Di tengah konflik agraria, para petani ini sempat mengucapkan selamat ultah untuk Presiden Jokowi.
Dikutip dari Walhi permasalahan tanah yang dialami warga Pakel bermula Pada tahun 1925, sekitar 2956 orang warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda. Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan tersebut dikabulkan, dan mereka diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 Bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Dalam perkembangannya, walaupun telah mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari pihak aparat pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.
Pascakemerdekaan Republik Indonesia, warga Pakel terus berjuang untuk mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam "akta 1929". Diantaranya adalah pada tahun 1960-an, mereka mencobanya dengan mengajukan surat permohonan untuk bercocok tanam di kawasan “akta 1929” yang berlokasi di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Namun, surat tersebut tidak mendapatkan jawaban apapun dari pemerintah.
Di tengah situasi itu, untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel mulai bercocok tanam di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (berada di Pakel dan masuk dalam peta “akta 1929”). Namun, pasca meletusnya tragedi kemanusiaan ‘30 September 1965”, warga Pakel tidak berani menduduki lahan tersebut, karena takut dituduh sebagai anggota PKI.
Selanjutnya, pada tahun 1980-an, lahan yang mereka kelola tersebut, yang masuk dalam kawasan "akta 1929", tiba-tiba diklaim menjadi milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari.
Padahal jika merujuk SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 1189,81 hektar, yang terletak di Kluncing dan Songgon.
Walaupun SK Kemendagri diatas menegaskan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Desa Pakel, namun dalam praktiknya, PT Bumi Sari tetap menguasai dan melakukan kegiatan penanaman untuk perkebunan yang mereka kelola hingga Desa Pakel. Fakta penting lainnya adalah bahwa kawasan "akta 1929" yang semula hanya diklaim milik PT Bumi Sari, juga dikuasai oleh Perhutani.
Hingga kini warga Pakel masih berjuang untuk mempertahankan tanahnya namun sering mendapatkan tindakan yang tidak diinginkan seperti puluhan warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan keamanan negara.