Di sisi lain, ada pula yang menganggap tidak apa-apa ideologinya tetap Pancasila, nama negaranya tetap NKRI, tetapi kanon hukum dan sumber rujukan haruslah (sumber hukum) Islam. Kalau bisa, frasa 'dan melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya' yang dihapus dari Piagam Jakarta itu dimunculkan kembali. Biar sila 'Ketuhanan' yang melambangkan semangat ketauhidan, kalau kata Rizieq Shihab, tidak 'ditaruh di pantat tapi di kepala'. Thus, besarnya gairah pengimpelentasian Islam dalam sistem politik telah mendorong lahirnya pelbagai organisasi masyarakat dan partai politik. FPI, HTI, dan yang semisalnya mewakili organisasi kemasyarakatan. Partai Keadilan yang kemudian menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) menjadi partai bercorak Islam lain selain PPP, PKB, PBB, dan PAN.
Namun demikian, rupanya gairah besar terhadap pengekspresian Islam dalam politik praktis tidak serta-merta meningkatkan elektabilitas dan pemerolehan suara parpol-parpol yang (mengklaim diri sebagai parpol yang) berlandaskan Islam. Dengan kata lain: parpol-parpol 'sekuler' tetap mampu mendominasi. Di Jawa Barat pada Pileg 2014 misalnya, PDI-P menang di 19 dari 27 Kabupaten/Kota. Golkar menang di 5 tempat, sedangkan Demokrat menang di Kabupaten Cianjur. Satu-satunya parpol Islam yang menang hanya PPP, itu pun di dua tempat: Kota dan Kabupaten Tasikmalaya. PKB, yang memiliki ikatan dengan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, kalah. Begitu juga PKS yang disalip PDI-P bahkan di kantung suaranya sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Skenarionya, boleh jadi begini: pertama, kita lebih fokus pada 'kadar keislaman' figur yang dicalonkan atau diusung. Kita tidak 'terlalu' melihat partainya, kita melihat tokohnya. Dalam konteks Pilgub Jakarta, misalnya, kita tahu bahwa Anies-Sandi bukanlah kader parpol Islam tertentu. Mereka juga diusung oleh partai 'sekuler' semisal Gerindra. Dalam kadar keislaman, kita mungkin bisa berdebat ihwal apakah Anies-Sandi ini tipikal santri atau abangan. Tetapi mereka berhasil meraih suara massa (Muslim), bagaimanapun, dengan pelbagai pertimbangan: mulai dari yang jengkel pada kinerja Ahok sampai yang jengkel karena sentimen agama dan kesukuan.
Masifnya pengobralan 'kepentingan Islam' dalam diskusi politik hari ini telah sampai pada situasi di mana caleg atau cagub/capres merasa harus (1) menawarkan program-program 'Islami', (2) 'mengingatkan' masyarakat betapa mereka telah berhaji, (3) mengajak kepada pelaksanaan ritual keislaman, dan (4) memenuhi kadar kriteria kesalehan ala Fahri 'Ayat-ayat Cinta'. Ridwan Kamil, misalnya, yang kadang dituding dekat dengan Syiah dan pro-LGBT, berusaha 'membuktikan' betapa dirinya tidak kalah salehnya dengan paslon lain karena punya program pro-Muslim mulai dari gerakan subuh berjamaah, kredit di 'lingkungan masjid', hingga penguatan ekonomi pesantren. Ridwan Kamil juga 'mengingatkan' orang bahwa pada dirinya mengalir darah ulama kalangan tradisionalis.
Keterfokusan kita pada kadar religiusitas figur yang diusung kemudian membuat eksplorasi 'dosa' menjadi alat serangan balik yang efektif bagi lawan politik. Misalnya, ketika Abdullah Azwar Anas hendak maju sebagai Cawagub di Jawa Timur, muncul foto (mirip) dirinya dengan 'kaki perempuan'. Atau, bagaimana Dedi Mulyadi dikeroyok dengan tudingan musyrik dan dukun. Jokowi dituding anti-Islam dan (antek) PKI tidak peduli seberapa sering pun Jokowi sowan ke markasnya kaum santri. Kita eksplorasi dosa-dosa lawan politik, dan kita menawarkan diri untuk menjadi hakim.
Di sisi lain, kita kemudian mencari figur 'ideal' pemimpin Islami. Kita mulai mencari alternatif untuk kebutuhan tersebut. Adakah kira-kira yang secara kemampuan berpolitik dapat diandalkan tetapi dalam kapasitas keilmuan dan akhlak juga dapat dijadikan panutan? Karena, rupanya tidak semua yang saleh dan alim secara keilmuan memiliki kemampuan yang diperlukan untuk memimpin. Tidak semua hafiz al-Qur'an punya kharisma, pengaruh, visi, dan kemampuan manajerial. Faktanya, sejauh yang saya ketahui, di antara masalah akut pesantren tradisional adalah kiai mereka sangat alim, pintar ilmu agama, tetapi tidak mengerti caranya memimpin dan mengelola sehingga jika tidak gagal bertumbuh dan menjawab perubahan zaman, maka gagal melakukan kaderisasi.
Pada titik inilah kemudian nama Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat, muncul. Dari segi nasab, dia keturunan ulama, memiliki basis massa yang kuat di kalangan (setidaknya) Nahdlatul Wathon. Dia seorang hafiz dan ulama, yang dalam usia muda berhasil menjadi gubernur. Sepak terjangnya dalam memimpin kemudian membuat orang merasa bahwa TGB ini cocok untuk diusung sebagai pemimpin bangsa: jika tidak presiden, ya wapres. Belakangan ini kita melihat TGB melakukan safari 'Nusantara' yang kemudian membuat nama beliau semakin masuk bahasan di bursa calon presiden dan wakil presiden RI.
Hanya, survei nasional dari Populi per Februari 2018 menunjukkan nama TGB ada di jajaran bottom 12 untuk capres, kalah dari Anies tetapi menang dari Cak Imin. Namanya juga tidak masuk top 10 cawapres pilihan. Elektabilitasnya di bawah 1% baik ketika dipasangkan dengan Jokowi maupun dengan Prabowo sebagai dua figur 'utama' di panggung Pilpres 2019. Nama-nama yang popular masih dari kalangan, katakanlah, abangan, mulai dari Jokowi, Prabowo, Jusuf Kalla, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, hingga Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti.
TGB Zainul Majdi butuh lebih dari sekadar dukungan massa Nahdlatul Wathon; dia juga butuh merangkul massa 'organisasi sepupu': Nahdlatul Ulama (NU). Hanya, kita tahu bahwa NU lebih sering memberi keleluasaan kadernya untuk bebas memilih; NU jarang mendeklarasikan dukungan secara official terhadap calon tertentu. Pekerjaan rumah TGB makin besar. Tetapi dinamika politik amat luwes. TGB mungkin jadi figur alternatif yang dianggap ideal, tetapi sejauh ini mayoritas masyarakat belum akan memilihnya. Sepertinya. Tidak tahu besok lusa.
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting
(mmu/mmu)











































