Mengintip Gang Venus Tambora yang Tak Lagi Gelap

Warga beraktivitas di Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta pada 2022 mencatat Tambora dihuni lebih dari 275 ribu jiwa di area hanya 5,40 kilometer persegi. Dengan 92.360 kepala keluarga yang tinggal berdesakan, satu rumah bisa dihuni lebih dari satu KK

Omi, perempuan paruh baya asal Ciamis yang merantau ke Tambora sejak 1983, sudah sangat hafal dengan suasana itu. Ia tinggal bersama suaminya di rumah berukuran 2x2 meter. 

Kepadatan itu membuat kawasan ini rentan terhadap kebakaran, yang kerap dipicu korsleting listrik.

Namun, sejak kebakaran itu, satu hal berubah: gang ini tak lagi gelap. Warga tak lagi diperbolehkan mendirikan bangunan atau menutup bagian atas jalan.

Langit-langit yang terbuka membuat cahaya masuk, menghilangkan lorong-lorong gelap yang dulu sering menjadi sumber kekhawatiran.

Meski hidup berhimpitan dan dibayangi risiko kebakaran, warga tetap menjalani aktivitas sehari-hari dengan rukun.

Mereka bercengkerama, menjemur pakaian, memasak di teras kecil, dan saling menjaga satu sama lain, sebuah rutinitas yang mencerminkan ketangguhan masyarakat urban.

Motor-motor terparkir rapat di sepanjang lorong, sebagian bersebelahan dengan dapur-dapur rumah yang menempel satu sama lain.

Di sudut lain, warga antre bergiliran menggunakan WC umum, pemandangan yang sudah biasa di salah satu kecamatan terpadat di Jakarta.

Warga beraktivitas di Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta pada 2022 mencatat Tambora dihuni lebih dari 275 ribu jiwa di area hanya 5,40 kilometer persegi. Dengan 92.360 kepala keluarga yang tinggal berdesakan, satu rumah bisa dihuni lebih dari satu KK
Omi, perempuan paruh baya asal Ciamis yang merantau ke Tambora sejak 1983, sudah sangat hafal dengan suasana itu. Ia tinggal bersama suaminya di rumah berukuran 2x2 meter. 
Kepadatan itu membuat kawasan ini rentan terhadap kebakaran, yang kerap dipicu korsleting listrik.
Namun, sejak kebakaran itu, satu hal berubah: gang ini tak lagi gelap. Warga tak lagi diperbolehkan mendirikan bangunan atau menutup bagian atas jalan.
Langit-langit yang terbuka membuat cahaya masuk, menghilangkan lorong-lorong gelap yang dulu sering menjadi sumber kekhawatiran.
Meski hidup berhimpitan dan dibayangi risiko kebakaran, warga tetap menjalani aktivitas sehari-hari dengan rukun.
Mereka bercengkerama, menjemur pakaian, memasak di teras kecil, dan saling menjaga satu sama lain, sebuah rutinitas yang mencerminkan ketangguhan masyarakat urban.
Motor-motor terparkir rapat di sepanjang lorong, sebagian bersebelahan dengan dapur-dapur rumah yang menempel satu sama lain.
Di sudut lain, warga antre bergiliran menggunakan WC umum, pemandangan yang sudah biasa di salah satu kecamatan terpadat di Jakarta.