Seperti namanya, yang berarti 'menangis', Miangas menggambarkan hidup yang penuh nestapa.
Tak mudah untuk bisa sampai ke pulau ini. Akses transportasi amat terbatas karena hanya ada dua kapal perintis dan satu kapal feri yang singgah sebulan sekali.
Bandara Miangas, yang diresmikan pada 2016, juga belum banyak membawa perubahan. Selain tiket pesawat yang mahal, hanya ada satu pesawat yang datang dan pergi tiap Minggu siang.
Tak ada pasar besar serta pelabuhan khusus penampung ikan membuat warga Miangas sering kekurangan bahan pangan jika kapal tak kunjung datang.
Bahan bakar minyak (BBM) dan LPG juga jadi barang langka. Sejumlah pedagang toko kelontong di Miangas, mengutarakan bagaimana susahnya mencari pasokan untuk dua barang tersebut.
Menurut Camat Khusus Miangas, Sepno Lantaa, seretnya pasokan BBM dan LPG yang masuk ke Miangas memang menjadi permasalahan yang menahun. Salah satu penyebabnya, ungkapnya, adalah regulasi yang tidak memperbolehkan sejumlah kapal perintis mengangkut BBM dan gas LPG di dalam kapal menuju Miangas.
Di samping bahan bakar, tidak adanya tambatan perahu juga menjadi salah satu masalah yang dikeluhkan warga Miangas yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Padahal fasilitas ini sangat diperlukan agar pump boat (perahu kecil) nelayan aman dari ombak dan tidak perlu lagi diangkat ke tepi pantai.
Di tengah segala permasalahan yang ada, kehadiran Bank BRI di Miangas sedikit banyak membantu warga Miangas dalam meningkatkan roda perekonomian. Banyak warga Miangas yang beralih profesi menjadi pedagang sembako. Setelah berjualan, para pedagang Miangas ini tentu membutuhkan suntikan modal untuk mengembangkan usaha mereka. BRI pun hadir memberikan bantuan dalam bentuk kredit usaha rakyat (KUR).