Sekretaris Fraksi Partai Golkar (FPG) MPR RI, Ferdiansyah, menyebut obligasi daerah berpotensi menjadi salah satu instrumen alternatif pembiayaan pembangunan di daerah. Khususnya bagi pemerintah daerah yang memiliki potensi ekonomi dan prospek pengembangan yang baik.
Penerbitan obligasi daerah dinilai dapat memberikan tambahan permodalan di luar sumber pembiayaan konvensional yang selama ini bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
"Obligasi daerah bisa menjadi salah satu alternatif pembiayaan, bahkan menjadi instrumen investasi bagi daerah untuk mengantisipasi berbagai kebutuhan pembangunan," ujar Ferdiansyah dalam keterangan tertulis, Selasa (2/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini ia katakan dalam Lokakarya Akademik Fraksi Partai Golkar MPR RI di Aston Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Senin (1/12). Lokakarya tersebut mengangkat tema 'Pengembangan Obligasi Daerah Guna Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Daerah Dalam Bingkai NKRI'.
Ferdiansyah menjelaskan, obligasi daerah atau municipal bonds telah lama digunakan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan sejumlah negara Asia untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur publik, di antaranya pembangunan jalan, penyediaan air bersih, transportasi umum, hingga proyek ramah lingkungan melalui skema green bonds.
"Dana obligasi hijau dimanfaatkan untuk membiayai proyek energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, serta pengelolaan limbah. Jadi, bukan hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan," katanya.
Menurut Ferdiansyah, ada dua tujuan utama penerbitan obligasi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan. Kemandirian ekonomi daerah, lanjutnya, juga berkontribusi memperkuat struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia menegaskan, obligasi daerah bukan satu-satunya instrumen, tetapi dapat menjadi strategi penting dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
"Jika dikelola dengan tepat, obligasi daerah bukan hanya menjadi instrumen fiskal, tetapi juga mencerminkan kematangan tata kelola pemerintahan daerah," ujarnya.
Ferdiansyah menilai, pengembangan obligasi daerah perlu didukung oleh regulasi yang lebih kuat. Karena itu, Fraksi Partai Golkar MPR RI mendorong pembentukan Undang-Undang khusus tentang obligasi daerah.
"Kami siap menyusun naskah akademik dan rancangan undang-undang yang nantinya akan kami serahkan kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti," ungkapnya.
Ia juga menekankan obligasi daerah harus dilihat dalam konteks kebangsaan. Sebagai contoh, sebuah provinsi dapat menerbitkan obligasi, sementara pembelinya bisa berasal dari daerah lain di Indonesia. Intinya, obligasi daerah juga bisa menjaga bingkai NKRI, yaitu adanya investor lintas daerah yang ada di Indonesia
"Artinya, ada sinergi antarwilayah dalam satu kesatuan bangsa. Itu sebabnya tema Lokakarya ini kami kaitkan dengan keutuhan NKRI," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Bendahara Fraksi Partai Golkar MPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa, menyampaikan bahwa pembahasan obligasi daerah semakin relevan di tengah rencana penurunan dana transfer ke daerah pada tahun 2026.
Menurut dia, porsi dana transfer yang saat ini berada di kisaran 26 persen disebut akan turun menjadi sekitar 19 persen. Kondisi itu menuntut daerah untuk lebih mandiri dalam pembiayaan pembangunan.
"Setelah 27 tahun reformasi, masih sangat sedikit daerah yang benar-benar mandiri. Sebagian besar masih bergantung pada DAU, DAK, dana bagi hasil, dan skema transfer lainnya," ujar Adde.
Ia mengungkapkan, dorongan mengkaji obligasi daerah juga merupakan arahan Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng, agar fraksi lebih responsif terhadap isu-isu strategis di masyarakat.
Meski boleh diterbitkan, Adde mengakui proses obligasi daerah masih sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah, DPRD, hingga kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Keuangan, OJK, BPK, dan Kemendagri.
Selain itu, belum siapnya sumber daya manusia (SDM), ketiadaan unit khusus pengelola obligasi, hingga umur jabatan kepala daerah yang terbatas juga menjadi tantangan tersendiri.
"Banyak daerah enggan karena prosesnya dianggap rumit dan melelahkan. Mereka lebih memilih menunggu dana pusat atau SiLPA," katanya.
Meski demikian, Fraksi Golkar MPR RI menawarkan sejumlah langkah, di antaranya peningkatan kapasitas SDM di bidang keuangan, penyederhanaan regulasi, serta dukungan pemerintah pusat.
Sumber pendanaan dalam negeri seperti misalnya BPJS Ketenagakerjaan, ASABRI, TASPEN, Dana Pensiun BUMN dan CSR BUMN, juga dinilai berpotensi dimaksimalkan.
"Dana besar sebenarnya ada di dalam negeri. Tinggal bagaimana disinergikan untuk pembangunan daerah," ujar Adde.
Di sisi lain, Wakil Bendahara Fraksi Partai Golkar MPR RI, Puteri Anetta Komarudin, menyampaikan bahwa hingga kini belum ada satu pun pemerintah daerah yang berhasil merealisasikan penerbitan obligasi daerah, meski payung hukum sudah tersedia.
Dasar hukum utama, kata Puteri, adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), yang diperkuat dengan PP Nomor 1 Tahun 2024, PMK Nomor 87 Tahun 2024, dan POJK Nomor 10 Tahun 2024.
Regulasi tersebut mengatur peran pemerintah daerah, DPRD, Kemendagri, Kemenkeu, dan OJK, serta persyaratan administratif, keuangan, dan kelayakan kegiatan. Salah satunya adalah batas maksimal utang 75 persen dari pendapatan tertentu dan rasio kemampuan bayar utang minimal 2,5 kali.
"Artinya, hanya daerah dengan kondisi keuangan yang kuat yang bisa menerbitkan obligasi. Provinsi dengan PAD besar seperti Bali berpotensi memenuhi syarat itu," ujar Puteri.
Ia mencontohkan sejumlah daerah yang pernah merencanakan obligasi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, hingga Jawa Tengah, namun belum terealisasi karena berbagai kendala, mulai dari izin politik, kewenangan proyek, hingga tata kelola.
Puteri juga mengutip kajian Asian Development Bank (ADB) yang menyebut rendahnya kapasitas aparatur daerah dalam menyusun perencanaan, manajemen risiko, dan studi kelayakan sebagai salah satu hambatan utama. Di sisi lain, biaya penyusunan studi kelayakan yang tinggi juga membebani daerah dengan fiskal terbatas.
"Obligasi hanya boleh untuk proyek produktif yang memiliki income stream, bukan untuk menutup defisit rutin. Ini yang membuat banyak daerah kesulitan menentukan proyek yang layak," katanya.
Puteri menegaskan, keberhasilan obligasi daerah membutuhkan tata kelola yang kuat, transparansi, disiplin fiskal, SDM mumpuni, serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
"Bukan hal yang mustahil, tapi juga tidak bisa hanya mengandalkan niat politik. Semuanya harus disiapkan secara matang," ujar Puteri.
Masukan dari berbagai daerah yang telah mengikuti rangkaian kegiatan diskusi edukasi tentang obligasi daerah di Sulawesi Utara, Yogyakarta, dan Bali akan dihimpun dalam naskah akademik Fraksi Golkar MPR RI, yang diharapkan menjadi dasar pembentukan Undang-Undang tentang obligasi daerah.
Tonton juga video "Senyum Bahlil Kala Disebut Legislator PDIP Bisa Jadi Wapres"
(anl/ega)










































