"Pada saat saya ditugasi menjadi panitia seleksi Komisi Yudisial yang kedua kalinya, ia banyak memberi masukan dan mengkoordinir kawan-kawannya dari civil society untuk memberi masukan dalam proses seleksi. Tajam dan matter of fact kritiknya dan cukup membantu tugas-tugas kami," kata Prof Harkristuti Harkisnowo.
Hal itu tertuang dalam testimoninya di buku 'In Memoriam Asep Rahmat Fajar', yang dikutip detikcom pada Senin (27/2/2017). Bagi guru besar Universitas Indonesia (UI) itu, Asep merupakan anak muda yang cerdas, rajin membaca, berani, kreatif, penuh dengan ide-ide, dan santun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Tadinya saya mengernyitkan kening... lho... kok.... Namun kemudian saya menyadari alur pikirnya, dan memandang keterlibatannya dalam KY ini sebagai suatu refleksi konsistensi untuk mengawal kinerja KY agar dapat melaksanakan tugas-tugas seoptimal mungkin," sambung Harkristuti.
Asep tidak sekadar sebagai komentator yang berteriak dari tepi lapangan belaka, tapi juga turut berkontribusi secara aktif dan signifikan. Dari dalam KY, Harkristiuti juga memperoleh informasi bahwa Asep banyak pula menyampaikan gagasan yang kemudian diimplementasikan oleh lembaga itu.
Keterlibatannya dalam banyak program pembangunan dan reformasi hukum, baik dalam lingkup pemerintahan maupun di lingkungan civil society, telah banyak dikenal. Sebab, ia tidak ragu berkontribusi dalam pelbagai diskusi. Tidak pula ia canggung berkiprah dan menautkan hubungan lembaga penyelenggara negara dengan state auxiliary institution.
"Contoh yang nyata adalah upayanya membangun komunikasi yang konstruktif antara MA dengan KY, yang acap dipandang sebagai conflicting parties. Mengenal Asep adalah mengenai cara komunikasi yang 'ngewongke' yang membangun respek pada semua pihak yang terlibat. Alangkah baiknya jika legacy Asep ini dilanjutkan oleh kawan-kawannya, anak-anak muda yang cerdas dan berdaya cipta," tutur Harkristuti.
Soal idealisme Asep diakui politikus Arsul Sani. Di mata Sekjen PPP itu, Asep Rahmat Fajar (ARF) bisa menjaga nilai-nilai idealisme meski sudah masuk sistem.
"ARF juga berbeda dengan sebagian aktivis yang kemudian ketika berada di jabatan publik (apakah di DPR, pemerintahan, atau BUMN) suka 'longsor besar' idealismenya karena berubah seperti politisi yang terikat erat dengan arah politik partainya atau karena sudah demikian nyaman dengan pendapatan dan fasilitas yang sebelumnya tidak pernah dinikmatinya ketika menjadi aktivis," tutur Arsul di halaman 47.
Asep wafat dalam usia 39 tahun pada 4 Januari 2017 dengan meninggalkan seorang istri, Ella Irdamis Fajar, dan dua anak, yaitu Kencana Fajar (10) dan Garda Fajar (8). Saat meninggal, Asep menjadi Staf Kepresidenan Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. (adf/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini