Susi kemudian menjelaskan alasannya tetap vokal bicara soal Natuna. Dia menegaskan, sorotannya soal Natuna bukan post power syndrom.
"Saya nggak mau dibilang ini saya tidak menjabat menteri lagi, saya komen Natuna, post syndrome. No, no, no. Saya dari dulu sebelum jadi menteri sudah berjuang dan berteriak melawan illegal fishing di perairan Indonesia," ujarnya.
Ketika itu pula Presiden Jokowi membentuk satgas untuk mengeksekusi kapal-kapal asing. Dan, menurut dia, cara menenggelamkan kapal lebih elegan dibanding dilelang.
"China memproteksi wilayah lautnya dengan luar biasa. Tiap tahun mereka melakukan moratorium, mereka start protecting tiap tahun. Dan yang menarik mereka masuk Natuna itu pake troll. Nah persoalannya kalau kapal dilelang ya paling dilelang Rp 1 miliar. Nanti tebus Rp 2 miliar nanti balik lagi, tapi tidak jera," katanya.
"Saya tidak hobi nenggelamin kapal, tapi saya kira itu adalah best effect. Apalagi untuk Tiongkok misalnya. Jadi untuk mereka sangat tabu jika ditenggelamkan. Kita lebih baik tenggelam seharusnya, tapi policy pemerintah sekarang sudah berubah. Adalah sangat sayang kalau kita sudah memiliki undang-undang yang bisa mengusir lebih dari 10 ribu kapal asing yang nakal, itu luar biasa menurut saya.," imbuhnya.
(idn/hri)