Kiprah Para Wanita Pelindung Hutan Perempuan di Papua

Adriana Meraudje merupakan salah satu dari beberapa perempuan Enggros pelestari Hutan Perempuan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Dikutip dari BBC Indonesia Hutan Perempuan merupakan nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dilepaskan dari para perempuan Enggros dan Tobati. Istimewa/Alfonso Dimara/Dok. BBC Indonesia.

Hutan Perempuan berada di Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Kawasan hutan bakau itu dirawat oleh para perempuan dengan mengusung kearifan lokal secara turun temurun. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Mama Ani panggilan Adriana Meraudje lahir dan besar di Kampung Tobati. Setelah menikah, perempuan berusia 66 tahun itu kemudian ikut suaminya tinggal di Kampung Enggros. Lokasi kampung terapung itu berada di sekitar Teluk Youtefa. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Saat siang hari, Mama Ani bersama perempuan Enggros lainnya pergi ke Hutan Perempuan untuk mencari bia noor yakni kerang berkulit tipis yang diketahui hanya hidup di kawasan bakau. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Kulitnya yang tipis membuat proses pencarian kerang tersebut dilakukan dengan hati-hati. Seorang perempuan Enggros bernama Ati Agustina Rumboyrusi mengatakan pencarian kerang berkulit tipis itu harus dilakukan dengan perasaan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Kerang berkulit tipis yang dikumpulkan para perempuan Enggros itu kemudian akan dijual ke pasar. Diketahui, satu tumpuk bia noor atau kerang berkulit tipis berukuran besar dijual seharga Rp 50 ribu. Sementara kerang berkulit tipis berukuran kecil dijual Rp 25 ribu per tumpuk. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Sembari mencari kerang berkulit tipis, Mama Ani dan Ati pun turut menjaga kawasan Hutan Perempuan. Mereka akan segera menghentikan aktivitas mencari kerang bila ditemukan aktivitas lain di kawasan hutan bakau tersebut. Sesuai namanya, kawasan hutan bakau itu dinamai Hutan Perempuan karena khusus untuk perempuan. Laki-laki tak diboleh masuk kawasan hutan bakau tersebut. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Melansir BBC Indonesia, John Sanyi, Ondoafi atau kepala dewan adat Kampung Enggros mengatakan bahwa keberadaan hutan tersebut tak lepas dari pembagian zona dan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial penduduk Enggros. Kaum laki-laki bertugas untuk mencari ikan di laut sementara perempuan bertugas mencari kerang di kawasan hutan bakau. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Terkait dengan larangan masuknya laki-laki ke kawasan Hutan Perempuan, Mama Ani mengatakan bahwa laki-laki hanya diizinkan masuk ke Hutan Perempuan untuk mengambil kayu guna keperluan rumah tangga dan di saat tidak ada perempuan di dalam hutan tersebut. Laki-laki tak diizinkan memasuki hutan bila ada perempuan yang tengah beraktivitas di dalamnya. Hal itu dibenarkan oleh John Sanyi, Ondoafi atau kepala dewan adat Kampung Enggros. Istimewa/Alfonso Dimara/Dok. BBC Indonesia.

Sesuai adat di Kampung Enggros, John menjelaskan, ketika perempuan mengetahui ada pria masuk ke sana mereka berteriak serentak.
Mereka lalu melaporkan kejadian itu ke dewan adat yang akan mengadili orang tersebut dan menuntut pembayaran denda berupa manik-manik. Manik-manik tersebut merupakan benda berharga bagi penduduk Kampung Enggros. Manik-manik itu pun kerap dijadikan mas kawin bagi warga di sana ketika menikah. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Manik-manik tersebut memiliki harga yang berbeda tiap warnanya. Manik-manik berwarna biru memiliki nilai paling tinggi yakni setara dengan Rp 1 juta. Laki-laki yang melanggar hukum adat di Hutan Perempuan diwajibkan untuk membayar denda dengan manik-manik berwarna biru tersebut. Selain berwarna biru, ada pula manik-manik berwarna hijau dan putih yang memiliki nilai setara Rp 500 ribu dan Rp 300 ribu. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, kearifan lokal di Hutan Perempuan mulai tergerus oleh perubahan zaman. Mama Ani mengatakan kian sedikit perempuan muda Enggros yang peduli untuk melestarikan tradisi Hutan Perempuan. Harapan keberlangsungan dan kelestarian Hutan Perempuan pun kini berada di pundak para mama Enggros yang tak lagi muda. Perbedaan pola pikir dinilai menjadi salah satu penyebab kian berkurangnya anak-anak muda Enggros yang melestarikan Hutan Perempuan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Meski begitu, masih ada segelintir perempuan yang melestarikan Hutan Perempuan, salah satunya adalah Ati Agustina Rumboyrusi. Wanita berusia 33 tahun itu masih melakukan aktivitas mencari kerang di hutan bakau yang diajarkan neneknya sejak kecil. Baginya, Hutan Perempuan merupakan 'rumah' bagi perempuan Enggros yang harus dilestarikan. Di tengah tekanan pembangunan yang membuat luas Hutan Perempuan kian menyusut dan ancaman pencemaran lingkungan akibat sampah, Mama Ani pun berharap agar remaja Enggros tergerak untuk melestarikan Hutan Perempuan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.

Adriana Meraudje merupakan salah satu dari beberapa perempuan Enggros pelestari Hutan Perempuan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Dikutip dari BBC Indonesia Hutan Perempuan merupakan nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dilepaskan dari para perempuan Enggros dan Tobati. Istimewa/Alfonso Dimara/Dok. BBC Indonesia.
Hutan Perempuan berada di Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Kawasan hutan bakau itu dirawat oleh para perempuan dengan mengusung kearifan lokal secara turun temurun. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Mama Ani panggilan Adriana Meraudje lahir dan besar di Kampung Tobati. Setelah menikah, perempuan berusia 66 tahun itu kemudian ikut suaminya tinggal di Kampung Enggros. Lokasi kampung terapung itu berada di sekitar Teluk Youtefa. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Saat siang hari, Mama Ani bersama perempuan Enggros lainnya pergi ke Hutan Perempuan untuk mencari bia noor yakni kerang berkulit tipis yang diketahui hanya hidup di kawasan bakau. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Kulitnya yang tipis membuat proses pencarian kerang tersebut dilakukan dengan hati-hati. Seorang perempuan Enggros bernama Ati Agustina Rumboyrusi mengatakan pencarian kerang berkulit tipis itu harus dilakukan dengan perasaan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Kerang berkulit tipis yang dikumpulkan para perempuan Enggros itu kemudian akan dijual ke pasar. Diketahui, satu tumpuk bia noor atau kerang berkulit tipis berukuran besar dijual seharga Rp 50 ribu. Sementara kerang berkulit tipis berukuran kecil dijual Rp 25 ribu per tumpuk. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Sembari mencari kerang berkulit tipis, Mama Ani dan Ati pun turut menjaga kawasan Hutan Perempuan. Mereka akan segera menghentikan aktivitas mencari kerang bila ditemukan aktivitas lain di kawasan hutan bakau tersebut. Sesuai namanya, kawasan hutan bakau itu dinamai Hutan Perempuan karena khusus untuk perempuan. Laki-laki tak diboleh masuk kawasan hutan bakau tersebut. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Melansir BBC Indonesia, John Sanyi, Ondoafi atau kepala dewan adat Kampung Enggros mengatakan bahwa keberadaan hutan tersebut tak lepas dari pembagian zona dan tugas antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial penduduk Enggros. Kaum laki-laki bertugas untuk mencari ikan di laut sementara perempuan bertugas mencari kerang di kawasan hutan bakau. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Terkait dengan larangan masuknya laki-laki ke kawasan Hutan Perempuan, Mama Ani mengatakan bahwa laki-laki hanya diizinkan masuk ke Hutan Perempuan untuk mengambil kayu guna keperluan rumah tangga dan di saat tidak ada perempuan di dalam hutan tersebut. Laki-laki tak diizinkan memasuki hutan bila ada perempuan yang tengah beraktivitas di dalamnya. Hal itu dibenarkan oleh John Sanyi, Ondoafi atau kepala dewan adat Kampung Enggros. Istimewa/Alfonso Dimara/Dok. BBC Indonesia.
Sesuai adat di Kampung Enggros, John menjelaskan, ketika perempuan mengetahui ada pria masuk ke sana mereka berteriak serentak.Mereka lalu melaporkan kejadian itu ke dewan adat yang akan mengadili orang tersebut dan menuntut pembayaran denda berupa manik-manik. Manik-manik tersebut merupakan benda berharga bagi penduduk Kampung Enggros. Manik-manik itu pun kerap dijadikan mas kawin bagi warga di sana ketika menikah. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Manik-manik tersebut memiliki harga yang berbeda tiap warnanya. Manik-manik berwarna biru memiliki nilai paling tinggi yakni setara dengan Rp 1 juta. Laki-laki yang melanggar hukum adat di Hutan Perempuan diwajibkan untuk membayar denda dengan manik-manik berwarna biru tersebut. Selain berwarna biru, ada pula manik-manik berwarna hijau dan putih yang memiliki nilai setara Rp 500 ribu dan Rp 300 ribu. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, kearifan lokal di Hutan Perempuan mulai tergerus oleh perubahan zaman. Mama Ani mengatakan kian sedikit perempuan muda Enggros yang peduli untuk melestarikan tradisi Hutan Perempuan. Harapan keberlangsungan dan kelestarian Hutan Perempuan pun kini berada di pundak para mama Enggros yang tak lagi muda. Perbedaan pola pikir dinilai menjadi salah satu penyebab kian berkurangnya anak-anak muda Enggros yang melestarikan Hutan Perempuan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.
Meski begitu, masih ada segelintir perempuan yang melestarikan Hutan Perempuan, salah satunya adalah Ati Agustina Rumboyrusi. Wanita berusia 33 tahun itu masih melakukan aktivitas mencari kerang di hutan bakau yang diajarkan neneknya sejak kecil. Baginya, Hutan Perempuan merupakan rumah bagi perempuan Enggros yang harus dilestarikan. Di tengah tekanan pembangunan yang membuat luas Hutan Perempuan kian menyusut dan ancaman pencemaran lingkungan akibat sampah, Mama Ani pun berharap agar remaja Enggros tergerak untuk melestarikan Hutan Perempuan. Istimewa/Ayomi Amindoni/Dok. BBC Indonesia.