Potret Manusia Gerobak Bertarung Hidup di Ibu Kota

Memasuki bulan suci Ramadan dan Idul Fitri, sejumlah manusia gerobak mulai terlihat memadati pinggiran jalan Ibu Kota Jakarta.
Salah satunya keluarga Satur (53th), Pria yang tinggal di gerobak bersama istrinya Amel (32th) serta anak-anaknya Ikhsan (9th) dan Septi (8th). Hampir 2 tahunan sudah mereka tinggal di gerobak berwarna cokelat ini.
Gerobak inilah yang menjadi rumah sekaligus alat kerja mereka untuk mencari makan dengan memulung.
Mereka berkeliling untuk mencari barang bekas seperti kardus dan botol bekas untuk ditukarkan dengan uang. Untuk mengumpulkan barang-barang tersebut, biasanya mereka berkeliling sekitar Condet, PGC, Cawang.
Penghasilan yang didapatkan dari menjual kardus dan botol bekas dalam sehari, Satur biasa mengumpulkan sebanyak 6kg kardus bekas dengan upah 2.500/kg. Sedangkan botol-botol bekas yang ia kumpulkan 1.500/kg. Dari hasil penjualan barang bekas, ia dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebelumnya, Satur dan keluarga tinggal di sebuah kontrakan kecil. Namun, karena mengingat penghasilan sebagai pemulung tidaklah cukup untuk membayar kontrakan dan makan sehari-hari, ia lebih untuk tinggal di jalanan bersama keluarganya dengan bermodalkan gerobaknya tersebut.
Hal yang paling ditakutkan oleh Satur dan keluarga adalah kehadiran para petugas Satpol PP. Ia dan Istrinya sangat khawatir jika anaknya tertangkap satpol PP akan dibawa ke Panti Sosial. Jika itu terjadi, Satur dan istri harus menebus anaknya dengan uang sebesar 300ribu.
Dibalik pekerjaannya sebagai pemulung yang tinggal di gerobak, Satur beserta keluarga tetap merasakan bahagia. Dirinya berharap bisa terus bersama-sama dengan keluarganya.
Begitu juga dengan anaknya Ikhsan dan Septi yang ingin sekali merasakan duduk di bangku sekolah. Ikhsan menyempatkan untuk membuka buku untuk belajar menulis sendiri disaat ibu dan bapaknya sedang mengumpulkan barang bekas.
Fenomena manusia gerobak ini juga menjadi sebuah realita dan kondisi pendatang yang ingin mencari peruntungan di Jakarta, tapi tak dibekali dengan kemampuan yang matang untuk bersaing dan bertahan hidup.
Jalan hidup yang dipilih ini bukan karena keinginan mereka, tapi keterpaksaan dan keadaanlah yang memaksa untuk bertahan dan menjalani hidup di sebuah gerobak.
Sebuah gerobak kayu dengan ukuran yang memprihatinkan itu dijadikan kendaraan sebagai ‘alat kerja’ sekaligus rumah tempat tinggalnya. Di gerobak itulah mereka mengumpulkan barang bekas yang bisa dijual kembali.