RUU KUHP memuat penjelasan terkait hal ini. Dalam bagian penjelasan, ada istilah 'ilmu hitam' atau 'black magic'. Menurut penjelasan draf ini, praktik ilmu hitam bikin resah.
"Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya," demikian bunyi penjelasan RUU KUHP yang dikutip detikcom, Minggu (1/9/2019).
Bagaimana pembuktiannya? Tak ada hal gaib yang perlu dibuktikan di sini. Prof Dr Ronny Nitibaskara menjelaskan pidana yang diatur di 'pasal santet' ini adalah pidana formil yang tak mementingkan sebab akibat. Yang dibutuhkan hanyalah pengakuan dari pelaku. Itu sudah dijelaskannya sejak 2013 silam, saat isu pasal santet itu mengemuka di Komisi III DPR.
"Dari uraian tersebut kami berpendapat untuk tetap mempertahankan pasal tersebut, mengingat praktek perdukunan seringkali menimbulkan keresahan masyarakat," kata Prasetyo pada 2015.
KUHP yang dipakai saat ini dibuat pada 1830 di Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918 hingga saat ini. KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu tidak mengenal Pasal Santet. Apakah penundaan pengesahan RUU KUHP itu akan mengeliminasi pasal santet atau mempertahankannya?
(dnu/tor)