KPAI: Kekerasan oleh Ibu, Cyber Crime, dan Terorisme Anak Meningkat di 2016

KPAI: Kekerasan oleh Ibu, Cyber Crime, dan Terorisme Anak Meningkat di 2016

Danu Damarjati - detikNews
Jumat, 23 Des 2016 10:30 WIB
KPAI: Kekerasan oleh Ibu, Cyber Crime, dan Terorisme Anak Meningkat di 2016
Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh (Foto: Ari Saputra)
Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkilas balik catatan-catatan kasus terkait dengan anak selama setahun ini. Ada tiga kasus yang menonjol di 2016, yakni kekerasan ibu terhadap anak, kejahatan siber (cyber crime), dan terorisme anak.

Catatan akhir tahun KPAI pada 2016 ini disampaikan oleh Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulis, Jumat (23/12/2016). Bila dilihat kuantitasnya, ketiga kasus tersebut mengalami peningkatan.

Pertama, soal kasus kekerasan oleh orang tua terhadap anak. Baru saja Hari Ibu dirayakan pada 22 Desember. Namun ironisnya, kekerasan oleh ibu terhadap anak meningkat. Dari 702 kasus di bidang keluarga dan pengasuhan alternatif, 55 persennya berupa kasus ibu yang melakukan kekerasan terhadap anaknya. Misalnya, menghalangi akses bertemu, mengabaikan hak pengasuhan, penelantaran, kekerasan, dan eksploitasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini menjadi kado yang kurang indah di Hari Ibu, yang diperingati setiap 22 Desember. Kita berharap ada peningkatan kesadaran akan tanggung jawab orang tua dalam pengasuhan anak," kata Niam.

Ada faktor perceraian yang turut memicu kekerasan terhadap anak. Keluarga berantakan jelas berdampak buruk pada anak. Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri harus meningkatkan pendidikan pranikah.

"KPAI mendesak semua pihak benar-benar memahami arti penting perlindungan anak, termasuk orang tua yang tidak boleh mengabaikan hak-hak anak, meski mereka sudah bercerai," kata Niam.

Kedua, ada peningkatan kejahatan berbasis siber sebesar 414 kasus. Agar anak-anak tidak terpapar dampak buruk kejahatan siber yang beraneka rupa itu, orang tua perlu sadar terhadap dunia maya, dengan memantau ponsel pintar yang digunakan anak.

"KPAI juga mendorong Kominfo untuk memastikan daya jangkau dan kapasitas dalam memblok dan menutup situs yang tidak ramah anak, baik konten kekerasan, pornografi, hate speech, maupun terorisme," kata Niam.

Hukuman terhadap pelaku kejahatan siber yang berakibat pada anak juga harus berat. "Contohnya kasus LGBT anak di Bogor yang mengagetkan kita semua. Perlu dilakukan pemberatan hukuman agar pelaku jera dan orang lain berpikir seribu kali untuk tindak mencontoh," jelasnya.

Ketiga, kasus anak yang terpapar terorisme dinyatakan KPAI mengalami peningkatan. Menurut catatan KPAI setahun ini, ada 219 kasus terkait dengan agama dan budaya, 180 kasus di antaranya kasus anak yang terpapar ideologi radikal dan terorisme.

"Saat ini KPAI melakukan pengawasan intensif terhadap empat anak yang terpapar terorisme. KPAI juga telah memantau langsung anak-anak di Lapas dengan kasus terorisme. Ternyata, di dalam penjara justru terjadi radikalisasi anak," kata Niam.

Sayangnya, lembaga pemasyarakatan justru menjadi tempat yang rawan penanaman terorisme terhadap anak. Maka anak-anak ini harus dipulihkan. Lagi-lagi ada jalan masuk indoktrinasi yang harus dikontrol, yakni lewat media sosial. Maka peran keluarga harus optimal memagari anak dari pengaruh terorisme.

"Saat ini, radikalisme sangat berkembang biak di media sosial," kata Niam.

(dnu/fjp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads