Saya Dihamili Pacar yang Tak Mau Tanggung Jawab, Bisakah Saya Pidanakan?

detik's Advocate

Saya Dihamili Pacar yang Tak Mau Tanggung Jawab, Bisakah Saya Pidanakan?

Tim detikcom - detikNews
Rabu, 06 Sep 2023 09:11 WIB
Ilustrasi Ibu Hamil
Ilustrasi (Getty Images/iStockphoto/nicoletaionescu)
Jakarta -

Hubungan asmara kadang membuat gelap mata sampai melakukan tindakan asusila atas dasar cinta. Tapi bagaimana bila si pacar tidak mau tanggung jawab?

Hal itu menjadi pertanyaan masyarakat berikut:

Saya hamil di luar nikah oleh teman saya. Dia tidak mau tanggung jawab dan juga membantu. Saya berumur 22 tahun. Apakah bisa diproses ke jalur hukum?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

El

Pembaca lainnya bisa menanyakan pertanyaan serupa dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Pembaca juga bisa melakukan konsultasi online ke BPHN di https://lsc.bphn.go.id/konsultasi.

ADVERTISEMENT

Nah untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meminta jawaban dari Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham, Iva Shofiya, S.H., M.Si. Berikut jawabannya:

Terima kasih atas pertanyaannya, terkait persoalan yang ditanyakan dapat kami sampaikan sebagai berikut:

PIDANA

Perbuatan hubungan seksual yang dapat dijerat oleh hukum pidana berdasarkan KUHP lama yang masih berlaku ada pada pasal 284 dan 285, yaitu:

Pasal 284 KUHP

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
5. Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 285:

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Kika kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan statusnya tidak/belum menikah melakukan hubungan seksual dengan kesadaran penuh dan atas dasar suka sama suka, maka tidak ada alasan bagi wanita untuk dapat melakukan penuntutan pidana terhadap laki-laki tersebut.Penyuluh BPHN Kemenkumham Iva Shofiya, S.H., M.Si.

Kemudian pada UU 1/2023 yang menggantikan KUHP lama dan mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026, diatur pada :

Pasal 473 ayat (1) dan (2)
1. Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
2. Termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan:
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b. persetubuhan dengan anak;
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau
d. persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakkannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui.

Maka berdasarkan peraturan perundang-undangan, jika kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan statusnya tidak/belum menikah melakukan hubungan seksual dengan kesadaran penuh dan atas dasar suka sama suka, maka tidak ada alasan bagi wanita untuk dapat melakukan penuntutan pidana terhadap laki-laki tersebut.

Berbeda bila hal tersebut dilakukan atas paksaan/pemerkosaan atau mereka yang statusnya menikah baik suami/istri maka dapat dituntut pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 284 dan 285 KUHP.

Saksikan Live Detik Pagi:

Simak juga 'Istri Sadap HP Suami, Awas Dipenjara!':

[Gambas:Video 20detik]



PERDATA

Lain halnya apabila perbuatan suami istri tersebut dilakukan berdasarkan adanya janji untuk menikahi maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan tuntutan perdata berupa perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:

"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."

Terhadap pelanggaran janji menikahi dengan memenuhi persyaratan seperti janji tersebut dilakukan secara tertulis dan ada kerugian yang dialami seperti sudah ada pertunangan, pengeluaran biaya-biaya lainnya dsb. Akan tetapi adalah keputusan ditangan hakim yang menangani perkara tersebut yang memutus apakah menerima atau tidak terkait janji menikahi sebagai PMH.

Terhadap anak hasil hubungan di luar kawin maka yang bisa Anda perjuangkan adalah memperoleh pengakuan anak untuk mempunyai hak waris sebagai mana klausul Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU- VIII/2010 dengan cara menghadap dan negosiasi ke keluarga ayah biologis anak Anda (berdasarkan test DNA) tersebut serta negosiasi secara kekeluargaan untuk menentukan pemberian nafkah yang dituangkan pada perjanjian kesepakatan bersama. Mekanisme pengakuan anak terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dalam hal ini mengatur mekanisme pencatatan pengakuan anak.

Demikian, semoga mencerahkan dan bermanfaat.


Iva Shofiya, S.H., M.Si
Penyuluh Hukum Ahli Madya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham


Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.

detik's advocate

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.

Halaman 2 dari 3
(asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads