"Saya merasa terhormat bisa bicara di hadapan Anda semua untuk mewakili 244 juta buruh migran di seluruh dunia. Setelah bertahun-tahun tak bersuara dan tak tampak, kami --buruh migran-- akhirnya tampil bicara untuk kepentingan kami semua," tutur Eni membuka pidatonya di Markas PBB, 46th street & 1st avenue, New York, Amerika Serikat, Senin waktu setempat (19/9/2016).
Dia lalu bercerita bagaimana krisis yang melanda Indonesia telah membuat keluarganya terpuruk. Kondisi krisis membuat mereka tak bekerja, kehilangan harta, hingga putus sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Eni lalu memilih jalan untuk menjadi buruh migran. Pikirnya, dia dapat menghidupi keluarganya.
"Aku tak punya pilihan kecuali kerja di luar negeri sebagai buruh migran. Sehingga aku bisa berikan makanan untuk keluarga, dan menyekolahkan adik-adikku," ungkap Eni.
Tetapi kenyataannya berbalik, Eni dan keluarganya malah terbelit utang. Eni merasa terjebak dalam sistem perbudakan yang menurutnya bahkan perdagangan orang.
Dia merasa banyak hak-haknya dicabut, sama seperti kebanyakan buruh migran lain. Mereka juga rawan untuk dilecehkan dan dieksploitasi.
"Lebih jauh lagi, kebijakan tentang buruh migran semakin membuat kami tak dianggap. Pemerintahan hanya mengejar uang yang dihasilkan tanpa disertai pelayanan dan perlindungan," sebut Eni.
Dia lalu menyampaikan keinginannya agar buruh migran di seluruh dunia mendapatkan keadilan. Sehingga tak ada lagi kerawanan sosial.
![]() |
"Jangan bicara tentang kami (buruh migran), tanpa melibatkan kami! Dengar dan bicara dengan kami tentang buruh migran, pembangunan, dan hak asasi manusia," pungkas Eni.
Sambutannya itu kemudian mendapatkan tepuk tangan hadirin. Setelah itu, Eni langsung diajak melakukan pertemuan bersama Wapres Jusuf Kalla. (bag/Hbb)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini