Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam tindak pemerkosaan terhadap remaja 15 tahun di Parigi Moutung, Sulawesi Tengah. KemenPPPA mendorong polisi untuk mengusut tuntas kasus ini.
Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar. Dia juga meminta pemerintah daerah pengampu urusan perlindungan anak untuk mendampingi korban sesuai kebutuhan.
"Kami dari jajaran KemenPPPA mengecam keras kasus pemerkosaan anak berusia 15 tahun yang diduga dilakukan oleh 11 orang dewasa di Sulawesi Tengah. Kami mendorong aparat penegak hukum setempat untuk mengusut kasus hingga tuntas agar para pelaku dapat dihukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," kata Nahar seperti dikutip dari laman resmi KemenPPPA, Rabu (31/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan memberikan hukuman bagi para pelaku, negara membuktikan komitmen untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dan memberikan efek jera bagi pelaku," lanjut Nahar.
Nahar mendorong aparat penegak hukum dan pemerintah daerah yang mengampu urusan perlindungan anak dan perempuan untuk menggunakan perspektif korban dalam menangani kasus, dan dalam memberikan pendampingan pada korban. Hal itu diperlukan untuk menghindari korban mengalami kekerasan kembali atau mengalami trauma yang berulang.
"KemenPPPA telah melakukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sulawesi Tengah untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, dan penanganan kesehatan sesuai dengan kebutuhan," ungkap Nahar.
Dari hasil koordinasi dengan UPTD PPA Sulawesi Tengah, Nahar menyampaikan korban telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kondisi fisik pasca kekerasan seksual terjadi. Dari hasil pemeriksaan kesehatan, diketahui korban mengalami gangguan reproduksi sehingga perlu mendapatkan penanganan medis lebih lanjut. Sedangkan untuk pemeriksaan psikologis belum dapat dilaksanakan lantaran korban masih dalam perawatan intensif di rumah sakit.
"KemenPPPA melalui Tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) akan terus berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengawal pendampingan dan pemulihan kesehatan korban, baik kesehatan fisik maupun psikisnya. Selain itu, kami juga akan terus mengawal proses hukum kasus ini agar korban benar-benar mendapatkan keadilan dan dapat melanjutkan kehidupannya tanpa rasa takut," jelas Nahar.
Penjelasan Polisi
Sebelumnya, Kapolres Parimo AKBP Yudy Arto Wiyono telah menjelaskan soal penanganan kasus ini. Yudy mengatakan bahwa para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban berbagai imbalan.
Sepuluh dari 11 orang terduga pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ialah NT, ARH, AR, AK, FA, DU, AK, AS, AW termasuk kades HST.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Djoko Wienartono mengakui oknum Brimob belum ditetapkan tersangka. Oknum perwira tersebut masih didalami dugaan keterlibatannya dalam kasus ini.
"Sampai dengan saat ini masih terus didalami penyidik. Kepolisian akan tetap bekerja secara profesional," tegas Djoko kepada wartawan, Minggu (28/5).
Dugaan Oknum Brimob Terlibat Masih Kurang Bukti
Djoko berharap Polres Parigi Moutong diberi kesempatan dalam mendalami kasus tersebut dan keterlibatan oknum Brimob. Menurutnya polisi sudah bergerak cepat menangkap para pelaku.
"Kita patut apresiasi langkah cepat yang diambil Polres Parigi Moutong dalam menangani kasus persetubuhan terhadap anak," tegasnya.
Djoko juga menyebut dugaan keterlibatan HST (oknum Brimob) dalam kasus ini baru berdasarkan keterangan korban. Pihaknya masih kekurangan alat bukti lantaran 6 saksi yang sudah diperiksa penyidik belum menerangkan keterlibatan HST.
"Yang untuk nama disebut (oknum Brimob) dari keterangan korban, dari keterangan saksi 6 belum menyebutkan jadi kita masih kurang alat bukti," ujar Kombes Djoko.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Juncto Pasal 65 KUHP. Tersangka terancam hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.