Setiap tanggal 12 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Ayah Nasional. Tidak sekadar seremoni keluarga, hari ini semestinya menjadi momentum reflektif untuk menatap kembali wajah keayahaan bangsa.
Sebab, di balik figur seorang ayah, tersimpan makna yang lebih luas tentang tanggung jawab, keadilan, kepemimpinan, nilai-nilai yang juga hidup di dalam konstitusi negara. Ayah bukan hanya sosok biologis dalam keluarga.
Ia adalah representasi moral yang pertama kali diperkenalkan kepada anak-anak, seperti bagaimana keadilan ditegakkan, bagaimana kasih dijaga, dan bagaimana kata dipegang sebagai janji. Dalam diri ayah yang penuh kasih tapi tegas, anak belajar tentang hukum yang hidup dalam nurani, jauh sebelum memahami pasal-pasal UUD 1945 di sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konstitusi kita sesungguhnya lahir dari semangat keayahaan kolektif para pendiri bangsa. Mereka ingin menciptakan negara yang tidak sekadar kuat secara politik, tetapi juga mengayomi, melindungi, dan menuntun rakyatnya sebagaimana seorang ayah menjaga keluarganya.
Oleh Karena itu, peringatan Hari Ayah juga layak menjadi cermin untuk melihat sejauh mana negara ini meneladani nilai-nilai keadilan dan kasih dalam konstitusi.
Ayah sebagai Konstitusi Pertama dalam Kehidupan Anak
Sebelum seseorang mengenal negara, ia mengenal rumah. Sebelum memahami hukum, ia belajar dari sikap dan keputusan ayah. Rumah adalah laboratorium moral, dan ayah adalah konstitusinya. Ia menulis aturan dengan keteladanan, menegakkan keadilan dengan kasih, dan menumbuhkan tanggung jawab dengan contoh nyata.
Di sanalah anak belajar tiga fondasi utama bagi warga negara yang beradab yakni arti disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab. Dalam konteks itu, ayah menjadi cerminan dari prinsip dasar negara, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Konstitusi keluarga tidak ditulis di atas kertas, tetapi di atas perilaku sehari-hari.
Ketika ayah hadir, mendengar, dan melindungi, maka kehadirannya menjadi manifestasi nyata dari keadilan yang hidup. Ia menjadi 'konstitusi moral' yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam rumah.
Namun, modernitas sering menggeser makna ini. Di tengah tuntutan ekonomi dan kesibukan profesi, banyak ayah kehilangan ruang kehadiran. Padahal, kehadiran fisik dan emosional ayah adalah bagian dari keadilan itu sendiri. Anak tidak hanya membutuhkan nafkah materi, tetapi juga bimbingan moral dan kasih yang menumbuhkan karakter.
Jika konstitusi negara menjamin keadilan bagi rakyat, maka ayah menjamin keadilan dalam keluarga. Dan bila konstitusi dilanggar, bangsa bisa goyah, demikian pula jika ayah abai terhadap tanggung jawab moralnya, keluarga pun kehilangan arah. Dalam rumah yang kehilangan ayah, keadilan sering hanya menjadi teori, bukan teladan.
Refleksi Pasal 28B UUD 1945: Hak Anak, Kewajiban Ayah
Konstitusi Republik Indonesia memberikan perhatian besar terhadap hak anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Di balik rumusan ini, tersimpan amanat moral negara dan orang tua, terutama ayah, memiliki tanggung jawab konstitusional yang sama, yakni memastikan setiap anak tumbuh dalam cinta dan keadilan.
Sayangnya, dalam realitas sosial, banyak anak yang tumbuh tanpa kehadiran figur ayah atau Fatherless. Tidak sedikit ayah yang hadir secara biologis namun absen secara emosional.
Padahal, keadilan dan perlindungan yang diperintahkan konstitusi itu bermula dari rumah. Negara hanya bisa kuat jika keluarga kuat, dan keluarga hanya bisa kuat jika ayah memegang perannya dengan penuh tanggung jawab.
Kehadiran ayah bukan hanya simbol otoritas, melainkan simbol keseimbangan. Dalam diri ayah yang tegas namun penuh kasih, anak belajar menempatkan keadilan bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai upaya menumbuhkan kebaikan. Pendidikan konstitusional paling awal yang seharusnya terjadi dalam keluarga adalah membentuk kesadaran hukum, etika, dan empati.
Negara dapat menegakkan hukum melalui lembaga peradilan, tetapi seorang ayah menegakkan keadilan melalui kehadiran dan cinta. Di sinilah peran keduanya saling melengkapi. Konstitusi menjaga sistem, sementara ayah menjaga nurani. Dan tanpa nurani yang adil, hukum hanya menjadi teks tanpa jiwa.
Keteladanan Ayah dan Krisis Keadilan Sosial
Keadilan sosial, sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila, bukanlah sekadar prinsip ekonomi atau politik. Ia adalah cara pandang hidup yang bermula dari rumah.
Di sanalah seorang ayah mengajarkan anaknya untuk berbagi, bekerja keras, menghargai hak orang lain, dan menahan diri dari keserakahan. Rumah menjadi miniatur negara, dan ayah adalah kepala negaranya.
Krisis keadilan sosial yang sering kita keluhkan hari ini sesungguhnya berakar dari krisis keteladanan di tingkat keluarga. Ketika ayah tidak lagi menjadi panutan dalam kejujuran, anak belajar meniru kepalsuan.
Ketika ayah lebih sibuk mengejar harta daripada nilai, anak belajar bahwa harga diri bisa digadaikan demi keuntungan. Inilah akar paling dalam dari degradasi moral yang perlahan melumpuhkan bangsa.
Menjadi ayah berarti siap menjadi cermin. Anak-anak tidak hanya meniru kata-kata, tetapi meniru sikap dan keputusan. Ayah yang sabar membentuk anak yang bijak, ayah yang adil menumbuhkan anak yang jujur. Begitu pula bangsa, pemimpin yang adil akan menumbuhkan rakyat yang percaya pada negara.
Keteladanan adalah hukum tanpa pasal, tetapi pengaruhnya jauh lebih kuat daripada sanksi formal. Maka, Hari Ayah perlu menjadi pengingat bahwa keadilan sosial yang kita cita-citakan tidak akan terwujud tanpa keadilan personal yang diteladankan oleh para ayah di rumah-rumah Indonesia.
Negara sebagai Ayah Kolektif
Konstitusi menjadikan negara sebagai pelindung rakyat, sebagaimana ayah melindungi keluarganya. Amanat 'melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia' adalah refleksi paternalistik yang luhur yaitu negara wajib menuntun, mengayomi, dan menegakkan keadilan bagi seluruh warga tanpa pandang bulu.
Namun, dalam praktiknya, negara seringkali kehilangan wajah keayahannya. Ketika kebijakan ekonomi tidak berpihak pada petani kecil, ketika nelayan terpinggirkan oleh kebijakan impor, atau ketika keluarga miskin tak sanggup membeli bahan pokok, sesungguhnya negara sedang absen sebagai ayah. Ia hadir sebagai penguasa, bukan pelindung.
Menjadi negara yang adil berarti memiliki sifat seorang ayah yang tegas dalam prinsip, lembut dalam perlindungan, dan konsisten dalam menegakkan keadilan. Pemimpin yang meneladani karakter keayahaan tidak akan tega membiarkan rakyatnya lapar atau terpinggirkan. Ia akan turun langsung memastikan kebijakan publik berpihak pada kesejahteraan keluarga.
Karena itu, Hari Ayah bukan hanya perayaan emosional, melainkan momentum moral bagi seluruh pemimpin bangsa untuk menatap diri di cermin konstitusi. Hal ini menimbulkan pertanyaan 'sudahkah mereka menjadi ayah bagi rakyatnya? Sudahkah keadilan dan kasih berjalan seiring dalam setiap keputusan publik yang mereka buat?'
Mengembalikan Martabat Ayah, Menegakkan Konstitusi Keadilan
Menjadi ayah adalah tugas sejarah, bukan sekadar peran biologis. Ia adalah penjaga nilai-nilai konstitusional di level paling dasar, antara lain keadilan, tanggung jawab, dan cinta.
Ketika seorang ayah mendidik anaknya dengan kejujuran, ia sesungguhnya sedang menegakkan UUD 1945 di ranah moral. Ketika ia bekerja keras tanpa melupakan kasih, ia sedang melaksanakan Pancasila di tingkat keluarga.
Martabat seorang ayah tidak diukur dari kekayaannya, tetapi dari sejauh mana ia mampu menjadi teladan bagi anak dan masyarakatnya. Dalam diri ayah yang adil, terpantul nilai luhur bangsa. Dalam keputusannya yang penuh kasih, hidup semangat konstitusi yang melindungi yang lemah dan mengangkat yang tertindas.
Negara yang ingin kuat harus dimulai dari keluarga yang berkarakter. Dan karakter itu tumbuh dari teladan ayah yang menegakkan keadilan dengan kesabaran. Sebab keadilan bukan sekadar produk hukum, melainkan budaya yang ditanam dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Hari Ayah harus menjadi hari kebangkitan moral keluarga Indonesia. Saat para ayah menegakkan keadilan di rumah, mereka sesungguhnya sedang memperkuat pilar konstitusi bangsa.
Sebagaimana konstitusi menjaga bangsa, demikian pula ayah menjaga rumah tangganya dengan cinta, tanggung jawab, dan keadilan.
"Ketika ayah menegakkan keadilan di rumahnya, sesungguhnya ia sedang menegakkan konstitusi di dalam nurani bangsa,".
Johan Rosihan, Sekretaris F-PKS MPR RI
Simak juga Video: Menjaga Peran Ayah di Tengah Fenomena Fatherless











































