Pakar Kebijakan Kesehatan, Dr. Hermawan Saputra, MARS. CICS mengatakan RUU Kesehatan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional (SKN) di Indonesia. Termasuk dalam isu peningkatan kesehatan masyarakat.
"Kita memang sangat membutuhkan adanya Undang-undang (UU) yang mewakili sistem nasional kesehatan kita karena selama ini sistem regulasi yang ada itu fragmented parsial dan kadang tidak harmonis antara satu kebijakan dengan kebijakan lain," kata Hermawan dalam keterangan tertulis, Kamis (22/6/2023).
Seperti diketahui, Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan sudah disepakati pada pembicaraan tingkat I di DPR RI dan akan segera dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Perpres No. 72 Tahun 2012, Sistem Kesehatan Nasional adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Namun penyelenggaraan SKN di Indonesia dinilai masih kurang efektif karena tumpang tindihnya regulasi. Hermawan mengatakan banyak regulasi setara RUU Kesehatan yang tidak bisa mewakili dan menjamin pelayanan kesehatan atau upaya perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia.
Ia memberi contoh UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di mana sistem kesehatan sendiri justru diatur dalam level Peraturan Presiden (Perpres).
"Beda dengan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang mana UU yang mengatur. Jadi ada fragmen-fragmen tersendiri di sistem kesehatan kita sekarang. Ini baru kita lihat dari situasi makro," jelas Hermawan.
Dengan metode Omnibus Law, RUU Kesehatan akan menyederhanakan regulasi dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai sistem kesehatan di Indonesia.
Penggunaan metode Omnibus Law sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan juga mampu menekan ego sektoral yang terkadang menimbulkan pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Tak hanya itu, UU secara Omnibus Law yang dibentuk menggunakan cara modifikasi pun dinilai menjadikan peraturan perundang-undangan dapat beradaptasi dengan kondisi riil di masyarakat.
Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini menilai, omnibus law dalam RUU Kesehatan dapat menjadi aturan rigid yang komprehensif mengatur sistem kesehatan nasional.
Termasuk dalam hal praktek kedokteran, keperawatan, kebidanan, dan praktek tenaga medis lainnya yang saat ini aturannya berdiri sendiri-sendiri.
"Jadi perlu diharmonisasi dan disinkronisasi. Belum lagi jika kita kaitkan lagi tentang UU yang lebih tua yaitu tentang obat. Aturan itu ada dari tahun 1949. Ada juga UU No 4 tahun 1984 tentang wabah, itu kan sudah lama sekali dan patut kita sesuaikan dengan konteks terkini," ungkap Hermawan.
Ahli Kesehatan Masyarakat itu pun menyoroti UU tentang Rumah Sakit yang sudah berusia 14 tahun. Hermawan mengatakan perkembangan yang ada saat ini harus disesuaikan dalam payung hukum terbaru karena adanya transformasi kesehatan dan juga dampak dari Pandemi COVID-19, sehingga harus ada kebijakan yang dapat menjadi pedoman manakala Negara menghadapi pandemi.
"Serta kajian sistem ketahanan kesehatan patut ada, semacam transisi kebijakan. Itu artinya ada penyesuaian pada level UU yang menyangkut amanah konstitusi kita dalam bernegara terutama Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) dalam UUD 1945," tuturnya.
Adapun maksud Ahli Epidemiologi ini soal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 adalah: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sementara Pasal 34 ayat (3) yakni: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
"Tentu banyak yang bisa kita bahas secara poin per poin turunan kepentingan terkait urusan kesehatan yang mana kita harus sinkronisasikan semua," ujar Hermawan.
Lebih lanjut, Dosen Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Uhamka Jakarta itu mengatakan ada satu isu krusial yang selama ini minim diatur dalam regulasi dan tidak menjadi arus utama, yakni menyangkut kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, Hermawan menilai RUU Kesehatan sangat dibutuhkan karena mengatur hal tersebut.
"Kesehatan masyarakat itu ada di berbagai isu. Mulai dari isu pembiayaan yang saat ini diselenggarakan oleh BPJS. Tentu kalau kita bicara soal sistem Jaminan Kesehatan Nasional kan bukan sekadar pengobatan di faskes (fasilitas kesehatan)," sebutnya.
"Tetapi juga bagaimana penjagaan kesehatan, peningkatan produktivitas orang yang sehat dan pencegahan penyakit. Termasuk upaya promosi dan edukasi, semua itu bagian yang harus dijamin melalui program Kesehatan Nasional," sambungnya. Hermawan.
RUU Kesehatan yang merupakan inisiatif DPR ini pun disebut mengakomodir upaya pengakuan terhadap berbagai rumpun profesi di berbagai bidang kesehatan masyarakat. Hermawan mengatakan hal paling utama terkait persoalan ini adalah bagaimana tenaga kesehatan harus menjadi garda terdepan ketika kedaruratan kesehatan masyarakat terjadi karena pandemi Covid.
"Maka kita mencari tenaga epidemiolog, penyelidik kesehatan, tenaga surveilen, itu saat pandemi COVID-19 terjadi susah sekali dicari," ucapnya.
"Belum lagi dipadu dengan tenaga promotor kesehatan, lalu bagaimana aspek keahlian kesehatan lingkungan termasuk narasi untuk kebijakan kesehatan dankomunikasinya. Itu semua harus dicakup oleh suatu regulasi," tambah Hermawan.
Simak juga Video 'Jokowi soal RUU Kesehatan: Kalau Sudah Diketok, Baru Kita Laksanakan':
Klik halaman selanjutnya >>>
UU terkait urusan kesehatan yang eksisting saat ini dinilai belum memiliki pendekatan kesehatan masyarakat seperti yang dibutuhkan manakala terjadi pandemi. Hermawan mengajak masyarakat melihat saat pertama kali Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 karena sistem dan aturannya belum mumpuni.
"Sejauh kita melihat, pada UU yang sebelumnya, hal ini kurang diperhatikan. Bahkan dalam ranah profesi seharusnya itu diperjuangkan," tegasnya.
Selain itu, Hermawan menyebut RUU Kesehatan dapat mewujudkan digitalisasi dan inovasi teknologi kesehatan di Indonesia. Sebab dalam penerapannya, beleid ini akan mengintegrasikan sistem informasi kesehatan, menyajikan dan menjamin perlindungan data kesehatan individu yang berkualitas.
"Kita membayangkan kesehatan dengan sistem rujukan dan jejaring pelayanannya bukan sekadar rujukan yang konvensional atau hal-hal yang menyangkut fasilitas pelayanan rumah sakit, tetapi harus ada digitalisasi one health record atau elektronik health record," terang Hermawan.
RUU Kesehatan dinilai akan menjadi terobosan untuk negara bisa memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, khususnya dokter. RUU ini pun disebut akan menjadi salah satu solusi dari tumpang tindihnya regulasi di bidang kesehatan yang memicu banyak program tidak dapat dilaksanakan di lapangan.
Keunggulan lain dalam RUU Kesehatan yang cukup signifikan adalah mengenai kerja sama antara klinis, peneliti, dan industri untuk menciptakan inovasi kesehatan, serta mendorong pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis yang terintegrasi.
"Pemerintah memiliki wacana menuju satu data bagian dari transformasi kesehatan dan ini sangat penting karena sebelumnya di dalam regulasi yang ada, itu belum diatur secara khusus, padahal penting untuk kita kedepankan," ungkap Hermawan.
Menurutnya, pemerintah dapat melakukan peningkatan kapasitas dan penguatan transformasi kesehatan jika RUU Kesehatan Omnibus Law disahkan. Termasuk juga, kata Hermawan, untuk pemerataan infrastruktur dan teknologi di seluruh Indonesia.
"Tentu ada banyak hal termasuk nanti bagaimana kita juga menyelenggarakan program-program untuk memperkuat sumber daya kesehatan, dan mempercepat produksi tenaga kesehatan dengan memperhatikan equity and equality," paparnya.
Diketahui pada tahun 2022, Indonesia baru memiliki 56 unit alat kesehatan biotech dan genom sekuensing yang tersebar di 41 laboratorium regional Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
Hermawan mengatakan rendahnya inovasi kesehatan berdampak pada tingginya angka importasi hasil teknologi kesehatan, di antaranya impor bahan mentah obat yang mencapai 90 persen per tahun 2019.
Bukan hanya itu saja, 88 persen transaksi alat kesehatan di katalog elektronik masih berupa impor, serta Produk Domestik Bruto (PDB) untuk riset dan pengembangan pada 2020 baru berkisar 0,3 persen.
"Nah ini semua harus ada terobosan agar laju kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan dan sumber daya kesehatan itu memadai merata dan berkualitas," jelas Hermawan.
Dengan adanya inovasi teknologi di bidang kesehatan, kegagapan Indonesia menghadapi pandemi seperti di awal merebaknya virus COVID-19 diharapkan tidak akan terulang kembali. Hermawan mengingatkan, kala itu Pemerintah dibuat gagap karena sistem dan aturannya belum mumpuni.
Di sisi lain, urgensi RUU Kesehatan Omnibus Law pun dapat dilihat berkaitan dengan keberpihakan anggaran yang sangat penting. Hal ini terkait dengan anggaran kesehatan dari Pemerintah Pusat hingga level terkecil di daerah yang pastinya berdampak terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
"Kalau kita lihat ada yg disebut SPM (Standar Pelayanan Minimal). Pada standar pelayanan bidang kesehatan, itu bagian konkuren yang melekat dan tidak terpisah dari kinerja Pemerintah Daerah (Pemda)," terang Hermawan.
"Jadi kalau bupati, Wali Kota dan gubernur ingin berkinerja baik, maka salah satu capaiannya adalah memenuhi SPM dan itu pasti berkaitan dengan alokasi kebijakan keberpihakan terhadap kesehatan. Baik terhadap anggarannya, sumber daya, maupun program pemberdayaan kesehatan masyarakatnya," sambungnya.
Hermawan memahami masih ada penolakan terhadap RUU Kesehatan dari sejumlah kalangan, termasuk dari beberapa organisasi profesi (OP) nakes. Ia pun menilai, DPR bersama Pemerintah selama ini telah membuka ruang diskusi bersama dengan stakeholder terkait, termasuk sejumlah OP yang menolak RUU Kesehatan.
"Pro kontra RUU Kesehatan ini harus dijembatani dengan komunikasi yang baik dan memadai sehingga kita paham kenapa aspek filosofi dan aspek sosial berdampak pada aspek yuridis untuk kajian pengembangan sistem kesehatan di Indonesia kini dan ke depan," imbau Hermawan.
Hermawan pun mengingatkan DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU perlu menyerap aspirasi dengan kehati-hatian dan proporsional, baik dari masyarakat umum, ahli, dan praktisi kesehatan. Ia berharap, penyerapan aspirasi dalam proses pembahasan RUU Kesehatan dapat menghasilkan beleid yang komprehensif.
"Jadi kita berharap untuk pencegahan, edukasi, dan promosi jauh lebih dikedepankan sebagai filosofi dalam jaminan lingkungan hidup yang baik dan sehat," ucapnya.
"Bila hal itu dilakukan dan terus menerus dikawal apa yang sudah disuarakan DPR, tandanya kita betul-betul terlihat komitmen untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional lewat RUU ini," lanjutnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan DPR selalu menyerap aspirasi dari publik dalam setiap tahapan pembahasan RUU Kesehatan. DPR RI disebut selalu terbuka terhadap masukan-masukan yang ada.
"Masukan dari OP, rumah sakit, puskesmas, akademisi, teman-teman nakes di mana saja. Dan juga tentu para pasien kami juga mendengarkan keluhan mereka, kami tampung semua agar dapat dirumuskan dalam RUU Kesehatan ini sehingga menjadi persembahan sebagai ulang tahun kemerdekaan kali ini," jelas Melki, Selasa (6/6/2023).
Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan bersama-sama dengan pemerintah pun disebut terus berdiskusi dengan pihak-pihak terkait dalam pembahasan RUU Kesehatan. Menurut Melki, masukan dari berbagai elemen juga masuk ke substansi RUU.
"Karena sebenarnya dalam berbagai pertemuan yang telah dilakukan selama ini sudah didengarkan masukan dari teman-teman di OP dan sudah jadi rumusan DPR RI," ujarnya.
Melki menambahkan, sejak penyusunan RUU Kesehatan di Badan Legislasi (Baleg), DPR sudah melibatkan semua pihak, termasuk pimpinan-pimpinan OP Nakes.
"Tentunya juga ada dari IDI. Public hearing pemerintah sudah juga, saat masuk tahap pembahasan di komisi lX sudah diundang 2 kali konsultasi publik bersama pihak lainnya juga ke fraksi atau anggota panja," sebut Melki.
Pihaknya menyadari memang tidak semua masukan bisa dipenuhi karena ada banyak kepentingan yang harus diakomodir. Walau begitu, Melki mengatakan ada banyak praktisi-praktisi kesehatan yang mendukung lahirnya omnibus law RUU Kesehatan demi kebaikan yang lebih besar.
"Banyak pribadi pribadi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mendukung pembahasan RUU Kesehatan dilanjutkan sampai selesai sesuai aspirasi banyak pihak," tutupnya.