Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN

Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo (kiri) bersama Waketum PAN Hanafi Rais (kanan) menggelar jumpa pers soal kepemilikan lahan. Dradjad mengatakan PAN menggunakan data dari Megawati Institute soal ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia. Ia menyebut berdasarkan data itu ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia tinggi. (Foto: Haris Fadhil/detikcom)
Riset ini dikeluarkan pada 27 Desember 2017. Drajad mengatakan data riset Megawati Institute itu diperoleh dari sensus tiap 10 tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lewat data tersebut, Dradjad menyatakan ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia paling tinggi terjadi pada tahun 2003. (Foto: Riset Megawati Institute)
Pada slide ini dipaparkan data soal proporsi kekayaan nasional yang dikuasai lapisan masyarakat kaya tetap tinggi. Meskipun dalam dua tahun terakhir terjadi penurunan. Data ini bersumber dari Global Wealth Databook, Credit Suise tahun 2017. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Data yang bersumber dari Forbes ini menunjukkan total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Di data ini menunjukkan laju pertumbuhan kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia 4 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi nasional selama 2006-2016. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Dalam 10 tahun, kekayaan orang terkaya di Indonesia melonjak hingga 510,7 % atau 10 kali dibandingkan pertumbuhan GDP per kapita. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Corak ketimpangan dalam pandangan Piketty dikenal sebagai patrimonial capitalism. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Jika kondisi ini tak berubah, Piketty mengatakan kapitalisme akan mempengaruhi distribusi kekayaan yang akan melahirkan oligarki. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
"Ini hasil riset oligarki ekonomi diterbitkan Megawati Institute. Salah satunya itu ada rasio gini lahan di Indonesia. Jadi di situ disebutkan pada tahun 1973 berdasarkan sensus, rasio gini lahan itu 0,55, tahun 1983 0,5, tahun 1993 itu 0,64, tahun 2003 0,72, tahun 2013 masih dibintangi waktu itu, 0,68," kata Dradjad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/3/2018). (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Menurutnya data riset Megawati Institute itu diperoleh dari sensus tiap 10 tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lewat data tersebut, Dradjad menyatakan ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia paling tinggi terjadi pada tahun 2003. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
"Rasio gini semakin tinggi itu semakin timpang. Skalanya 0 sampai 1. Jadi antara 0 sampai 1. Kalau 0 itu tidak timpang, perfect equality. Artinya orang mempunyai lahan yang sama. Ketika makin tinggi maka dia makin jelek," ucap Dradjad. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Selanjutnya, Dradjad menilai berdasarkan data itu ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia lebih parah dibanding ketimpangan pendapatan. Ia menyebut angka ketimpangan pendapatan di Indonesia berkisar di 0,4 pada zaman SBY dan turun sedikit belakangan ini. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
"Rasio gini untuk pendapatan itu sekitar 0,4 pada zaman pak SBY sekarang agak turun sedikit. Artinya ketimpangan penguasaan lahan jauh lebih jelek," ucapnya. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Oligarki ekonomi ini adalah ancaman terbesar dalam mewujudkan keadilan sosial. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Terkait digunakannya data Megawati Institute saat mengungkap ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia, PDIP menilai PAN tengah bersilat politik untuk 'menghemat tenaga'. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)
Namun Bank Dunia membantah pernah mengeluarkan laporan mengenai status penguasaan lahan di Indonesia yang disebut politikus Hanafi Rais. Lembaga global ini menyayangkan adanya politikus yang membawa-bawa namanya. Country Director World Bank for Indonesia Rodrigo A Chaves menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerbitkan laporan semacam itu. (Foto: Ini Hasil Riset Megawati Institute yang Dikutip PAN)