Miangas Sambut Kapal-kapal yang Berlabuh

Berada di garis depan Indonesia, Miangas berdiri tangguh sebagai pulau mandiri. Dengan luasan 3,2 kilometer persegi, pulau ini punya lebih banyak pohon kelapa dari manusia.
Masyarakatnya membangun pemukiman di bibir pantainya. Sebuah pelabuhan di ujung pantai menjadi sarana penting dalam menunjang kehidupan masyarakat Miangas.
Ya, Miangas menggantungkan kehidupannya pada kapal perintis yang datang. Semua kebutuhan pokok diangkut dari ke pulau ini lewat kapal perintis.
Beras, sayur, daging, sampai gas, mereka titipkan ke kapal perintis. Semua dipasok sebanyak-banyaknya untuk persiapan cuaca ekstrem.
Berada jauh terpisah dari Indonesia, Miangas di kelilingi oleh lautan lepas. Gulungan gelombang besar dan angin kencang menjadi sahabat bagi kapal.
Tak jarang, kapal-kapal perintis yang harusnya datang dua kali seminggu pun tak terlihat. Untuk menunggu laut teduh, kapal perintis biasanya bermalam di Pulau Kratung terlebih dahulu.
Begitu tiba di pelabuhan Miangas, suara klakson kapal akan menggema ke seluruh pulau. Masyarakat bergegas keluar rumah untuk menyambut kapal.
Raut waswas yang cemas menanti bahan makanan akan berganti senyum dan sukacita. Masyarakat menanti dengan sabar di pinggir dermaga.
Motor sampai gerobak mendekat ke dermaga untuk membawa bahan-bahan pangan dari atas kapal. Kebanyakan kebutuhan pokok sudah dititipkan kepada awak kapal dari kerabat di Melonguane.
Inilah kenyataan yang terus dihadapi oleh Miangas. Meski hanya sekitar 2 jam, kunjungan dari kapal perintis bagai oase di tengah gurun. Kebutuhan pokok kembali terpenuhi, tinggal menunggu kunjungan seminggu lagi. Tranksaksi di pulau ini sudah cukup membaik dengan adanya Bank BRI. Sebelum tahun 2016, masyarakat Miangas bahkan menitipkan uang tunai lewat kapal. Resiko kehilangan menjadi hal yang dikesampingkan karena tak ada ada bank.