Pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), UGM, Yogyakarta, Samsul Maarif, menilai putusan MK ini menunjukkan kesetaraan penghayat kepercayaan dengan penganut agama resmi. Mereka memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan adminsitrasi pemerintah.
"Dengan putusan ini maka posisi mereka adalah setara dengan yang lain," kata dia saat dihubungi detik.com.
Ia menyebutkan berbagai masalah sering dihadapi oleh penghayat kepercayaan. Aparatur pemerintah di kabupaten/kota hingga kelurahan seringkali mempersulit pencatatan pernikahan, penerbitan akta kelahiran bahkan akta kematian bagi penghayat kepercayaan. Di sekolah, anak-anak penghayat kepercayaan kadang dipaksa untuk masuk kelas agama tertentu.
Semua kesulitan ini biasanya berujung pada pemaksaan untuk ikut agama tertentu dengan alasan kemudahan administrasi pencatatan. Samsul menyebutkan masalah inilah yang menyebabkan jumlah penghayat kepercayaan semakin menyusut.
"Putusan ini bisa menjadi dasar hukum untuk menghindari masalah-masalah yang ada itu. Dengan diakui maka ada hak ekspresi dan mendapatkan pendidikan kepercayaan," lanjutnya.
Pasang surut aliran kepercayaan di tanah air. |
Buku Jalan Sunyi Pewaris Tradisi yang diterbitkan oleh Tifa Foundation menyebutkan perjalanan penghayat kepercayaan di Indonesia bisa dikatakan penuh dengan derita. Sejak Orde Lama, mereka hidup di tengah percaturan politik yang keras antara kelompok agama dan komunis. Perlindungan penghayat kepercayaan terombang-ambing dalam kepentingan politik.
Pemerintah kala itu menerbitkan Peraturan No. 1/PNPS TAHUN 1965 Tentang pencegahan penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama yang kian menyudutkan penghayat kepercayaan. Permasalahan berlanjut pasca tragedi 1965. Banyak masyarakat menuding mereka sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peralihan rezim-pun tak kalah menyudutkan. Tap MPR No. IV/ MPR/ 1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyebutkan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama. Ketetapan ini lahir sebagai kompromi karena PPP mengancam akan walk-out dari MPR jika penghayat diakomodir dalam GBHN setara dengan agama.
"Aliran kepercayaan dipercaya akan mengurangi jumlah pemeluk Islam. Masalah ini yang kemudian direspons oleh umat Islam di berbagai daerah seperti Bandung dan Yogyakarta, dengan turun ke jalan, menentang perbincangan mengenai aliran kepercayaan itu," tulis buku itu.
Kini, ketika politik bakal kembali menghangat di Pilpres 2019, Samsul mengingatkan pemerintah untuk terus menjaga langkah perlindungan bagi penghayat kepercayaan yang sudah diketok oleh MK. Menurutnya Kementerian Dalam Negeri perlu mengajukan perubahan beberapa perundangan, termasuk soal UU Adminduk.
"Mendagri sudah mengeluarkan pernyataan untuk menindaklanjuti soal perubahan beberapa UU, itu sudah bagus. Tetapi kami khawatir kalau 2019 kembali memanas maka akan menajdi bahan politik lagi," tandasnya.
(ayo/jat)












































Pasang surut aliran kepercayaan di tanah air.