Drama Panjang Kasus Setya Novanto Berujung Bebas Bersyarat

Sejak era Reformasi, Setya Novanto meniti karier politiknya dari level Golkar hingga menjabat Ketua DPR RI. Ia pertama kali menjadi anggota DPR pada 1999 dan terus terpilih hingga akhirnya menguasai kursi Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR RI. (Agung Pambudhy/detikcom)
Pada puncak kekuasaannya sebagai Ketua DPR, pada Desember 2015, ia terjerat skandal “Papa Minta Saham”—dalam sebuah rekaman, ia diduga menuntut 20% saham Freeport Indonesia. Kasus ini memicu kecaman luas dan berujung permintaan maaf serta pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR. (Lamhot Aritonang/detikcom)
Setya kemudian merangkul kembali kekuasaan: pada Mei 2016, ia terpilih sebagai Ketua Umum Golkar dan berhasil membalik dukungan partai ke pemerintahan, hingga akhirnya diangkat kembali menjadi Ketua DPR pada November 2016. (Lamhot Aritonang/detikcom)
Drama politiknya terus berlanjut: pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya tersangka dalam kasus korupsi e‑KTP. Setya sempat menang praperadilan dan status itu gugur pada September, tapi hanya dua bulan kemudian, statusnya ditetapkan kembali oleh KPK. (Agung Pambudhy/detikcom)
Pada November 2017, dalam gejolak penyidikan KPK, Setya bahkan sempat terlibat dalam insiden “kecelakaan” mobil yang menabrak tiang listrik—insiden ini cepat menjadi bahan ejekan publik dan meme di media sosial. (Dok. Setya Novanto)
Sidang perdana kasus e‑KTP dimulai Desember 2017. Dalam persidangan, Setya kerap mengaku sakit dan menghindar dari pertanyaan hakim—yang dianggap banyak pihak sebagai taktik untuk menunda jalannya sidang. (Agung Pambudhy/detikcom)
Pada April 2018, pengadilan memutuskan Setya terbukti korupsi e‑KTP dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta (subsider 3 bulan), serta kewajiban membayar uang pengganti dan larangan menduduki jabatan publik selama lima tahun. (Ari Saputra/detikcom)
Selama di penjara, banyak sorotan tentang perlakuan istimewa terhadapnya. Ia sempat dirawat di rumah sakit hingga tertangkap kamera berbelanja di mal, yang memicu kritik terhadap sistem pemasyarakatan. (Dok. Istimewa)
Perjalanan hukum belum selesai. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK), dan memotong vonisnya dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun. Setelah menjalani dua pertiga masa tahanan, Setya memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat. (Ari Saputra/detikcom)
Akhirnya, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin. Pengusulan disetujui oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan pada 10 Agustus, dan pembayaran denda serta uang pengganti sudah diselesaikan. Ia wajib lapor hingga 2029 dan pembebasan ini disetujui sesuai prosedur. (Pradita Utama/detikcom)
Sejak era Reformasi, Setya Novanto meniti karier politiknya dari level Golkar hingga menjabat Ketua DPR RI. Ia pertama kali menjadi anggota DPR pada 1999 dan terus terpilih hingga akhirnya menguasai kursi Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR RI. (Agung Pambudhy/detikcom)
Pada puncak kekuasaannya sebagai Ketua DPR, pada Desember 2015, ia terjerat skandal “Papa Minta Saham”—dalam sebuah rekaman, ia diduga menuntut 20% saham Freeport Indonesia. Kasus ini memicu kecaman luas dan berujung permintaan maaf serta pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR. (Lamhot Aritonang/detikcom)
Setya kemudian merangkul kembali kekuasaan: pada Mei 2016, ia terpilih sebagai Ketua Umum Golkar dan berhasil membalik dukungan partai ke pemerintahan, hingga akhirnya diangkat kembali menjadi Ketua DPR pada November 2016. (Lamhot Aritonang/detikcom)
Drama politiknya terus berlanjut: pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya tersangka dalam kasus korupsi e‑KTP. Setya sempat menang praperadilan dan status itu gugur pada September, tapi hanya dua bulan kemudian, statusnya ditetapkan kembali oleh KPK. (Agung Pambudhy/detikcom)
Pada November 2017, dalam gejolak penyidikan KPK, Setya bahkan sempat terlibat dalam insiden “kecelakaan” mobil yang menabrak tiang listrik—insiden ini cepat menjadi bahan ejekan publik dan meme di media sosial. (Dok. Setya Novanto)
Sidang perdana kasus e‑KTP dimulai Desember 2017. Dalam persidangan, Setya kerap mengaku sakit dan menghindar dari pertanyaan hakim—yang dianggap banyak pihak sebagai taktik untuk menunda jalannya sidang. (Agung Pambudhy/detikcom)
Pada April 2018, pengadilan memutuskan Setya terbukti korupsi e‑KTP dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta (subsider 3 bulan), serta kewajiban membayar uang pengganti dan larangan menduduki jabatan publik selama lima tahun. (Ari Saputra/detikcom)
Selama di penjara, banyak sorotan tentang perlakuan istimewa terhadapnya. Ia sempat dirawat di rumah sakit hingga tertangkap kamera berbelanja di mal, yang memicu kritik terhadap sistem pemasyarakatan. (Dok. Istimewa)
Perjalanan hukum belum selesai. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK), dan memotong vonisnya dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun. Setelah menjalani dua pertiga masa tahanan, Setya memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat. (Ari Saputra/detikcom)
Akhirnya, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin. Pengusulan disetujui oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan pada 10 Agustus, dan pembayaran denda serta uang pengganti sudah diselesaikan. Ia wajib lapor hingga 2029 dan pembebasan ini disetujui sesuai prosedur. (Pradita Utama/detikcom)