Jakarta - Penutupan kegiatan kerohanian (kebaktian) rutin di rumah-rumah penduduk Kristen oleh sekelompok masyarakat, sebenarnya tidak perlu dilakukan. Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa menyalahkan langsung kelompok masyarakat yang melakukan penutupan.Demikian pernyataan pers Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) yang diterima
detikcom di Jakarta, Sabtu (26/8/2005). Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum Pusat Jakarta Mustofa B. Nahrawardaya menilai, penutupan rumah sebagai tempat ibadah kebaktian umat Kristiani sebenarnya tak perlu dilakukan. Soalnya, umat Islam juga banyak melakukan pengajian-pengajian di rumah-rumah, dengan berbagai alasan. Begitu juga umat lain, sering melakukan hal serupa. "Akan tetapi, kalau penutupan itu dilakukan karena kegiatan keagamaan tersebut dipandang sebagai pelanggaran kesepakatan bersama, siapa yang akan mencegah?" tanya Mustofa.Fakta yang sering terjadi adalah, rumah yang dipakai sebagai tempat ibadah umat Kristen sering dijadikan sebagai gereja, setelah dimanfaatkan beberapa lama untuk tempat ibadah. Sebaliknya, tidak sekalipun rumah yang dijadikan sebagai tempat pengajian-pengajian orang Islam, kemudian dijadikan masjid. Jika dilihat dari fenomena ini, tentu ada alasan mengapa rumah tersebut tiba-tiba dijadikan bangunan gereja. Ataun sebaliknya, mengapa tidak ada masjid yang sebelumnya merupakan bangunan rumah.Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, tak ada salahnya apabila, berbagai kegiatan keagamaan tersebut, benar-benar dilakukan pada waktu dan tempat yang benar. Jangan sampai, kegiatan kebaktian dilakukan di tengah hiruk pikuk komunitas Muslim, begitu juga sebaliknya. "Apabila hal ini dilanggar, maka pelaksanaan kegiatan keagamaan jelas tidak bisa dibenarkan," ungkapnya.Maka dari itu, jika terjadi penutupan gereja-seperti yang terjadi di Bandung, sebaiknya jangan ditanggapi dengan kepala panas. Karena siapa tahu, sebenarnya ada pihak ketiga yang justru akan memanfaatkan situasi tersebut.Kepada pihak penganut Kristen khususnya, tidak ada jeleknya apabila ikut memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Setiap kegiatan yang berbau rohani, sebaiknya disosialisasikan kepada masyarakat sekitar, agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Bukankah cara-cara seperti itu lebih elegan dibanding beribadah tetapi menimbulkan kedongkolan orang (umat) lain. Apabila memang murni ibadah, tentu tidak akan memaksakan kehendak dengan menggelar kebaktian di tengah komunitas agama yang berbeda.Sekedar mengingatkan saja, bahwa dua SK yang dikeluarkan pemerintah, yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan beragama (yakni tentang penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah), hingga kini masih berlaku. Dengan demikian, seluruh masyarakat siapapun dan agama apapun wajib menataati SK tersebut. Pada SK Menteri Agama No 70/1978 tentang pedoman penyiaran agama disebut, penyiaran agama tidak dibenarkan untuk (1) ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain, (2) dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik memeluk sesuatu agama, (3) dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain, (4) dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apa pun.Pada SKB No 01/BER/MDN-MAG/1969 yakni tentang "Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya" disebut, (1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. (2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a) pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c) kondisi dan keadaaan setempat. (3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat. Jelas, apabila terjadi aksi massa menyerang, menutup, atau gesekan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan, tentu berkaitan dengan tiga pihak. Pihak pertama, pihak pemerintah yang tidak peka terhadap situasi wilayahnya. Pihak kedua, pihak penganut agama Kristen yang tidak menaati SK atau Pihak ketiga yakni pihak penganut agama Islam yang berlebihan melihat pelanggaran yang dilakukan agama lain.Pemerintah setempat bisa salah karena membiarkan sebuah kelompok beragama melakukan kegiatan yang melanggar aturan, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat beragama lain. Pelaku kegiatan bisa bersalah karena dengan sengaja tidak meminta izin kepada pemerintah atau malah tidak meminta izin masyarakat sekitar yang mayoritas agamanya berbeda. Sedangkan masyarakat pelaku penutupan bisa salah karena melakukan aksi paksa tanpa terlebih dulu bermusyawarah dengan melibatkan seluruh pihak."Akan tetapi yang menyedihkan, tentu apabila ada unsur KKN. Misalnya, oknum pemerintah sengaja tutup mata karena telah mendapatkan imbalan tertentu," kata Mustofa . Sementara, masyarakat mengaku tidak melihat keseriusan pemerintah dalam menerima laporan mereka akibat adanya unsur KKN tersebut. Sementara itu, pelaku kegiatan keagamaan bersikap masa bodoh karena pemerintah bisa disogok dengan imbalan tertentu."Melihat fenomena itu, tak salah jika dikatakan, jika ada gerakan massa, jangan ada yang kaget karena pemerintah saja tak peduli, apalagi masyarakatnya," tegas Mustofa.
(mar/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini