Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lainnya yang sudah diungkap menggunakan vaksin palsu itu semuanya milik swasta. Sementara RS atau pun fasyankes milik pemerintah yang pakai vaksin buatan dalam negeri masih aman.
"Sebetulnya vaksin yang dibuat di dalam negeri, Biofarma, itu tak dipalsukan," kata pengurus IDAI dr Soedjatmiko dalam diskusi 'Jalur Hitam Vaksin Palsu' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/7/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentunya saya ingin yang terbaik untuk anak saya, pakai vaksin impor. Tapi enggak tahunya malah seperti ini, ditipu. Saya pikir lebih mahal berarti lebih bagus," kata Ketua Forum Keluarga Korban Vaksin Palsu RS Sayang Bunda Bekasi Teja Yulianto saat diwawancara terpisah di tempat yang sama.
Ketua Forum Keluarga Korban Vaksin Palsu RS Sayang Bunda Bekasi Teja Yulianto. Foto: Bagus Prihantoro Nugroho/detikcom |
Orang tua lainnya, yakni Suheimi memiliki alasan yang serupa. Bedanya adalah Suheimi memvaksinkan anaknya di RS Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur.
"Ini anak ketiga saya, usianya 7 bulan, dari awal vaksin di Harapan Bunda. Kalau anak pertama dan kedua saya dulu semuanya di puskesmas, pakai vaksin lokal," tutur Suheimi saat berbincang di Kantor YLBHI, Jl Diponegoro No 74, Jakarta Pusat.
Ada perbedaan harga signifikan antara vaksin lokal dengan impor, menurut Suheimi. Dia harus merogoh kocek Rp 800.00 untuk sekali vaksin di RS Harapan Bunda, sementara di puskesmas paling mahal kata dia Rp 100.000 bahkan gratis.
Suheimi (berbaju biru). Foto: Bagus Prihantoro Nugroho/detikcom |
Kemudian, apa alasan Suheimi beralih dari Puskesmas ke RS Harapan Bunda?
"Pertama karena ada perbaikan ekonomi sehingga ingin yang lebih baik lagi untuk anak, selain itu juga jarak dari Harapan Bunda ke rumah saya lebih dekat. Kemudian di sana (RS Harapan Bunda) ada namanya dr Indra yang terkenal, tidak menyangka justru akhirnya seperti ini," ungkap Suheimi.
(bpn/fdn)












































Ketua Forum Keluarga Korban Vaksin Palsu RS Sayang Bunda Bekasi Teja Yulianto. Foto: Bagus Prihantoro Nugroho/detikcom
Suheimi (berbaju biru). Foto: Bagus Prihantoro Nugroho/detikcom