Begini Adu Meriam di Pesta Rakyat Kuluwung Sunda

Pesta rakyat yang digelar lima tahunan ini terasa sangat meriah. Sebab, sempat tertunda akibat pandemi dan kini masing-masing desa bisa terus menambah amunisinya hingga total 110 kuluwung.

Meski arena kuluwung yang terlihat agak becek, antusiasme warga tetap mengalir dengan derasnya. Tak jarang mereka yang hadir memeriahkan dengan pakaian unik seperti tuyul hingga pocong.
 

Adu keras suara ini berlangsung di perbatasan dua desa yakni Desa Sukamakmur dan Desa Sukamulya Kabupaten Bogor dan dihelat selama dua hari, pada 3 dan 4 Mei 2023.

Tradisi ini dilakukan setelah Lebaran atau Idul Fitri sekaligus menjadi ajang silaturahmi antar desa. Warga datang berbondong-bondong membawa sanak keluarga mereka sejak pagi demi mendengarkan ledakan demi ledakan.

Acara yang digelar selama dua hari ini membuat kawasan tersebut menjadi sangat ramai dan semarak. Meski terkesan sangat bising, masyarakat tetap antusia dan berbondong-bondong mendatangi sumber suara yang cukup menggetarkan gendang telinga.

Salah seorang warga Sukamakmur mengatakan pada hari pertama telah menghabiskan 3 setengah ton karbit, dana tersebut terkumpul secara swadaya untuk memeriahkan pesta rakyat ini.

Festival yang digelar rutin lima tahunan ini berbahan dasar kayu randu ataupun kayu kapuk yang memang cukup sulit. Masa produksi pohonnya itu sekitar 4 tahun sehingga butuh waktu yang cukup untuk mengumpulkan sang meriam.

Dengan panjang 6 hingga 8 meter kayu ini memiliki diameter 50 cm dan beramunisikan karbit serta api obor hingga mampu menggetarkan bangunan yang ada di sekitar lokasi.

Para warga yang bertugas di sekitar kuluwung kerap menggunakan pelindung kuping, salah satunya seperti helm, kertas hingga headset. Sorak sorai warga pun ikut menghiasi acara tersebut, sebab sesekali terdapat Kuluwung yang tak terdengar nyaring hal tersebut memantik suara penonton.

Perlu teknik khusus untuk mendapatkan suara yang menggelegar, seperti dinyalakan secara bersama-sama. Batang pohon pun perlu dicek, sesekali kebocoran pada kayu akan membuat suara tidak maksimal.

Meskipun sangat seru namun tradisi ini juga perlu dilakukan secara hati-hati, salah satu algojo kuluwung mengobati kakinya yang terkena percikan api saat menyalakan kuluwung.

Hujan yang turun pada hari itu tak menyurutkan minat warga yang datang dengan menggunakan daun pohon pisang sebagai payung. Tua, muda dan bahkan juga tak sedikit anak-anak yang ikut hadir.

Ternyata hujan pun tak mampu membubarkan antusias warga, kuluwung yang meledak terus menerus ini justru membuat acara semakin meriah dari pagi hingga sore hari.

Banyak versi yang mengungkap sejarah kuluwung ini, ada yang bilang sudah ada sejak tahun 1960, 1980 hingga yang paling lama yakni di masa kolonial Belanda. Namun tradisi dan pesta rakyat ini tetap harus dirawat dan dilestarikan agar generasi muda yang akan datang bisa tahu dan mengenali budaya bangsa Indonesia.

Pesta rakyat yang digelar lima tahunan ini terasa sangat meriah. Sebab, sempat tertunda akibat pandemi dan kini masing-masing desa bisa terus menambah amunisinya hingga total 110 kuluwung.
Meski arena kuluwung yang terlihat agak becek, antusiasme warga tetap mengalir dengan derasnya. Tak jarang mereka yang hadir memeriahkan dengan pakaian unik seperti tuyul hingga pocong. 
Adu keras suara ini berlangsung di perbatasan dua desa yakni Desa Sukamakmur dan Desa Sukamulya Kabupaten Bogor dan dihelat selama dua hari, pada 3 dan 4 Mei 2023.
Tradisi ini dilakukan setelah Lebaran atau Idul Fitri sekaligus menjadi ajang silaturahmi antar desa. Warga datang berbondong-bondong membawa sanak keluarga mereka sejak pagi demi mendengarkan ledakan demi ledakan.
Acara yang digelar selama dua hari ini membuat kawasan tersebut menjadi sangat ramai dan semarak. Meski terkesan sangat bising, masyarakat tetap antusia dan berbondong-bondong mendatangi sumber suara yang cukup menggetarkan gendang telinga.
Salah seorang warga Sukamakmur mengatakan pada hari pertama telah menghabiskan 3 setengah ton karbit, dana tersebut terkumpul secara swadaya untuk memeriahkan pesta rakyat ini.
Festival yang digelar rutin lima tahunan ini berbahan dasar kayu randu ataupun kayu kapuk yang memang cukup sulit. Masa produksi pohonnya itu sekitar 4 tahun sehingga butuh waktu yang cukup untuk mengumpulkan sang meriam.
Dengan panjang 6 hingga 8 meter kayu ini memiliki diameter 50 cm dan beramunisikan karbit serta api obor hingga mampu menggetarkan bangunan yang ada di sekitar lokasi.
Para warga yang bertugas di sekitar kuluwung kerap menggunakan pelindung kuping, salah satunya seperti helm, kertas hingga headset. Sorak sorai warga pun ikut menghiasi acara tersebut, sebab sesekali terdapat Kuluwung yang tak terdengar nyaring hal tersebut memantik suara penonton.
Perlu teknik khusus untuk mendapatkan suara yang menggelegar, seperti dinyalakan secara bersama-sama. Batang pohon pun perlu dicek, sesekali kebocoran pada kayu akan membuat suara tidak maksimal.
Meskipun sangat seru namun tradisi ini juga perlu dilakukan secara hati-hati, salah satu algojo kuluwung mengobati kakinya yang terkena percikan api saat menyalakan kuluwung.
Hujan yang turun pada hari itu tak menyurutkan minat warga yang datang dengan menggunakan daun pohon pisang sebagai payung. Tua, muda dan bahkan juga tak sedikit anak-anak yang ikut hadir.
Ternyata hujan pun tak mampu membubarkan antusias warga, kuluwung yang meledak terus menerus ini justru membuat acara semakin meriah dari pagi hingga sore hari.
Banyak versi yang mengungkap sejarah kuluwung ini, ada yang bilang sudah ada sejak tahun 1960, 1980 hingga yang paling lama yakni di masa kolonial Belanda. Namun tradisi dan pesta rakyat ini tetap harus dirawat dan dilestarikan agar generasi muda yang akan datang bisa tahu dan mengenali budaya bangsa Indonesia.