Foto: Melihat Peunayong, Kampung China di Aceh Jelang Imlek

Seorang warag Aceh sedang bersembahyang. Roda perekonomian, sosial dan budaya China bercampur dengan masyarakat setempat.
Vihara Dharma Bhakti jadi tempat warga etnis Tionghoa di Aceh beribadah. Vihara ini terletak di Peunayong, Banda Aceh.
Kata Peunayong sendiri berasal dari "Peu payong" yang berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat disebutkan bahwa, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok.
Warga China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5 dari buyut mereka yang datang pada abad 19. Mereka adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.
Kerukunan umat beragama di sana hingga kini masih terjaga. Saat bulan Ramadan, misalnya, warga etnis Tionghoa ikut menjajakan penganan berbuka. Begitu juga saat hari-hari besar agama lain warga nonmuslim tetap leluasa merayakannya. 
Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh terbilang harmonis. Kho yang lahir dan dibesarkan di Aceh ini tidak pernah merasakan adanya tekanan dari masyarakat Aceh saat melaksanakan ibadah. Di Banda Aceh, belum pernah ada keributan antara satu agama dengan agama lainnya.
Untuk menjaga hubungan antara warga Tionghoa dengan penduduk pribumi, Yayasan HAKKA pada perayaan tahun baru Imlek 2566 atau 2015 lalu mendeklarasikan Peunayong sebagai kampung keberagamaan. Sejak pendeklarasian itu, mereka kerap menggelar pertunjukan berkolaborasi dengan kesenian lokal.
Seorang warag Aceh sedang bersembahyang. Roda perekonomian, sosial dan budaya China bercampur dengan masyarakat setempat.
Vihara Dharma Bhakti jadi tempat warga etnis Tionghoa di Aceh beribadah. Vihara ini terletak di Peunayong, Banda Aceh.
Kata Peunayong sendiri berasal dari Peu payong yang berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat disebutkan bahwa, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok.
Warga China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5 dari buyut mereka yang datang pada abad 19. Mereka adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.
Kerukunan umat beragama di sana hingga kini masih terjaga. Saat bulan Ramadan, misalnya, warga etnis Tionghoa ikut menjajakan penganan berbuka. Begitu juga saat hari-hari besar agama lain warga nonmuslim tetap leluasa merayakannya. 
Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh terbilang harmonis. Kho yang lahir dan dibesarkan di Aceh ini tidak pernah merasakan adanya tekanan dari masyarakat Aceh saat melaksanakan ibadah. Di Banda Aceh, belum pernah ada keributan antara satu agama dengan agama lainnya.
Untuk menjaga hubungan antara warga Tionghoa dengan penduduk pribumi, Yayasan HAKKA pada perayaan tahun baru Imlek 2566 atau 2015 lalu mendeklarasikan Peunayong sebagai kampung keberagamaan. Sejak pendeklarasian itu, mereka kerap menggelar pertunjukan berkolaborasi dengan kesenian lokal.