Sejak kecelakan itu saya terus berpikir bagaimana cara mengurangi kemungkinan terjadi lagi kecelakan serupa, tidak saja di perlintasan Pondok Betung tetapi di lebih dari 5.200 perlintasan sebidang di seluruh Indonesia (Jawa dan Sumatra). Kemungkinan sudah jutaan manusia meregang nyawa di perlintasan-perlintasan tersebut sejak kereta api pertama dioperasikan dari Desa Kemijen, pada Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr LAJ Baron Sloet van den Beele.
Kecelakaan di perlintasan semakin banyak ketika pertumbuhan wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera tidak terkendali, terjadinya ledakan penduduk paska gagalnya Program Keluarga Berencana 15 tahun belakangan ini, mudahnya memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kepolisian yang berkibat kedisiplinan masyarakat di jalan raya semakin buruk karena tidak memahami kesantunan berlalu lintas serta tidak paham rambu-rambu lalu lintas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Daerah jelas bertanggungjawab terhadap pembangunan wilayahnya yang tidak terencana dengan baik, sehingga banyak memotong jalur KA. Pemda seharusnya menyiapkan jalur tidak sebidang ketika pengembangan wilayahnya memotong perlintasan KA. Kepolisian jelas terkait dengan penegakan hukum. Kalau kecelakaan di perlintasan KA terus terjadi, apa kerjanya Kepolisian dan Pemerintah Daerah?
Problematik di Perlintasan Sebidang
Sampai hari ini belum ada keputusan pihak Kepolisian tentang siapa yang bersalah dalam kecelakaan di perlintasan Pondok Betung, Bintaro. Polisi masih terus mencari bukti-bukti, termasuk memeriksa penjaga pintu dan jajaran PT KAI yang bertanggungjawab, saksi mata warga yang melihat detik-detik tabrakan, sopir dan kenek sopir tangki. Saya bingung dengan upaya pihak Kepolisian menyingkap penyebab kecelakaan tersebut.
Penyebabnya jelas kok, yaitu soal ketidakdisiplinan pengemudi/pengendara dan lemahnya penegakan hukum oleh Kepolisian sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Terkait dengan peristiwa kecelakaan di atas, pada dasarnya Kepolisian harus memahami dan menjalankan dua (2) UU sebagai dasar hukum memutuskan siapa yang bersalah, yaitu UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sayangnya meski sudah jelas bahwa truk tangki menerobos lintasan saat lampu dan suara tanda bahwa KRL 1131 akan lewat sudah menyala dan berbunyi, meskipun palang pintu belum menutup sempurna. Jelas, sopir truk telah melanggar UU No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Lalu apa lagi yang akan dicari tahu pihak Kepolisian? Publik merasa pihak Kepolisian buying time dan melakukan business as usual.
Dari sisi UU No 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, keberadaan truk tangki BBM di jalan pemukiman (jalan kelas 3) tersebut pastinya juga melanggar karena sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) huruf c, itu jalan pemukiman yang maksimum hanya boleh dilalui oleh kendaraan dibawah 8 ton. Kelas kendaraan harus disesuaikan dengan ukuran dan muatan sumbu terberat kendaraan. Bukan asal lewat saja. Apa jawaban Kepolisian soal ini? Belum ada!
Keberadaan truk tangki BBM berisi 24.000 liter Premium di jalan kelas 3 tersebut dilarang karena bobotnya yang besar melebihi daya tampung jalan, dan mengganggu laju kendaraan lain. Selain itu ada pelanggaran lain, yaitu truk tangki tersebut mengangkut Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) melalui daerah pemukiman. Pertanyaannya, mengapa aparat Kepolisian membiarkan pelanggaran UU ini terus berlangsung? Apa ada 'upeti' khusus untuk bisa melalui jalan pintas tersebut ? Mungkin hanya oknum Polisi dan Tuhan yang tahu.
Menurut saya secara hukum patut diduga selama ini Kepolisian memang telah melakukan pembiaran, tidak saja di perlintasan Bintaro tetapi juga di perlintasan-perlintasan sebidang lainnya. Anda bisa bayangakan seberapa besar bahaya yang menanti kita sebagai akibat kecerobohan Kepolisian dan adanya pembiaran yang berarut-larut? Jadi tidak salah jika saya beranggapan bahwa saat kita semua sedang mengikuti arisan di jalan raya, yaitu arisan nyawa.
Langkah Penanganan Supaya Tidak Berulang
Semoga dari kupasan di atas Kepolisian segera dapat menetapkan tersangka kasus tabrakan di perlintasan Pondok Pucung, Bintaro minggu lalu. Ini perlu untuk kepastian hukum bagi para shuhada PT KCJ dan 4 orang penumpang yang harus meregang nyawa akibat ulah orang yang tidak bertanggungjawab. Selain itu supaya jelas juga secara hukum siapa yang harus menanggung biaya kerusakan yang terjadi.
Selain itu Pimpinan Polri harus menindak secara tegas oknum Kepolisian yang telah membiarkan pelanggaran tersebut terus berlangsung sehingga terjadilah kecelakaan maut itu. Lalu berhentilah bermain-main dengan hukum karena Polri adalah aparat penegak hukum. Jika ingin dihormati dan didukung publik, jadilah aparat penegak hukum yang baik dan berpihak pada kebenaran. Jangan salahkan publik jika sampai hari ini kita apatis terhadap institusi Polri.
*) Agus Pambagio, Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini