 340 miliar," ujar Ade.
Dari hasil penyidikan terungkap, tersangka utama, yakni Sudarto, memanfaatkan tujuh tersangka, yakni M, DS, IR, YM, ID, INS, dan I. Ketujuh tersangka adalah ahli waris Ukar, yang disebut-sebut telah bertransaksi dengan Johnny.
Sudarto kemudian membujuk ketujuh tersangka untuk mengajukan gugatan atas tanah yang saat ini dibangun kantor Samsat Jaktim. Sudarto mengiming-imingi ketujuh tersangka dengan janji diberi bagian sebesar 25 persen bila memenangi gugatan Rp 340 miliar tersebut.
![]() |
"Awalnya tersangka S ini mendatangi tujuh ahli waris ini. Tersangka S mengaku kenal baik dengan hafal dari para tujuh ahli waris ini, yaitu Saudara Ukar. Dia menyampaikan kepada ahli waris, 'Apakah kalian ingin, ini tanah orang tua kalian mau kita ambil lagi. Nah, tolong dibantu.' Diproseslah dokumen-dokumen palsu itu sehingga terbit sertifikat palsu, dengan janji dari tersangka S," ujar dia.
Mereka menyetujui permintaan S ini hingga akhirnya memenangi gugatan. Namun Pemprov DKI Jakarta melihat ada keanehan dalam dokumen yang diserahkan oleh para ahli waris itu.
"Akan dibagi 25 persen. Ini kan aneh. Artinya, kita menetapkan para ahli waris sebagai tersangka berdasarkan juga keterangan itu. Kalau memang tanah ini tanah orang tuanya, tentunya tidak mau menerima 25 persen, tapi diiming-imingi oleh tersangka S bahwa, 'Ya, saya bantu. Kalau berhasil, nanti kamu akan saya kasih 25 persen untuk para ahli waris.' Ini jadi pertanyaan besar," papar Ari.
Pada kenyataannya, ketujuh ahli waris itu tak mempunyai kaitan dengan pemilik awal tanah tersebut. Mereka hanya memalsukan dokumen agar terlihat asli dan menang di PN Jaktim.
Sementara itu, polisi saat ini masih mendalami keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Polisi juga masih mendalami alasan PN Jaktim memenangkan gugatan para tersangka.
Para tersangka ditangkap pada Selasa (23/8). Mereka dijerat dengan Pasal 263, 264, dan 266 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 6 tahun.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini