Detak Kehidupan di Kampung Pemulung Bintara Jaya
Tumpukan plastik memenuhi sudut kampung, menjadi pemandangan harian bagi warga pemulung di kawasan Bintara, Bekasi. Ribuan keluarga bergantung pada sampah-sampah ini sebagai sumber penghasilan.
Para pemulung menyisir jalan sejak pagi mencari botol plastik dari tong sampah hingga tepi jalan. Gerobak dan karung menjadi alat andalan untuk menampung temuan mereka. Di antara para pemulung, terdapat sosok Oing (70), yang sudah berpengalaman dua dekade menggeluti profesi itu. Ia datang dari Karawang setelah lahan sawah di kampung halamannya kian menyusut. Banyak rekannya lebih dulu merantau dan menjadi pemulung hingga akhirnya ia mengikuti jejak mereka.
Pekerja memilah sampah plastik sambil berhadapan dengan risiko penyakit kulit dan luka akibat beling. Perlindungan minim membuat pekerjaan ini penuh bahaya.
Kampung yang berbatasan langsung dengan Jakarta Timur ini pernah dilanda kebakaran besar pada 2023. Tumpukan plastik membuat api saat itu cepat menjalar dan meninggalkan trauma mendalam.
Kampung ini tetap berdetak dari tangan-tangan yang tak pernah lelah bekerja. Pendapatan mereka rata-rata berkisar Rp2–3 juta per bulan, bergantung pada seberapa banyak sampah yang berhasil dipilah.
Setelah dikumpulkan, sampah-sampah itu berpindah ke tangan pengepul yang lebih besar di dalam kampung. Di sana, tumpukan plastik diakumulasi hingga berton-ton sebelum digiling.
Plastik-plastik itu kemudian dipilah kembali sesuai warnanya dan diolah menjadi biji plastik yang kelak dialirkan ke pabrik untuk menjadi barang baru sebuah siklus panjang yang dimulai dari gerobak pemulung kecil di Bintara Jaya.
Di sinilah ribuan kilogram plastik ditampung sebelum diproses lebih lanjut. Dalam dua minggu, pemulung seperti Oing bisa membawa pulang Rp300–400 ribu untuk kebutuhan rumah.
Kehidupan di Kampung Pemulung Bintara terus berjalan meski dibayangi polusi, risiko kesehatan, dan banjir karena hidup di dataran rendah.
Dengan keteguhan, warga bertahan demi kelangsungan hidup keluarga mereka.