Seperti dilansir AFP, Jumat (17/6/2016), kelompok pejuang hak sipil yang berbasis di Amerika Serikat (AS), Southern Poverty Law Center, menyebut Thomas atau Tommy Mair memiliki sejarah panjang dengan nasionalisme kulit putih.
"Menurut catatan yang didapatkan Southern Poverty Law Center, Mair merupakan pendukung setia Aliansi Nasional (NA), organisasi neo-Nazi yang di Amerika Serikat, selama beberapa dekade," sebut Southern Poverty Law Center melalui situsnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilaporkan Southern Poverty Law Center bahwa Mair menghabiskan lebih dari US$ 620 (Rp 8,2 juta) untuk material bacaan dari NA, yang pernah menyerukan pembentukan negara kulit putih dan memusnahkan seluruh warga Yahudi. Foto dua nota pemesanan sejumlah majalah NA oleh Thomas Mair dengan alamat di West Yorkshire, dipublikasikan Southern Poverty Law Center pada situsnya. Mair diketahui tinggal seorang diri di Birstall, West Yorkshire.
Salah satu material yang dibeli Mair, menurut Southern Poverty Law Center, berisi instruksi merakit senjata api dari benda sehari-hari. Sejumlah saksi mata, seperti dikutip media lokal Inggris, menyebut Mair menggunakan senjata api yang bentuknya antik atau seperti rakitan sendiri.
Laporan lain menyebut, Mair juga berlangganan majalah S.A. Patriot yang merupakan majalah Afrika Selatan yang dirilis kelompok pro-apartheid dengan editorialnya menyerukan perlawanan pada multikulturalisme.
Baca juga: Anggota Parlemen Inggris Ditembak, PM David Cameron: Ini Mengerikan
Secara terpisah, saudara laki-laki Mair, Scott menuturkan kepada Daily Telegraph bahwa saudaranya menderita gangguan mental dan sempat mendapat perawatan medis. "Saya masih berusaha mempercayai apa yang terjadi. Saudara saya tidak kasar dan ini bukan didasari motif politik. Dia memiliki riwayat gangguan mental, tapi dia mendapat bantuan," ucapnya.
Cox, wanita berusia 41 tahun dengan dua anak, tewas ditembak Mair di jalanan desa Birstall, West Yorkshire pada Kamis (16/6) siang. Wanita yang baru tahun lalu terpilih menjadi anggota parlemen Inggris ini, dikenal kritis mengkampanyekan hak-hak para pengungsi juga menyerukan Inggris tetap tinggal bersama Uni Eropa. Motif pembunuhan itu masih belum jelas. Penyelidikan oleh kepolisian setempat masih berlangsung.
Tim forensik menyisir lokasi pembunuhan Jo Cox (REUTERS/Phil Noble) |












































Tim forensik menyisir lokasi pembunuhan Jo Cox (REUTERS/Phil Noble)