"Makanya nanti dalam soal penghinaan presiden akan dibuat bentuk-bentuk penghinaan seperti apa, jangan kabur. Nanti kalau ada kritik, media mengkritik dianggap menghina presiden, atau warga negara mengkritik dianggap menghina presiden," kata Nasir kepada wartawan, Rabu (4/9/2019).
Nasir menilai penghinaan presiden merupakan delik aduan. Karena itu, menurut dia, pasal ini dapat melihat kedewasaan dan kenegarawanan presiden.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait bentuk-bentuk penghinaan kepada presiden, Nasir mengatakan bahwa Panja RUU KUHP akan merujuk ke aturan lain. Ia berharap penegak hukum memiliki landasan yang jelas saat memidanakan orang.
"Nanti kita lihat aturan perundangan-undangan terkait dengan bentuk-bentuk penghinaan, apakah sudah diatur dalam peraturan perundangan-undangan lain atau belum, sehingga tidak subjektifnya aparat penegak hukum. Penegak hukum bilang ini penghinaan, ini pasalnya," ucap Nasir.
Diberitakan sebelumnya, di RUU KUHP, penghinaan kepada presiden masuk 'Bagian Kedua' Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," demikian bunyi Pasal 218 ayat 2.
Apakah setiap orang yang 'mengkritik' presiden bisa dipidana? Pasal selanjutnya menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari Presiden atau Wakil Presiden.
"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden," ujarnya.
Simak Video "Koalisi Pemantau Peradilan Tolak Pasal Menghina Pengadilan di RUU KUHP"
Halaman 2 dari 2











































