Foto: Jejak yang Tertinggal dari Kawin Kontrak di Puncak

Praktik kawin kontrak di Cianjur perlahan menggeser kota Cianjur dari julukan kota santri. Ratusan bahkan ribuan pondok pesantren di Cianjur citranya luntur dirusak dengan munculnya fenomena kawin kontrak. Fenomena praktik kawin kontrak ini juga telah terdeteksi sejak 2015 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur.
“Bahwa saya mengantarkan anak saya (tidak disebut nama). Diatasnamakan kawin kontrak selama satu minggu”. Kata-kata itu masih terekam dengan jelas di ingatan Merah (bukan nama sebenarnya, red.) meski telah berlalu selama tiga tahun.
Tepatnya di bulan Mei 2019 Merah (20) melakukan prosesi akad nikah di sebuah rumah mewah di bilangan Cianjur, Jawa Barat.
Bagi sebagian wanita tentu mendambakan pernikahan yang indah, sebab pernikahan merupakan suatu momen yang sakral dan satu kali dalam seumur hidupnya.
Namun Merah yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) memutuskan untuk kawin kontrak dengan laki-laki asal Timur Tengah yang usianya berjarak 30 tahun lebih darinya.
Malam itu merupakan kali pertama ia tidur dengan laki-laki, dengan mahar 5 juta rupiah dan uang talak 8 juta ia rela melepas keperawanannya kepada orang asing yang tidak ia kenal sebelumnya.
Pernikahan dengan sistem kawin kontrak berjalan selama satu minggu, selama itu pula Merah tidak diperkenankan keluar rumah.
Meski begitu, Habib (panggilan untuk sang suami) memberikan fasilitas berupa rumah mewah untuk ditempati selama kawin kontrak, uang sehari-hari sebanyak 500 Ribu rupiah, dan mobil lengkap dengan seorang sopir untuk transportasi berbelanja keperluan rumah.
Kawin kontrak sudah menjadi buah bibir masyarakat di Kawasan Puncak atau Cianjur, Jawa Barat. Meski keberadaannya tidak terang-terangan namun kota dengan sapaan Kota Santri ini menjadi noda yang tak kasat mata. Pemerintah Cianjur melalui Bupati Herman Suhendra mengeluarkan aturan larangan terkait kawin kontrak di wilayahnya.
Kawasan Puncak yang terbagi antara Kab Bogor dan Cianjur itu juga terkenal dengan suasana yang asri nan dingin, belum diketahui secara pasti kapan para turis Timur Tengah tersebut mulai berdatangan. Namun kawasan itu menjadi lokasi favorit selain alam dan makanannya juga dikenal dengan "destinasi wisata seks".
Pergaulan muda mudi yang tidak terkontrol juga menjadi sebab utama bagaimana anak-anak muda justru terjerumus kedalam lingkaran kawin kontrak. Kesaksian Merah memperkuat praktik ini telah masuk ke ranah anak-anak dibawah umur, ia juga mengatakan bahwa anak-anak sekolah dasar telah ikut meramaikan praktik kawin kontrak.
Keinginan pemerintah setempat untuk membersihkan kegiatan kawin kontrak nampak tidak mudah, sebab praktik tersebut dilakukan secara diam-diam. Peran mucikari atau calo menjadi kunci dari terjadinya proses kawin kontrak. Para calo ini juga mendapat keuntungan hingga 50 persen dari kesepakatan mahar kawin kontrak, keuntungan yang besar membuat praktik ini terus subur.
Merah pun kini tidak lagi mau kembali terjerumus ke dalam praktik kawin kontrak. Ia lebih memilih bekerja di sebuah usaha karaoke, dan ia lebih sering terjun di dunia tarik suara dengan menjadi pemandu lagu.
Penghasilan yang kurang cukup baginya justru membuatnya tergoda untuk melayani pria hidung belang hingga akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki tanpa mengetahui pria mana yang menjadi ayah bagi sang anak.
Jejak-jejak kawin kontrak hanya tertinggal di ingatan, uang belasan juta yang ia dapat telah habis untuk dibelanjakan baju, perhiasan dan kebutuhan sehari-hari.
Pengalaman pahit membuat Merah berharap agar dapat menemukan sosok laki-laki yang kelak dapat membawanya ke jalan yang benar, menikah dan memiliki usaha agar tak lagi bergelut dengan dunia malam.
Meski kawin kontrak sudah jarang ditemui, geliat prostitusi di Puncak tetap masih banyak. Karena masih banyak juga wisatawan yang memang sengaja mencari perempuan tuna susila atau PSK untuk dibawanya menginap di villa di Puncak atau ke Bogor dan sekitarnya.
Menurut penelurusan MUI, praktik kawin kontrak ini memang ada di tengah masyarakat, terutama di 3 wilayah atau kecamatan yaitu Puncak (Cipanas), Sukaresmi, dan Pacet.
Kaum perempuan di sana secara sadar atau tidak sadar telah menjadi pelaku sekaligus korban yang sesungguhnya. Mereka dimanfaatkan oleh pria hidung belang yang datang dari Timur Tengah untuk dijadikan istri-istrian. Karena tergiur oleh iming-iming uang, harta, benda yang didapat dari proses prostitusi terselubung ini, Adanya akad nikah dan ijab kobul dalam proses kawin kontrak hanya sebagai selubung agar tak dicap berzina.
Mereka biasa datang ke Cianjur pada saat musim Haji, karena pada saat bersamaan sekolah dan perkantoran di Timur Tengah sedang masa liburan. Mereka biasanya dengan mengelola jasa "travel dadakan" yang menawarkan jasa kawin kontrak. Bermodalkan komunikasi dari mulut ke mulut untuk menyediakan jasa kawin kontrak di Cianjur, Puncak, dan Bogor, jaringan mereka yang ada di Timur Tengah itu juga menawarkan jasa kawin tamasya ini.