Sudah mereda sabda Hamengkubuwono X yang kontroversial itu. Tapi jangan harap ini akan selesai. Ini bisa berlarut-larut dan berpanjang-panjang masalah. Mungkin akan mengikuti jejak Mataram lain (Solo), dan meniru Kacirebonan.
Semoga gonjang-ganjing ini tidak mengikuti geger Majapahit. Bakar-bakaran istana. Raja bergonta-ganti hanya dalam hitungan bulan. Dan akibat itu empat tahun hilang dalam catatan sejarah, seperti diungkap Prof Slamet Iman Santoso.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi semaju apapun, kultus adalah perekat. Ini yang menjaga dari zaman ke zaman raja menempati posisi sentral dalam tataran dunia adi-kodrati. Sebagai pusat sabda dan dawuh. Tidak disoal salah atau benar, karena semua dianggap datang dari langit.
Aksesori kultus adalah ritus. Ini senjata paling ampuh untuk mempertahankan kuasa. Ritus itu permisif terhadap agama atau kepercayaan apapun. Sebab kata Prof DR Simuh, orang Jawa itu pandai. Agama apa saja dipersilakan masuk, tapi dia belum tentu memeluknya. Ini alat tawar sang raja, agar tetap menduduki tahta tinggi di dunia adi-kodrati tadi.
Maka Mataram, kendati yang mendirikan kerajaan ini adalah Panembahan Senopati, tetapi harus banyak-banyak bersyukur terhadap Sultan Agung raja ketiga. Dialah raja cerdas Mataram yang βmengIslamkanβ kerajaan tanpa mengusik realitas kepercayaan rakyatnya.
Berkat raja ini kekuasaan Mataram meluas. Berkat Sultan Agung sekatenan yang berinti memperingati βsangkan paraning dumadiβ, asal dan akhir hidup yang tertuang dalam tumpeng (simbol lingga dan yoni = penyatuan kemaluan perempuan dan kemaluan laki-laki) berubah menjadi perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Dan berkat raja ini pula Raja Mataram bergelar berpanjang-panjang kata yang terkesan Islami.
Hamengkubuwono IX mampu menjaga harmonisasi langit dan bumi itu. Ritus rutin digelar. Cegah lek lan cegah dahar (mengurangi tidur dan mengurangi porsi makan) tetap dilakukan di mana saja, seperti disyaratkan Mangkunegara IV dalam Wedhatama. Juga tidak banyak bicara terhadap apa yang disuka atau yang dibenci.
Kondisi itu berubah drastis ketika Hamengkubuwono X naik tahta. Raja yang moderat ini menghilangkan sebagian ritus. Banyak mengkritisi berbagai soal yang sedang mengemuka. Ditambah angka sepuluh diotak-atik gathuk (tidak nyambung tetapi disambung-sambungkan) sebagai angka nol yang ditaksir sebagai indikator Mataram tanpa raja, maka lambat tapi pasti terjadilah degradasi kultus itu.
Saya masih ingat ketika bertandang ke rumah Mbah Marijan almarhum. Ketika tidak nampak di dinding gambar HB X saya tanya, "Mana gambar sang raja, Mbah?". Dia tidak mau menjawab secara eksplisit, hanya menghitung HB satu hingga hitungan kesembilan. Dan itu dilakukan berulang-kali.
Ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta, saya juga sempat bertemu Mbah Nono, juru kunci Parangtritis yang sudah almarhum juga. Saat saya tanya soal gempa, dengan diplomatis sang juru kunci ini mengatakan, "Saya berjaga di Selatan, Marijan (Mbah Marijan, red) di Utara, eh yang jebol di tengah. Bagaimana ini mas Joko.β
Artinya, degradasi kultus itu sudah berlangsung lama dan akut. Ditambah Raja Jawa sekarang sekaligus Gubernur Yogyakarta berdasar aturan yang baru, serta keluarga kraton yang kawin-mawin dengan pihak luar dengan berbagai kepentingan, maka sabda HB X ini menjadi pemantik. Pemantik terjadinya revolusi.
Sabda raja kini memang tidak lagi sabda pandita ratu yang mewakili sabda langit dan bumi. Maka jika Pembayun telah dinobatkan sebagai Mangkubumi, kini atau nanti geger itu bakal terjadi lagi. Adakah raja yang idu geni itu akan menjilat ludahnya sendiri?
Mbah Marijan, Mbah Nono
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini