Siapa yang tidak ingin mendapat gelar sarjana di belakang namanya? Saya kira siapapun mau dan ingin mendapatkannya. Tapi permasalahan yang muncul adalah cara mendapatkan gelar itu sendiri. Selain niat, biaya juga perlu diperhitungkan dalam hal meraih gelar. Beberapa anak muda yang tidak bermasalah dengan biaya memang tak perlu memikirkan itu, tapi bagi anak yang mempunyai masalah dengan biaya, saya kira sulit untuk mewujudkan mimpinya untuk meraih gelar sarjana.
Tak sedikit, atau bahkan mungkin berhamburan anak-anak yang terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam di kolong tempat tidurnya, sekadar untuk meraih gelar. Beberapa dari mereka mengadu nasib dengan hanya membawa ijazah SMA yang semakin hari semakin tidak berguna, karena beberapa perusahaan mencantumkan syarat minimal S1. Beberapa lagi mencari-cari cara untuk dapat melanjutkan pendidikan dengan menggantungkan nasibnya kepada bantuan pemerintah.
Lalu, tidakkah ada solusi di balik permasalahan ini? Ada! Pemerintah telah mengeluarkan program bantuan pendidikan yang bernama KIP Kuliah. Tapi, saya kira tahun ini program ini tak berjalan dengan mulus seperti tahun sebelumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perubahan Kebijakan
Sekitar Maret lalu saya mendapat kabar bahwa ada perubahan kebijakan KIP Kuliah. Dari yang awalnya semua penerima KIP Kuliah, atau Bidikmisi pada saat itu mendapatkan bantuan biaya pendidikan dan hidup, kini dipecah menjadi dua skema, mendapatkan biaya pendidikan dan hidup, dan hanya mendapat bantuan biaya pendidikan saja.
Ini sangat kurang memuaskan dan tidak adil menurut saya. Karena sepengetahuan saya, anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun ini jauh lebih banyak dari tahun sebelumnya. Angkanya menyentuh Rp 11,7 Miliar, lebih naik dibandingkan dengan tahun lalu yang angkanya menyentuh Rp 9,9 Miliar. Kuota KIP Kuliah tahun ini pun masih sama dengan tahun sebelumnya, hanya menyediakan untuk 200 ribu penerima KIP Kuliah, itu pun masih harus dipecah dengan skema-skema.
Lalu kenapa kuota tahun ini tidak naik? Kemendikbud mengatakan bahwa pemecahan skema ini dilakukan karena adanya perubahan bantuan biaya pendidikan yang mengikuti akreditasi program studi dan bantuan biaya hidup yang berdasarkan indeks tempat kuliah.
Pemotongan Kuota Kuliah
Baru-baru ini, berita hangat tentang pemotongan kuota KIP Kuliah hingga 50% persen juga menjadi kabar duka yang mendalam, lebih-lebih bagi mereka yang memiliki status ekonomi kurang mampu. Beberapa universitas yang sebelumnya menyediakan kuota KIP Kuliah dengan angka di atas 1.000 kini turun drastis.
Kemungkinan besar mereka yang tidak mampu membayar uang kuliah akan kabur dan mengundurkan diri, bahkan mungkin kepercayaan mereka terhadap KIP Kuliah akan runtuh. Dan, itu sudah mulai terjadi; saya mendengar dan membaca banyak keputusan dari mereka untuk lebih baik mengundurkan diri.
Cerita-cerita mereka tentang perjuangan mendapatkan bantuan KIP Kuliah, bahkan keresahan yang dialami oleh kakak-kakak gap year yang mengatakan bahwa harapan mereka untuk melanjutkan pendidikan semakin kecil dan terus menipis. Saya tidak tahu alasannya, tapi kenapa tidak ada pengalihan anggaran yang serius untuk KIP Kuliah untuk generasi penerus mereka? Bukankah ini adalah salah satu usaha untuk menciptakan Indonesia Emas 2045?
Mencari Solusi
Dengan munculnya problem ini, beberapa kawan yang saya kenal dan tidak saya kenal membuat petisi untuk ditandatangani oleh mereka yang merasa terbebani dengan kebijakan ini. Sekadar untuk menarik perhatian Kemendikbud, syukur-syukur jika Kementerian Keuangan juga sudi melirik. Masalah problem ini dipecahkan atau tidak, itu tergantung mereka. Tetapi saya berharap bahwa mereka benar-benar sedikit meluangkan waktu untuk mendiskusikan problem ini.
Untuk saat ini, petisi telah ditandatangani oleh sekitar 15 ribu orang, dan mungkin akan bertambah. Kami juga telah berbicara mengenai problem ini kepada Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat dengan laporan agar kuota dan anggaran KIP Kuliah dinaikkan. Dengan menjelaskan kondisi riil yang dialami oleh penerima KIP Kuliah maupun yang gagal menerima KIP Kuliah.
Saya teramat sangat berharap bahwa instansi yang berkaitan dengan problem ini mendengar kata-kata kami dan memberikan solusi, serta jika perlu mari berbicara secara transparan, tanpa tedeng aling-aling. Maksud saya, agar mulut kami tidak sia-sia berbicara sampai mengeluarkan busa.
Simak juga 'Kisah Jizun Pengembala Asal Lombok: Studi Animal Science sampai S3 di Amerika':