Komnas HAM juga memberikan rekomendasi ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk memastikan adanya standar operasional prosedur di tiap rumah sakit yang didatangi korban. Komnas HAM menyebut jika ada warga yang datang dengan kondisi tidak wajar harusnya pihak rumah sakit menghubungi polisi. Tetapi pada saat kejadian, ada beberapa rumah sakit tidak melakukan mekanisme tersebut.
"Misalnya ketika korban datang dalam kondisi yang tidak wajar seharusnya mereka menghubungi polisi sehingga polisi yang kemudian mengambil alih ketidakwajaran itu seperti apa. Terus kemudian mencatat keluarga atau siapa contact person atau narahubung yang bisa dihubungi dalam situasi darurat segala macam," kata Beka.
"Temuan ini yang kemudian kami meminta kepada Gubernur DKI untuk memastikan ada SOP di instalasi kesehatan di wilayah DKI Jakarta," sambungnya.
Meski begitu, Komnas HAM mempersilakan polisi menjadikan temuan tersebut untuk mengusut aktor penembak sesungguhnya. Komnas HAM tidak menemukan pelanggaran HAM berat pada kasus 21-23 Mei.
"Kami tidak menemukan indikasi bahwa apa yang terjadi tanggal 21-23 Mei itu pelanggaran HAM yang berat, dimana kemudian mekanisme penyelesaian masalahnya adalah UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM," ujarnya.
Sebelumnya, catatan dari Komnas HAM menyebutkan ada 10 orang tewas berkaitan dengan aksi demonstrasi yang berlangsung pada 21-23 Mei 2019. Korban tewas itu sebagian besar terluka tembak yang diduga Komnas HAM dilakukan oleh orang terlatih.
(yld/idh)