Sekitar tahun 1906-1907, sampailah dr Wahidin ke School Tot Opleiding Van Inlandshe Artsen (STOVIA) di Batavia. Di gedung sekolah bagi para calon dokter itu, Wahidin menyampaikan misinya yang mulia.
"Dr Wahidin berinisiatif sebagai alumni dokter Jawa mencari dana beasiswa. Jadi datanglah sekitar sebelum tahun 1908, mencoba untuk memberikan masukan kepada para mahasiswa," kata sejarawan Dr Rushdy Hoesein saat berbincang dengan detikcom, Jumat (19/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Rupanya apa yang disampaikan Wahidin, yang waktu itu berusia 50-an tahun, ditangkap oleh sekelompok pemuda berusia sekitar 18 tahun. Mereka adalah Soetomo, Soelaeman, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, M Suwarno, Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembrek.
"Puniko setunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami!" kata Soetomo kepada Wahidin pada waktu itu.
Arti kata-kata tersebut kurang-lebih 'Itu merupakan suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan keluhuran budi!'. Tak disangka, kata-kata itu kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi penanda kebangkitan nasional, Budi Utomo.
Pada 20 Mei 1908, Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo di sebuah ruang kelas yang biasa dipakai mempelajari anatomi tubuh manusia. Ruangan itu bersebelahan dengan kamar asrama mereka.
Nama Budi Utomo diambil dari kata-kata 'budi utami', yang disampaikannya untuk Wahidin. Menurut mereka, menggalang beasiswa adalah budi yang utama atau luhur.
"Tapi para mahasiswa lebih tergerak mendirikan organisasi, yang bersifat sebagai kultur budaya. Jadi ada istilah yang muncul, budi utami, mereka ingin jadi organisasi Jawa yang menjadi (misinya) terhormat," ujar Rushdy.
Memang sudah jodoh, rupanya Wahidin juga dipertemukan kembali oleh Soetomo dan kawan-kawan. Pada Oktober 1908, Wahidin menjadi pemimpin kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta.
Wahidin terpilih sebagai Wakil Ketua Budi Utomo dalam kongres tersebut. Sementara ketuanya adalah RTA Tirtokoesoemo, yang kala itu merupakan Bupati Karanganyar.
![]() |
Wahidin lahir pada tahun 1852 di Desa Mlati, Yogyakarta. Dia lulus sebagai dokter Jawa pada usia muda dan sempat menjadi asisten dosen di Sekolah Dokter Jawa.
Pada tahun 1895, dia dan koleganya mendirikan surat kabar Retnodhumilah di Yogyakarta. Wahidin menjadi pimpinan redaksi surat kabar itu hingga tahun 1906 dan memulai kampanye pendidikannya.
Cerita perjalanan Wahidin mengkampanyekan pendidikan itu kemudian dimuat oleh surat kabar Retnodhumilah. Wahidin, yang sudah pensiun dari jabatan dokter, tak segan-segan merogoh koceknya sendiri demi memberi tahu masyarakat bahwa pendidikan itu penting.
"Pertemuan dengan dr Wahidin Soedirohoesodo, yang mempunyai paras tenang, yang bijaksana di dalam langkah-lagunya, yang yakin kalau membentangkan cita-citanya, telah memberi bekas pada saya yang dalam agaknya," kata Soetomo seperti dikutip dalam 'Gedung STOVIA Sebagai Cagar Budaya' (Hadisutjipto, 2009).
(bag/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini