Majelis Hakim memvonis bebas Dekan FISIP Unri Syafri Harto terkait kasus dugaan pencabulan terhadap mahasiswi. Sejumlah aliansi mengkritisi vonis tersebut.
Sejumlah aliansi itu terdiri dari ICJR, IJRS, PUSKAPA, Aliansi Kampus Aman dan KOMPAKS. Mereka menilai putusan tersebut menunjukan tidak adanya komitmen terciptanya keadilan bagi korban kekerasan seksual terutama di ranah pendidikan.
"Kami mengkritisi putusan hakim ini, yang tidak menunjukkan komitmen untuk menciptakan keadilan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, khususnya di ranah pendidikan," tulis keterangan resmi yang dibagikan kepada wartawan, Kamis (31/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka memberikan sejumlah catatan terhadap kasus tersebut. Salah satunya terkait ketiadaan alat bukti yang disampaikan Majelis Hakim. Menurut mereka, surat pemeriksaan korban dan ahli psikiater sudah cukup untuk dijadikan alat bukti.
"Di dalam kasus ini, kami mencermati
bahwa alat bukti yang diajukan untuk memperkuat dilakukannya pelecehan oleh Terdakwa adalah alat bukti surat pemeriksaan koban dan juga keterangan ahli yakni psikiater. Kedua alat bukti ini, seharusnya sudah dapat mendukung
keterangan saksi Korban atas peristiwa yang terjadi terhadapnya," ujarnya.
Mereka juga meminta penuntut umum mengajukan kasasi. Serta pihak kampus memastikan putusan pengadilan tidak berdampak terhadap kelanjutan pendidikan korban
"Penuntut Umum untuk mengajukan kasasi di dalam perkara ini. Rektorat juga harus dapat memastikan bahwa putusan
ini tidak berdampak buruk kepada kelanjutan pendidikan Korban," jelasnya.
Berikut sejumlah catatan terhadap kasus ini:
1. Berkaitan dengan ketiadaan alat bukti yang dapat membuktikan terjadinya
pelecehan seksual terhadap Korban. Di dalam kasus ini, kami mencermati
bahwa alat bukti yang diajukan untuk memperkuat dilakukannya pelecehan oleh Terdakwa adalah alat bukti surat pemeriksaan koban dan juga keterangan ahli yakni psikiater. Kedua alat bukti ini, seharusnya sudah dapat mendukung
keterangan saksi Korban atas peristiwa yang terjadi terhadapnya. Pasal 185 ayat
(3) menyatakan bahwa satu orang saksi sudah cukup untuk membuktikan
terdakawa bersalah apabila disertakan alat bukti lainnya, dalam hal ini ada alat
bukti surat dan ahli. Dengan demikian ketentuan Pasal 183 KUHAP tentang
syarat 2 (dua) alat bukti yang sah telah terpenuhi.
2. Berkaitan dengan ketiadaan saksi yang mengetahui secara langsung kejadian. Majelis Hakim di dalam perkara ini telah gagal merekognisi sifat utama dari kekerasan seksual yakni mayoritas terjadi di ruang tertutup tanpa adanya saksi sama sekali. Hal ini tidak seharusnya menjadi alasan Majelis Hakim menjatuhkan putusan bebas, terlebih karena alat bukti lain selain keterangan saksi Korban sudah diajukan untuk mendukung keterangan saksi Korban. Dengan menyampaikan argumen ini, Majelis Hakim telah melanggar ketentuan di dalam
Pasal 5 Perma 3/2017 yang melarangnya mengeluarkan pernyataan yang mengandung stereotip, seakan-akan Korban berbohong atas peristiwa yang menimpanya.
3. Dalam kasus ini, Majelis Hakim dengan jelas telah mengabaikan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tertuang di dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. Berdasarkan Pedoman ini, Hakim
diharapkan dapat memeriksa kasus dengan menggunakan analisis gender dantidak menghadirkan narasi stereotip-stereotip gender yang melingkupi suatu
kasus. Hakim pada dasarnya diharapkan mempertimbangkan dengan lebih
progresif suatu kasus, bukan hanya terjebak pada pandangan-pandangan usang bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dibuktikan dengan keterangan saksi saja.
dimaknai sebagai kekerasan dan ancaman kekerasan. Di dalam kasus
kekerasan seksual, relasi kuasa merupakan salah satu faktor utama yang hampir selalu ada. Relasi kuasa ini, harus digali dengan hati-hati oleh hakim melalui analisis gender, yang diharapkan dilakukan berdasarkan Pasal 6 Perma 3/2017. Dengan menggali kenyataan bahwa relasi kuasa dapat memengaruhi perilaku seseorang dengan derajat yang sama seperti kekerasan dan ancaman
kekerasan, maka Majelis Hakim akan dapat memahami pola-pola yang ada di
dalam kekerasan seksual. Kegagalan memahami hal ini, sangatlah disayangkan, dan mencerminkan bagaimana Majelis Hakim acuh terhadap Perma 3/2017.
5. Terlebih lagi, dalam dakwaan subsidair, Penuntut Umum juga telah
mencantumkan Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP, yang jika dicermati menjangkau
kemungkinan terjadinya perbuatan cabul, karena relasi kuasa, khususnya yang
terjadi antara guru dan murid. Peristiwa yang dialami Korban sudah sangat jelas
memenuhi unsur perbuatan cabul, dan dengan adanya relasi antara Korban dan
Terdakwa sebagai mahasiswa dan dosen, maka terpenuhi pula unsur "guru yang melakukan pencabulan dengan orang yang ditempatkan di situ". Sehingga,Terdakwa seharusnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana paling tidak berdasarkan dakwaan subsidair.
6. Kasus perbuatan cabul di lingkup kampus yang serupa dengan perkara di PN Pekanbaru ini juga pernah diputus di PN Tanjungkarang pada 2018, yang
menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan kepada Terdakwa. Kasus di PN Tanjungkarang dengan nomor perkara 732/Pid.B/2019/PN.Tjkini juga
menimpa Korban yang merupakan mahasiswa bimbingan skripsi di ruangan
tertutup tanpa saksi. Saksi di dalam kasus ini diambil dari rekan-rekan Korban yang mendengar keterangan dari Korban pasca kejadian dengan juga
mempertimbangkan Ahli sebagai bukti lainnya.
7. Selain catatan-catatan berkaitan dengan substansi putusan, Kami juga menaruh perhatian akan dampak yang dapat terjadi kepada Korban menyusul
dijatuhkannya putusan ini. Sebagaimana diketahui, saat ini Terdakwa merupakan
Dekan Non-Aktif Sementara Sementara dari Fakultas tempat Korban menempuh
pendidikannya. Kami menyoroti bahwa penjatuhan putusan bebas ini
dikhawatirakan akan berdampak buruk pada kelanjutan pendidikan Korban.
Berdasarkan hal-hal di atas, kami menuntut:
1. Penuntut Umum untuk mengajukan kasasi di dalam perkara ini.
2. Majelis Hakim di tingkat kasasi untuk dapat memperbaiki kesalahan penilaian
fakta di dalam perkara ini dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa secara proporsional sesuai dengan perbuatannya dengan juga menerapkan amanat PERMA No. 3/2017.
3. Rektorat FISIP UNRI untuk dapat mendorong kejelasan mekanisme etik untuk menyelesaikan kasus ini dan tidak terpengaruh dengan putusan PN Pekanbaru, dikarenakan tidak terbuktinya kasus ini di dalam sistem peradilan pidana karena pendapat hakim soal kurang alat bukti tidak serta merta menjadi dasar tidak adanya perbuatan cabul. Rektorat juga harus dapat memastikan bahwa putusan
ini tidak berdampak buruk kepada kelanjutan pendidikan Korban.