Negara-negara Barat memberikan reaksi bernada skeptis terhadap proposal gencatan senjata di Ukraina yang diajukan China saat peringatan setahun invasi Rusia. Beijing dinilai tidak memiliki kredibilitas yang cukup untuk menjadi mediator perdamaian antara Kiev dan Moskow.
"Setiap proposal yang bisa memajukan perdamaian adalah sesuatu yang layak dilihat. Kami sedang memeriksanya," ucap Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken dalam pernyataan kepada program televisi ABC 'Good Morning America', seperti dilansir Reuters, Sabtu (25/2/2023).
"Tapi Anda tahu, ada 12 poin dalam rencana China. Jika mereka serius soal yang pertama, kedaulatan, maka perang ini bisa berakhir besok," sebutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"China telah berusaha untuk mendapatkan kedua sisi: Di satu sisi berupaya menampilkan diri secara publik sebagai pihak netral dan mencari perdamaian, sementara pada saat bersamaan, membahas narasi palsu Rusia soal perang," ujar Blinken menuding Beijing.
Ditambahkan Blinken bahwa China telah memberikan bantuan non-lethal atau tidak mematikan untuk Rusia melalui perusahaan-perusahaannya. Dia juga menegaskan kembali tudingannya bahwa Beijing 'sekarang tengah mempertimbangkan bantuan mematikan'.
Berbicara kepada wartawan di Estonia, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menekankan bahwa China telah menandatangani perjanjian dengan Rusia, hanya beberapa hari sebelum invasi dilancarkan ke Ukraina setahun lalu.
"China tidak memiliki banyak kredibilitas karena mereka tidak mampu mengecam invasi ilegal ke Ukraina," tegas Stoltenberg.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Kami akan melihat prinsip-prinsipnya, tentu saja, tapi kami akan melihatnya dengan latar belakang bahwa China telah memihak," cetusnya.
Pada peringatan setahun invasi yang dilancarkan Rusia ke Ukraina, Jumat (24/2) waktu setempat, China menyerukan gencatan senjata secara komprehensif -- usulan yang ditolak Kiev kecuali melibatkan penarikan pasukan Moskow sepenuhnya.
Dalam dokumen yang menjelaskan posisinya, seperti dilansir CNN, Kementerian Luar Negeri China menyerukan dilanjutkannya perundingan damai, diakhirinya sanksi-sanksi secara sepihak, dan menekankan sikapnya menentang penggunaan senjata nuklir.
Posisi itu telah dijelaskan oleh Presiden Xi Jinping kepada beberapa pemimpin Barat tahun lalu.
Dokumen berisi 12 poin yang dirilis China itu menjadi bagian dari upaya Beijing untuk menampilkan dirinya sebagai perantara perdamaian yang netral, di tengah perjuangan untuk menyeimbangkan hubungan 'tanpa batas' yang dijalin dengan Moskow dan hubungan yang rusak dengan Barat saat perang berlanjut.
"Konflik dan perang tidak menguntungkan siapapun. Semua pihak harus tetap rasional dan menahan diri, menghindari untuk mengobarkan api dan memperparah ketegangan, dan mencegah krisis semakin memburuk atau semakin lepas kendali," cetus dokumen rencana perdamaian yang diusulkan China itu.
Klaim Beijing soal posisinya yang netral telah dirusak oleh penolakannya mengakui sifat konflik di Ukraina, dengan sejauh ini menghindari untuk menyebutnya sebagai 'invasi', juga adanya dukungan diplomatik serta ekonomi kepada Rusia.